13. Serba Salah

1353 Words
Mulya kesal bukan main saat dirinya tidak boleh memegang pasien oleh Dokter Yesha. Kini Mulya harus keluar ruangan Dokter Alka, sedangkan Brian tetap dibiarkan di sana. Mulya menghapus air matanya dengan cepat, saat kesal Mulya memang lebih mudah menangis, tetapi setelahnya akan baik-baik saja. Mulya hanya duduk diam di depan ruangan Alka bersama beberapa pasien yang tengah antri. Cewek itu terlihat jelas tidak baik-baik saja, maka itu terus menundukkan kepalanya. “Hikss hikss … Sakit banget, Ma. Perut Kiki sakit,” rengek seorang gadis kecil yang tengah dipangku oleh ibunya, mungkin usianya baru empat tahun. “Huwaaa ….” Suara tangisan itu semakin kencang tatkala nama Kiki belum dipanggil. Seorang perempuan yang memangku Kiki pun bingung menghadapi anaknya yang menangis. “Tenang, Sayang. Masih antri, nanti kalau Dokter sudah periksa kamu baik-baik saja,” ujar perempuan itu. Mulya ingin bertanya kepada perempuan itu, bahkan Mulya sudah berdiri, tetapi gadis itu mengurungkan niatnya karena takut ditegur lagi oleh Dokter Yesha. Mengingat tadi dirinya sampai diusir hanya karena memeriksa Daren. “Mama, sakit, Ma” rengek Kiki memekakkan telinga. Mulya memejamkan matanya mendengar tangisan memprihatinkan dari Kiki. Dalam diri Mulya sangat ingin membantu, tetapi takut. “Mama sakit banget … hikss hikss ….” Tiba-tiba tubuh Kiki collapse membuat perempuan yang menggendongnya semakin panik. Dokter Rendra yang kebetulan lewat bersama Dokter-dokter yang lain pun menatap ke arah gadis kecil yang tengah collapse. “Bawa ke UGD!” titah Dokter Rendra kepada beberapa dokter yang mengikutinya. Satu Dokter segera menggendong Kiki dan membawanya ke unit gawat darurat, sedangkan Mulya berdiri dan mematung menatap punggung dokter itu. Rendra menatap ke arah Mulya, pria paruh baya itu menghampiri asisten anaknya. “Mulya, kenapa kamu hanya diam saja?” tanya Rendra dengan nada yang dinaikkan beberapa oktaf. Mulya terkesiap mendengar sedikit bentakan dari kepala rumah sakit itu. “Dokter– itu tadi–” “Menjadi bagian dari tenaga kesehatan dituntut untuk peka, kalau ada yang membutuhkan bantuan cepat ditangani, atau kalau tidak bisa panggil Dokter lain pasti Dokter akan datang,” tegur Rendra. “Baik, Dokter. Maaf,” ujar Mulya menundukkan kepalanya. Kini gadis itu ditegur di hadapan banyaknya pasien yang sedang antri. “Saya tidak mau ini terjadi lagi. Kalau ada pasien yang darurat, cepat bantu panggil dokter lain!” tambah Rendra sebelum meninggalkan Mulya. Mulya kembali mengangguk. Sebenarnya bagus Rendra menegurnya, pun dengan tidak ada kata-k********r yang pria itu ucapkan. Namun, malunya sampai ke ujung-ujung Mulya karena dia ditegur di depan banyak orang yang kini juga tengah menatapnya dengan pandangan yang tidak bersahabat. Sungguh menjadi Mulya serba salah, dia membantu disalahkan, tidak membantu pun disalahkan. Mulya kembali duduk dan merenung seorang diri, sedangkan ucapan-ucapan penuh hardikan terus dia dengar. Dari mulai Mulya disuruh keluar sampai pasien habis, Mulya tidak dipersilahkan masuk oleh Dokter Alka dan Dokter Yesha. Bahkan jam istirahatnya hanya digunakan untuk merenung di depan ruangan Alka. Hingga pukul tiga sore, Brian keluar sembari mengusap keningnya yang penuh keringat. “Mulya, kamu masih di sini?” tanya Brian. “Lo pikir?” tanya Mulya dengan sewot. Alka ikut menghampiri Mulya, “Ayo ikut saya visit!” ajak Alka. “Sudah boleh ikut memeriksa pasien?” tanya Mulya dengan nada sinis. “Ayo, berdirilah!” ajak Brian menarik tangan Mulya untuk berdiri. Dokter Yesha turut keluar seraya membawa stetoskopnya, perempuan itu menatap Mulya dari atas sampai bawah seolah menilai. Mulya sangat tidak suka saat diintimidasi seperti ini. “Dokter Alka, awasi terus Mulya, jangan sampai dia gegabah!” pinta Dokter Yesha. “Baik, Dok,” jawab Alka. Mulya menatap tidak percaya ke arah Alka yang bagai kerbau dicocol pantatnya oleh Dokter Yesha. Belum sempat Mulya protes, Dokter Yesha sudah pergi begitu saja meninggalkan mereka. Tangan Mulya terkepal dengan kuat siap menghantam orang. Niatnya ingin memukul Dokter Yesha, tetapi perempuan itu sudah pergi lebih dahulu membuat Mulya menghantam pundak Brian. Brian mengaduh kesakitan tatkala mendapat tinjuan dari Mulya, “Kenapa aku ditinju, Mul?” tanya Brian tidak terima. “Anggap saja itu karma salah sasaran,” jawab Mulya. “Ayo jalan!” ajak Alka berjalan lebih dahulu yang diikuti oleh Mulya dan Brian. Menunggu selama berjam-jam di depan ruangan Alka tanpa makan dan minum membuat tenaga Mulya seolah terkuras habis, pun dengan banyaknya pasien yang harus mereka kontrol kali ini membuat tenaga Mulya semakin terkikis. Namun, Mulya mencoba untuk senyum biar terkesan ramah dan tidak menakutkan. Alka sudah tidak bisa senyum, bisa tambah sakit kalau terus menatap wajah Alka yang banyak aura suramnya. “Dokter, perutku masih kekenyangan,” keluh Brian setelah keluar dari salah satu ruang rawat seraya mengusap perutnya. “Kamu makan sangat banyak makanya kekenyangan,” jawab Alka. “Ternyata masakan dari rumah sakit enak juga. Saya pikir dulu masakan rumah sakit hambar,” ucap Brian terkekeh pelan. Mulya berjalan lemas dengan sisa tenaganya, temannya memang tidak setia kawan, dirinya enak-enakan makan di ruangan Alka sedangkan tidak memperdulikan temannya yang hampir pingsan karena kelaparan. Mulya terus mengikuti kemanapun Alka pergi bersama Brian, langkah gadis itu terseok-seok karena sudah lelah. Saat memasuki kamar terakhir, Mulya diperintahkan Alka untuk mengecek tensi darah pasien. Seorang perempuan mendorong tubuh Mulya membuat Mulya terkesiap. “Jangan dia yang memeriksa, Dokter. Saya gak mau!” pekik perempuan paruh baya itu. Mulya mengerjapkan matanya mendapat perlakuan yang tidak baik. “Ibu, tenang. Ini asisten saya,” ujar Dokter Alka. “Tapi saya gak mau kalau dia yang memeriksa anak saya. Saya tidak mau dia memeriksanya asal-asalan,” jawab Ibu pasien. “Saya tidak asal-asalan memeriksa, sebelum di sini pun saya sudah belajar banyak hal,” protes Mulya. “Kalau kamu sudah belajar banyak hal, tetapi kemana jiwa menolongmu sebagai tenaga medis? Ada orang kesakitan sampai collapse kamu membiarkan begitu saja,” sentak Ibu itu. Dokter Alka menarik Mulya untuk mundur sebelum terjadi perdebatan yang panjang, mengingat bibir Mulya juga pintar berdebat. “Saya gak mau kalau gadis ini, Dokter. Saya sudah mempercayakan anak saya di tangan Dokter.” “Baiklah, saya akan memeriksa,” jawab Dokter Alka mengalah. Alka memeriksa pasien dan menjelaskan kepada mereka kalau keadaan pasien membaik, besok mereka sudah boleh pulang. Ibu itu sangat ramah di depan Alka dan mendengarkan penjelasan dokter itu, tetapi saat melihat Mulya, pandangannya sangat tajam seolah mencabik-cabik. Siapa bilang tenaga kesehatan wajahnya judes-judes dan galak-galak? Padahal di beberapa kasus, malah keluarga pasien lah yang selalu garang kepada tenaga medis. Setelah memeriksa di kamar terakhir, Alka, Brian dan Mulya keluar. Alka menghentikan langkahnya di koridor rumah sakit, pun dengan Brian dan Mulya yang turut berhenti. “Mulya, kenapa saya tidak tahu kalau ada pasien collapse? Dan kenapa kamu tidak mau menolongnya?” tanya Alka. “Saya tidak berani menolong,” jawab Mulya yang kini memakai panggilan formal kepada Alka. “Kamu bilang kamu sudah belajar banyak hal, tapi menolong orang yang collapas saja kamu tidak berani. Kalau tidak berani harusnya panggil saya-” “Dokter sedang banyak pasien,” jawa Mulya menyela ucapan Alka. “Kalaupun saya banyak pasien, saya akan mengutamakan yang darurat,” jelas Alka. “Ya, besok kalau ada pasien darurat, saya panggil Dokter,” jawab Mulya sembari mengusap keringat yang membasahi keningnya. Jas yang dia pakai seketika basah. “Mulya, kamu baik-baik saja?” tanya Brian menatap Mulya yang wajahnya sudah pucat. “Baik,” jawab Mulya. “Dokter, ini pasien terakhir. Sudah boleh pulang?” tanya Brian. “Ya, silahkan,” jawab Alka mempersilahkan kedua pemuda itu untuk pulang. Mulya segera membalikkan tubuhnya dan pergi lebih dahulu. “Mulya!” panggil Alka. Mulya menghentikan tubuhnya dan menoleh sejenak, “Apa?” tanya gadis itu. “Kamu ada temennya pulang?” tanya Alka. “Ada,” jawab Mulya asal dan kembali pergi. Langkah kaki Mulya sedikit tergesa-gesa untuk menjauhi Alka dan Brian. Hingga belum sempat Mulya sampai di ujung lorong rumah sakit sebagai pintu keluar bagian belakang, perut Mulya mual hebat. Gadis itu memegangi perutnya yang seolah tengah diaduk-aduk. Karena sudah tidak kuat menahannya, Mulya membelokkan tubuhnya ke kamar mandi, gadis itu memuntahkan isi perutnya di sana. Mulya muntah sampai di sudut matanya mengeluarkan air mata. Tubuh gadis itu terasa remuk semua, belum lagi rasa panas di perutnya. Mata Mulya mulai berkunang-kunang hingga gadis itu jatuh tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD