bc

Surat Terbuka untuk Mama Mertua

book_age16+
809
FOLLOW
3.8K
READ
family
mate
submissive
goodgirl
powerful
drama
comedy
bxg
friendship
discipline
like
intro-logo
Blurb

Dipublikasikan sejak : 19 Mei 2021

_______________________

[Baskara Series 1]

“Ma? Mama tuh jangan khawatir kalau menantu Mama nggak pintar masak. Harusnya Mama bersyukur punya Leta yang nggak pintar masak ini! Soalnya, kalau Mama dapat menantu yang pintar masak, ribet urusannya kalau sampai dia ikut kontes masak ber-season-season. Nanti yang masakin anak dan cucu Mama di rumah siapa?”

“LETAA!!!”

***

Bagaimana rasanya punya mama mertua yang setiap harinya penuh dengan ‘kata mutiara’?

Hal tersebutlah yang kini dialami oleh Leta Yolanda Baskara. Masa gadisnya yang penuh dengan kebebasan membuat Leta tidak pernah dituntut untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Menikah dengan sahabatnya sendiri pun, Leta merasa menjadi wanita paling bahagia karena ia tak mendapatkan tuntutan apapun dari Bara Surya Sandjaya. Namun, Ajeng—mama mertua Leta kerap menuntutnya untuk bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah seperti seorang menantu dan istri yang baik pada umumnya. Ajeng pun memukul sama rata Leta dengan putri-putrinya yang selama ini sudah berhasil ia didik bahkan seorang diri setelah ditinggal mati oleh Papa Bara.

Lantas, mampukah Leta bertahan dengan segala sikap mama mertuanya?

Simak kisah selengkapnya..

_____________

cover by @ansgraphic_

chap-preview
Free preview
Kehidupan Pernikahan
Terhitung sudah genap satu bulan ini Leta Yolanda Baskara, atau biasa disapa Leta—menjadi menantu di keluarga Sandjaya. Ia menikah dengan sahabatnya sendiri—Bara Surya Sandjaya, yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Namun sayangnya, Papa Bara—almarhum Pak Sandjaya meninggal setelah beberapa bulan menikahkan Kakak Bara yang nomor satu—Rena Reniyanti Sandjaya atau Saragih, karena ia sudah resmi dipersunting Dito Saragih. Sedihnya, Papa Bara meninggal sebelum melihat cucu pertama yang berhasil dilahirkan oleh Rena melalui persalinan yang normal—Haikal Saragih. Sejak kecil, Ajeng—Mama Bara memang selalu mendidik putra maupun putri-putri mereka dengan baik dan benar. Terutama kaum putri, Ajeng tidak pernah lelah menasihati mereka hingga memberikan bimbingan yang khusus untuk para perempuan di dalam keluarganya sendiri. Mengapa? Karena Ajeng sadar, nantinya mereka—para anak perempuan itu akan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga seperti dirinya. Harus serba bisa! Baginya, perempuan harus bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah meski pun mereka masih memilih berkarier setelah menikah. Contohnya, anak kedua Ajeng—Adelin Erlyane Sandjaya atau kini kerap dipanggil Adelin Saksono. Adelin hingga kini masih menjalankan bisnis yang sudah ia rintis sejak duduk di bangku perkuliahan yakni, membuka toko tas dan baju perempuan, hingga sudah menikah dengan Catur Yogo Saksono, dan dikaruniai seorang anak yang masih kecil—Kalingga Yudha Saksono, Adelin masih bisa berjualan dengan menggunakan media sosial. Sementara tokonya sudah dikelola oleh anak buahnya, Adelin hanya tinggal mengamati saja. Keberhasilan putri-putrinya membuat Ajeng sedikit syok ketika mendapat seorang menantu yang superrr seperti Leta. “LETAAA!! Kok belum bangun sih!?” Tok..tok..ttokkk…. “LETAAA! BANGUNN!!” “Sudah jam berapa ini, Leta!?” Tidak menyerah meski pun belum mendengar sahutan suara dari dalam kamar. Ajeng masih terus mengetuk pintu kamar putranya yang kini juga dihuni oleh Leta—menantunya yang superrrr. “LETAAA—“ “Ma..” “Eh, Fasya? Sudah—“ “Sudah beres semua, Ma. Nyapu, bukain tirai, bersihin kamar sendiri, sampai ngecek tanaman.” “Oke, bagus. Mandi gih! Siap-siap sarapan terus berangkat ke sekolah,” kata Ajeng yang hanya mendapatkan anggukan kepala dari Dinda Fasya Sandjaya—anak keempatnya, anak terakhir yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Tak lama kemudian setelah Fasya beranjak. Bara pun membuka pintu dengan wajah khas orang yang baru saja bangun tidur. Mata Ajeng melotot. Ia kemudian mencuri-curi pandangan ke dalam kamar. “Mana istri kamu?” “Lagi di kamar mandi, Ma. Leta sudah bangun kok, Ma.” Ajeng terlihat menarik napasnya, kemudian menghembuskannya dengan kasar. “Ya sudah, nanti suruh menantu Mama yang superrr itu untuk susul Mama ke dapur!” “Iya, Ma..” Ajeng pun berlalu dari hadapan Bara. Kejadian di mana sang mama sudah dibuat emosi sepagi ini memang seakan menjadi rutinitas sehari-hari Bara sejak menikah dengan Leta. Itu semua bukan karena sang mama tidak menyukai Leta atau pun tidak merestui hubungan pernikahannya yang baru dimulai itu. Melainkan, sang mama mencoba untuk mengajari Leta menjadi istri yang disiplin. Layaknya bimbingan yang selama ini mamanya berikan pada saudara-saudaranya yang lain. “Mama mana, Mas?” tanya Leta yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut yang basah. Maklum, pengantin baru memang bawaannya selalu keramas pagi-pagi. You know-lah.. Bara berjalan mendekat pada sang istri. “Mama udah balik lagi ke dapur. Sana, susul mama gih!” “Iya siap, Mas! Oh ya, aku sudah siapin air dan juga sabun buat kamu. Aku kasih kesempatan sama kamu buat cobain sabun relaksasi yang kemarin baru aku beli!” kata Leta dengan antusiasnya. Hal tersebut selalu saja membuat hati Bara menghangat. Ia tahu betul, Leta sebenarnya tipe seorang istri yang masih bisa diajak untuk berumah tangga. Toh, tujuan berumah tangga dan menjadikan seorang wanita sebagai seorang istri bukan untuk menjadi pelayan di rumah mereka. Cup! “Makasih, Sayang..” ucap Bara setelah mencuri morning kiss dari istrinya. “Ihhh! Kamu belum mandi udah cium-cium! Bau tau!” Leta menutup hidungnya. Sedangkan, Bara berjalan melewatinya sembari cekikikan. Indahnya pagi Bara yang selalu dipenuhi dengan senyum menggemaskan Leta—istrinya. Sementara itu, Leta bergegas untuk memakai baju kerjanya. Seperti biasa, selalu celana kain dan kemeja polos, tak lupa ia juga mengikat jadi satu rambut hitam panjangnya. Kemudian Leta menyusul sang mama mertua ke dapur. “Selamat pagi, Ma!” “Mama nggak butuh ucapan ‘selamat pagi’ dari kamu, Mama udah kenyang kalau sekedar ucapan, Leta! Tuh, buruan goreng ayamnya! Keburu kesiangan ini..” dumel Ajeng sembari menyerahkan tugas menggoreng ayam pada Leta. Bagi Leta, mendengar ‘kata mutiara’ yang keluar dari bibir sang mama mertua, SUDAH BIASA. Karena ia menyadari bahwa dirinya banyak sekali kekurangan. Leta menjadi anggota perempuan satu-satunya yang tidak begitu pandai mengerjakan pekerjaan rumah di keluarga Sandjaya. Maka dari itu, wajar sekali bila mama mertuanya selalu membimbingnya sedikit keras. Leta tidak pernah merasa keberatan. Toh, semua ini juga demi kebaikan rumah tangga Leta ke depannya. Wanita itu juga bergidik ngeri saat menonton berita pelakor yang kebanyakan disebabkan oleh ketidakpuasan sang suami di rumah karena istrinya mungkin kurang pandai berdandan atau mengurus pekerjaan rumah tangga. Tapi tenang, urusan berdandan, Leta sudah khatam! “LETAAA! Sejak kapan ayam goreng warnanya hitam seperti ini!? Aduh, LETAA! Ini gosong ayamnya! Kamu masaknya sambil melamun apa sih!?” tegur Ajeng yang sontak menyadarkan Leta kembali pada dunia nyatanya. Baiklah, omelan mama mertua pagi ini akan lebih panjang durasinya! Bukannya bersedih atau menangis karena tak kuasa mendengar omelan-omelan dari sang mama mertua. Leta justru menyengir kuda. Ia memang selalu riang gembira bahkan saat mendapatkan berbagai omelan panjang kali lebar dari Ajeng. Baginya, itu SUDAH BIASA. Meski pun ini kali pertamanya bagi Leta menjalani sebuah rumah tangga yang di dalamnya masih terdapat campur tangan mertua, entah bagaimana jadinya bila yang mengalami ini semua wanita lain? Sudah pasti tidak betah dan meminta pisah rumah dengan mertua! Lalu, mengapa Leta bisa sesantai ini? Karena jauh-jauh hari sebelum menikah dengan Bara, ia sudah mengenal dengan baik sikap Ajeng karena dahulu Leta merupakan sahabat Bara. Kakak-kakak dan adik Bara pun juga sudah dikenalnya dengan baik. Mereka memang wanita-wanita yang pandai dalam urusan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tak terkecuali Fasya yang masih duduk di bangku SMA. Berbeda dengan masa SMA Leta yang masih diperlakukan layaknya anak SD. Memang sejak kecil, beban pekerjaan rumah tangga di rumah besar Leta tidak pernah sekali pun dibebankan padanya. Mamanya—Lina memang tidak menuntut Leta untuk bisa menyapu, mengepel, memasak hingga mencuci piring atau pun baju. Tidak sama sekali. Semua dikerjakan dengan baik oleh pembantu mereka, kadang juga tidak jarang Lina sendirilah yang turun tangan. Mungkin dari situlah Leta tumbuh menjadi wanita yang kurang bisa atau bahkan tidak bisa dibebankan pekerjaan rumah tangga. Awalnya Leta merasa bahagia karena memang menikah dengan pria sepengertian Bara yang tidak banyak menuntut ABCD untuk tipikal seorang istri. Namun, adanya Ajeng di dalam kehidupan rumah tangganya justru semakin membuat Leta tertantang. Ya, bagi Leta, mama mertuanya merupakan sebuah tantangan yang kelak ia yakin akan bisa taklukkan. “Ma? Mama tuh jangan khawatir kalau menantu Mama nggak pintar masak. Harusnya Mama bersyukur punya Leta yang nggak pintar masak ini. Soalnya, kalau Mama dapat menantu yang pintar masak, ribet urusannya kalau sampai dia ikut kontes masak ber-season-season. Nanti yang masakin anak dan cucu Mama di rumah siapa?” “LETAA!!!” Sarapan pagi pun berjalan dengan lancar tanpa ayam goreng. Sebagai gantinya, Leta membuat telur dadar. Meski pun keasinan, Bara sepertinya masih biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan ekspresi atau gelagat memuntahkan telur dadar asin ini. Namun, tidak dengan Fasya. Gadis itu menyeletuk, “Masak telur dadar aja nggak bisa. Keasinan, Mbak..” “Fasya..” Bara dan Ajeng bersamaan menegur Fasya untuk diam saja. Bara dengan perasaan ibanya karena lagi-lagi salah istrinya. Sedangkan Ajeng dengan rasa disiplinnya mengajarkan pada putrinya untuk tidak memberikan komentar yang menjatuhkan pada seseorang yang mau belajar seperti sang kakak ipar—Leta. Bukannya sedih dengan ucapan sang adik ipar. Leta justru tersenyum. “Maafin, Mbak. Lain kali, Mbak buatin telur gulung korea deh! Yang sering muncul di drama korea gitu.” “Yakin bisa, Mbak? Nanti malah jadi telur gelar!” “Yeee, memangnya tikar apa!? Yang bisa digulung sama digelar!” “Nggak usah buatin Fasya telur gulung, Mbak Leta. Lagi pula, Fasya nggak suka sama drama korea.” “Yakin kamu, Sya!? Bukannya anak SMA kayak kamu ini lagi seneng-senengnya sama drama korea ya? Atau kalau nggak dramanya, artisnya deh! Aktor? Atau Boyband mungkin?” “Nggak, Mbak.” Pembicaraan keduanya pun berakhir saat Fasya jengah dengan segala celotehan kakak iparnya itu. Selalu saja, hadirnya Leta membuat suasana menjadi ramai. Fasya pun berpamitan pada Ajeng untuk berangkat sekolah mengendarai sepeda gunungnya. Entahlah, gadis SMA itu berbeda dengan gadis-gadis yang lain. Kebanyakan sudah mengendarai motor matic atau bahkan mengemudi mobil. Tetapi tidak dengan Fasya. Ia lebih suka mendengarkan lagu dengan earphonenya sembari mengayuh pedal sepeda dan mengendarai sepedanya melaju di jalan sempit yang membuatnya cepat sampai di sekolah karena jalan tersebut merupakan jalan pintas. Hebat sekali memang anak gadis Ajeng yang paling kecil itu! Semua pun pergi meninggalkan Ajeng. Bara pergi ke kantor, sedangkan Leta juga pergi ke kantornya. Leta bekerja sebagai desain cover dan layouter sebuah penerbit yang cukup terkenal di kota Semarang ini—Sun Media. Ya, ibu kota Jawa Tengah tercinta inilah yang menjadi saksi perjalanan hidup seorang Leta Yolanda Baskara atau Sandjaya menjalani setiap lembar kehidupan baru yang ditempuhnya dengan Bara. Jika kalian mengira Bara berangkat ke kantor sekaligus mengantar Leta, jawabannya adalah SALAH. Leta lebih memilih mengendarai motor matic miliknya dari pada harus macet-macetan di dalam mobil bersama suaminya. Hah, yang benar saja! Pagi-pagi di kota mana pun pasti adegannya tetap satu, macet. Semua orang beraktivitas di pagi hari secara bersamaan. Ada yang bekerja, bersekolah hingga berlalu-lalang tak tahu arah. Eh. Kembali pada Leta, di tempat kerja, ia tidak begitu mempunyai teman karena pekerjaannya double sibuk. Menjadi desain cover sebuah novel penulis merupakan cita-cita Leta sejak remaja karena Leta sangat suka menggambar. Baik menggambar di kertas maupun seperti sekarang ini yang ia lakukan—menggambar di sebuah iPad Pro kesayangannya. Ia sangat senang dengan pekerjaan yang sudah digelutinya selama hampir tiga tahun ini. Hingga menikah pun, Bara tidak pernah melarang Leta untuk berhenti dari pekerjaan sekaligus hobinya. Hal tersebut membuat Leta semakin semangat saja menjalani hari-harinya di tempat bekerja. Tujuannya semasa gadis, untuk menyenangkan diri sendiri dengan penghasilan yang ia punya. Tapi kini, tujuannya berubah menjadi..mengumpulkan uang untuk ditabung bersama Bara agar masa depan keduanya terjamin kelak. Selain desain cover, Leta yang sebenarnya tlaten dan ulet pun juga mau saja mengambil jabatan sebagai layouter. Ya, kemampuannya yang pandai menggambar dinilai kreatif juga untuk jabatan yang satu itu. Bukannya mengeluh karena pekerjaannya bertambah, Leta justru bahagia memanfaatkan keadaan yang ada. Dengan merangkap dua pekerjaan sekaligus, Leta bisa semakin mengembangkan dirinya dan mendapatkan dua kali lipat gajinya. “Leta, desain cover novel Kak Pricia sudah selesai?” “Sebentar lagi, tinggal mempercantik saja Kak Dika.” “Oke baiklah. Ditunggu cover terbaiknya untuk dirapatkan nanti siang. Bisa ‘kan Leta?” Tanpa berpikir lama, Leta mengangguk. “Bisa, Kak Dika.” “Good job!” Itulah hal-hal yang tidak pernah terlihat secara langsung oleh kedua mata Ajeng—mama mertuanya. Leta mungkin saja tidak pandai mengerjakan pekerjaan rumah. Akan tetapi, Tuhan memberikan wanita itu kelebihan lainnya yakni, kegigihan dan semangat bekerja keras Leta untuk keluarga kecilnya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook