“Brian, nih lihat keningku!” titah Mulya sambil berjalan.
“Bagus kan keningku?” tanya Mulya lagi.
“Keningku ada gambar bintangnya, uhhh bercahaya banget.”
“Emang ya kalau diobati Mas gebetan tuh rasanya beda.”
“Apalagi dikasih bintang di kening.”
Mulya terus mengoceh tidak peduli kalau Brian sudah bosan mendengar ocehannya. Saat ini mereka sudah waktunya istirahat dan menuju ke kantin, sepanjang koridor rumah sakit, Mulya terus membicarakan keningnya yang tadi diobati oleh Dokter Alka.
“Brian, keren banget kan kening-”
“Keren apanya sih, Mulya? Itu hanya hansaplast doang!” sentak Brian yang kesal dengan temannya.
“Tapi ini hansaplast dari Dokter Alka,” ujar Mulya.
“Mau itu dari Dokter Alka, Dokter Alko, Dokter siapapun, itu nggak mengubah kenyataan kalau itu hanya hansaplast. Dan keningmu terluka karena dia juga yang menghindari pelukanmu!” sentak Brian menggebu-gebu. Saking kesalnya Brian sampai menoyor kepala belakang Mulya hingga gadis itu sedikit limbung.
Benar kata Alvarez kalau Mulya adalah satu-satunya orang yang tidak waras sekampus. Gadis aneh yang kelebihan hormon sampai tidak punya malu mengejar seorang pria.
“Harusnya kamu tuh fokus ke Dokter Alka yang menolakmu sampai membuat keningmu berdarah, bukan malah fokus sama hansaplast. Dodol banget jadi cewek,” ketus Brian kembali menoyor kepala belakang Mulya.
“Ekhem.” Suara deheman membuat Brian dan Mulya menghentikan langkahnya.
“Memukul kepala berkali-kali akan menimbulkan efek negatif jangka panjang. Otak tidak hanya pusat kesadaran, tetapi juga pusat koordinasi yang mengendalikan perilaku, emosi, gerakan dan sensasi tubuh. Benturan yang berulang kali pada kepala bisa mengakibatkan cedera otak,” ujar Dokter Alka dengan nada dinginnya.
Mulya dan Brian menatap tidak berkedip ke Dokter Alka. Sedangkan yang ditatap balik menatap, tetapi hanya Mulya yang ditatap bukan Brian. Kalau Brian yang ditatap Alka dan Brian yang baper, bisa panjang urusannya.
“Dokter peduli banget sama aku,” ucap Mulya dengan senang. Bahkan gadis itu menoel-noel lengan Alka pelan.
“Saya Dokter dan peduli kepada siapapun yang sakit,” jawab Alka segera melenggang pergi begitu saja menjauhi Mulya.
“Aaaa … tunggu aku!” pekik Mulya bersiap mengejar. Namun, Brian langsung menahan tubuh Mulya.
“Jangan malu-maluin!” hardik Brian ke sekian kali.
“Tapi aku mau sama Dokter Alka,” rengek Brian.
Brian memutar bola matanya jengah, pria itu menyeret Mulya ke arah yang berbeda dari Alka.
“Eh eh … kita mau kemana, woy?” tanya Mulya tidak terima diseret. Namun, karena tenaga Brian lebih kuat darinya, Mulya hanya bisa pasrah saat Brian terus membawanya berbalik arah.
“Pasti Dokter Alka lagi ke kantin, kita ke kantin luar rumah sakit saja. Ingat tujuan awal kita di sini untuk belajar, Mulya. Jangan sampai kamu salah tujuan,” jelas Brian.
“Dari awal aku memang sudah salah tujuan, tujuanku memilih tempat koas ini untuk menemui Dokter Alka,” jawab Mulya jujur.
“Okey, besok aku bawa kamu ke Pak Kyai buat ruqyah,” ujar Brian.
“Mau, kita ruqyah Pak Kyainya kan?” tanya Mulya.
“Elu, Mulya, Elu!” pekik Brian dengan kesal. Brian ingin menoyor kepala Mulya lagi, tetapi Mulya menghindar.
“Ingat apa kata Yayang Alka, tidak boleh menoyor bagian kepala-”
“Bodo amat!” teriak Brian langsung kabur menjauhi Mulya. Mulya yang tidak terima ditinggal pun langsung mengejar Brian.
Pukul satu siang, Mulya dan Brian harusnya sudah datang ke ruangan Alka. Namun, sudah pukul satu lebih lima menit, kedua orang itu belum memperlihatkan batang hidungnya. Alka akan mengajak kedua anak koas itu untuk visit pasien rawat inap, tetapi yang ditunggu malah belum muncul.
Alka menunggu di depan ruangannya, matanya menatap koridor rumah sakit. Menjadi Dokter dituntut untuk selalu sabar, Alka yang kesabarannya setipis tisu pun sudah berusaha untuk menciptakan kesabaran lebih banyak. Namun, kesabarannya yang sudah tipis malah diuji dengan adanya dua anak koas.
Dari kejauhan Alka menatap Mulya dan Brian yang kejar-kejaran bagai film india. Mungkin kalau dinyanyikan lagu ‘Tere Liye, Brian dan Mulya akan memutari penyangga kayu dan menari-nari di sana.
“Dokter Alka!” panggil Brian dan Mulya yang akhirnya sampai tepat di hadapan Alka.
Alka mengetuk-ketuk ujung jarinya di jam tangan hitam yang dia kenakan. “Terlambat tujuh menit,” ucap Alka.
“Dokter, maaf, tadi nyebrang jalannya lama banget. Banyak truk gandeng yang besar-besar buat aku iri. Truk aja gandengan masak kita musuhan,” oceh Mulya.
Alka menatap tajam Mulya, Brian langsung menyenggol lengan temannya hingga Mulya menghentikan cengengesannya.
“Hari ini pertama kalian masuk, tetapi kalian sudah menunjukkan bahwa kalian tidak bisa bertanggung jawab. Lebih baik kalian pulang saja!” titah Alka dengan tajam.
Alka merapatkan jas putihnya dan segera meninggalkan kedua pemuda di hadapannya. Mulya dan Brian membulatkan matanya melihat kepergian Dokter Alka.
“Dokter, tunggu!” pinta Mulya mengejar pria itu. Mulya menghadang Alka yang mau lewat. Alka semakin menatap tajam gadis itu.
“Minggir!” desis Alka.
“Dokter, tapi-”
“Banyak pasien yang menunggu kedatangan saya untuk memeriksa mereka, dan kamu calon tenaga medis malah menghentikan saya?” tanya Alka. Mulya langsung menyingkir membuat Alka melanjutkan langkahnya.
Alka berjalan dengan tegap dan tidak menoleh sejenak pun ke arah Brian dan Mulya. Sedangkan kedua pemuda itu saling berpandangan.
“Ini gara-gara kamu sih, makan pakai acara nambah, jadi lama kan,” cerca Mulya menyalahkan Brian.
“Kok jadi aku? Kamu yang sudah buat Dokter Alka marah dengan lelucon recehmu,” hardik Brian yang tidak mau disalahkan.
“Terus ini gimana? Dokter Alka marah.”
“Ya pikirkan sesuatu!” titah Brian.
Mulya bingung harus apa sekarang, dia juga tidak menyangka kalau leluconnya membuat Alka marah. Namun, Mulya masih tidak mau disalahkan. Bagi Mulya, ini semua salah Alka sendiri yang gampang marah.
“Biar saja dia cepet tua karena marah-marah,” seloroh Mulya segera menuju ke loker untuk mengambil tasnya dan bergegas pulang. Kesal sekali rasanya saat Alka marah dan tidak menganggapnya.
“Untuk sekarang istirahat dulu ngejar Dokter Alka, besok ngejar lagi,” ujar Mulya. Gadis itu rupanya tidak menyerah sama sekali.
****
“Kenapa Papa menyuruhku menjadikan gadis bodoh itu asisten?” tanya Alka dengan marah sambil membanting tas kerja di meja Papanya.
Rendra yang tengah fokus dengan komputernya pun menatap anaknya bingung, “Kenapa datang-datang marah?” tanya Rendra.
“Bagaimana gak marah kalau Papa menyuruhku menjadikan Mulya asisten. Banyak yang lebih berkompeten, banyak yang lebih serius dan tanggung jawab, tapi Papa malah membawa Mulya. Kalau Papa mengatakan kepadaku dari awal, aku akan menyuruh Papa menolak anak koas itu,” seloroh Alka bertubi-tubi.
Alka melepas tiga kancing teratas kemejanya saking panasnya hari ini. Ruangan kepala rumah sakit itu full AC, tetapi hawa di tubuh Alka bagai di bawah terik matahari.
“Alka, sabar!” pinta Rendra.
“Bagaimana bisa sabar kalau asistennya Mulya? Hari ini dia ingin memelukku, terus siang harinya dia terlambat datang. Biasanya Papa merekomendasikan asisten yang bagus, tapi kenapa sekarang malah gadis bodoh itu?” tanya Alka bertubi-tubi.
Kekesalan Alka semakin menjadi saat Papanya hanya tersenyum tanpa mau memberikan komentar apapun.
“Pa,” rengek Alka.
“Alka, Mulya dan Brian koas di sini. Harusnya kamu bisa membimbingnya,” ujar Rendra.
“Membimbing ya membimbing, tapi gak Mulya juga. Pokoknya aku mau ganti-”
“Tidak bisa,” sela Rendra membuat Alka menghentikan ucapannya. Alka menatap papanya tidak berkedip, mentang-mentang kepala rumah sakit, Papanya bersikap sesukanya.
“Kamu jangan benci-benci, nanti jadi cinta,” tegur Alka.
“Papa kebanyakan nonton Jodha Akbar, semua yang benci bakal jadi cinta,” ketus Alka langsung berdiri dan melenggang pergi begitu saja.
Keesokan harinya pukul setengah tujuh pagi, Mulya sudah berada di depan ruangan Dokter Alka. Perempuan itu mendekap paper bag yang berisi makanan. Mulya menanti Alka untuk meminta maaf kepada pria itu agar tidak marah lagi.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Alka datang membawa tasnya. Pria itu menangkap keberadaan Mulya, tetapi malas untuk menatap. Emosinya kemarin belum reda, dan sekarang sudah berhadapan lagi dengan gadis itu.
“Dokter!” panggil Mulya.
“Hm.” Alka hanya menjawab dengan deheman.
“Dokter, untuk yang kemarin aku minta maaf,” ujar Mulya.
Alka tidak menjawab, Dokter muda itu membuka pintu ruangannya dan segera masuk. Mulya mengikuti Alka seraya terus meminta maaf.
“Dokter, maafin aku, Dokter. Aku janji gak akan mengulangi lagi.” Mulya terus membuntuti Alka kemanapun Alka pergi di ruangan itu.
Saat Alka menuju meja, Mulya mengikuti, saat Alka menuju meja seberang tempat asisten, Mulya pun tetap mengikutinya.
“Dokter, maafin, ya!” pinta Mulya memelas.
“Iy-”
“Aku minta maaf, kalau gak dimaafin ya sudah yang penting sudah minta maaf kan. Lagi pula ini bukan sepenuhnya salahku. Karena Brian yang pakai acara nambah nasi dan salah Dokter juga karena terlalu disiplin,” oceh Mulya yang membuat Alka membulatkan matanya sambil bibirnya menganga lebar.
Tadinya Alka sudah siap mengatakan ‘Iya, sudah saya maafin’ Namun, semuanya urung saat Mulya malah mengoceh dan menyalahkan dirinya.
“Jadi ini salah saya?” tanya Alka.
“Iya, karena Dokter yang terlalu disiplin,” jawab Mulya.
“Mulya, kalau laki-laki yang salah, dia akan mengakui kesalahannya dan minta maaf hingga beres perkara. Kalau perempuan yang bersalah, dia akan muter-muter alasan sana sini, ngambek, nangis, alasan lagi, ngambek lagi, alasan lagi, minta maaf tapi ujungnya nyalahin orang lain,” cerca Alka.
Mulya menggoyang-goyangkan badannya. Sedangkan Alka mengusap rambutnya kasar, masih pagi emosinya sudah dipancing oleh Mulya.
“Iya-iya aku yang salah. Nih makanan buat Dokter.” Mulya memberikan paper bag kepada Alka.
Alka menarik paper bag itu dan segera menuju ke tempat sampah. Tanpa perasaan, Alka menginjak tombol push di tempat sampah hingga terbuka, Alka membuang paper bag itu di sana.
“Saya harus bekerja profesional, tidak ada suap di sini,” ujar Alka dengan tajam.
“Tapi itu makanan sebagai permintaan maaf saya, Dok,” kata Mulya.
“Cepat baca riwayat pasien yang sudah ada di meja!” titah Alka membuat Mulya tidak lagi protes, meski dia sedikit sakit hati makanannya dibuang begitu saja.