Prolog

369 Words
Seorang lelaki berusia paruh baya dengan badan yang masih terlihat kekar berbaring di atas sebuah kursi malas. Di depannya, pemandangan yang indah dari pegunungan di pagi hari yang masih tertutupi kabut terhampar tanpa terhalang apa pun. Pria itu bernama Rajin. Nama yang sederhana dan terkesan kampungan, tapi sangat bertolak belakang dengan sosok dari pemiliknya. Rajin adalah sebuah gambaran dari seorang pria yang bisa dikatakan sudah melewati tahap kebebasan finansial. Uang bukan masalah baginya. Seperti saat ini, Rajin yang lebih suka dipanggil dengan nama Jin, sedang menikmati masa santainya di sebuah villa miliknya yang terletak di salah satu kawasan wisata di antah berantah. Dia menikmati sebatang rokok di tangannya dengan pandangan mata yang menerawang jauh ke kabut tipis yang menyelimuti hijau pepohonan di sana. "Om... Nggak mau gabung sama kita?" Tiba-tiba sebuah suara terdengar di telinga Jin diikuti tawa genit yang mengundang. "Nggak," jawab Jin dengan suara pelan dan tegas. "Ya udah, kalau gitu, kita aja yang kesitu," jawab si gadis sambil keluar dari kolam renang di lantai dua villa milik Jin. Sesosok tubuh seksi tanpa sehelai benang pun keluar dari kolam renang dan berjalan ke arah Jin yang masih berbaring di kursi malasnya. Air yang menetes dan membasahi tubuh si Gadis menimbulkan desakan birahi dalam tubuh Jin. "Ish. Si Om... Hihihihi.. Langsung berdiri," canda si Gadis yang mungkin seumuran dengan anak Jin. Lalu tak berapa lama kemudian, 3 orang gadis cantik dan masih terlihat belia menggumuli Jin diatas kursi malasnya. Jin hanya telentang dan menikmati semuanya sambil tak berhenti menikmati rokoknya. Jin punya istri. Istri yang mungkin sekarang entah berada di pelukan siapa. Jin punya anak. Anak yang sekarang entah sedang teler dimana. Tapi anehnya, Jin tak peduli akan semuanya. Mungkin orang akan bermimpi untuk bisa menikmati gaya hidup seperti yang dijalani oleh Jin. Tapi Jin sendiri merasa hampa. Jin terlahir dari keluarga kaya. Sejak kecil, Jin juga dididik menjadi pewaris keluarga. Jin selalu melihat semuanya seperti sebuah kegiatan jual beli. Menilai sesuatu dari sisi untung rugi. Menikah. Punya anak. Semuanya. Dan kini, di usianya yang sudah memasuki kepala lima, Jin merasa hampa dan hanya dua kalimat terngiang di kepalanya. "Apakah seperti ini kehidupan yang ingin kujalani?" "Seandainya saja, aku bisa mengulanginya, apakah aku akan mengambil pilihan yang sama?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD