Part 1 - Kehidupan yang menyedihkan

1133 Words
Jin menekan klakson mobilnya keras-keras. Setelah lama tak ada jawaban atau pergerakan dari dalam rumah, Jin mengulanginya lagi. Berkali-kali, hingga akhirnya sesosok laki-laki tua dengan tergopoh-gopoh berlari membuka pintu gerbang rumahnya. "Lama sekali sih Pak?" tanya Jin ke arah Pak tua yang sudah sejak Jin remaja bekerja untuknya dan bernama Kamis itu. "Maaf Pak, tadi saya ada di belakang," jawab Pak Kamis sambil tersenyum meminta maaf. Jin hanya menganggukkan kepalanya sebagai balasan. Tak lama kemudian dia sudah berjalan keluar ke arah ruang tamu rumahnya. Jin berdiri sebentar di ruang keluarga dan menarik napas dalam. Sepi dan hampa. Rumah megah yang dimilikinya ini sama sekali tak membuatnya merasa nyaman layaknya tempat peristirahatan yang bisa membantunya melepas penat. Tak ada sama sekali yang mengikatnya di sini, sekalipun dia sudah menempatinya puluhan tahun. "Ibu mana?" tanya Jin sambil menanyai Pak Kamis yang dengan sigap sudah meminta tas di tangan Jin. "Mmm," Pak Kamis terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan tuannya. "Pergi lagi? Sejak kapan?" tanya Jin. "Kemarin siang Pak," jawab Kamis pelan. Jin hanya terdiam. Tak perlu dijelaskan pun, dia sudah bisa menebak istrinya pergi kemana. Jin bukan orang bodoh. Tapi anehnya, sama sekali tak ada amarah dalam dadanya, sekalipun dia tahu kalau mungkin istrinya saat ini sedang bersenang-senang dengan laki-laki lain. "Dian kemana?" tanya Jin lagi sambil merebahkan tubuhnya ke sofa ruang keluarga dan menarik napas panjang. "Mas Dian nggak pulang dari kemarin malam," jawab Kamis. Jin kembali terdiam. Apakah seperti ini yang seharusnya disebut rumah? Istrinya, Lydia, tak pernah ada saat dia pulang. Sekalipun ada, mereka hanya seperti dua orang kenalan yang hanya bertegur sapa seadanya. Bagaikan sepasang teman kos yang tinggal seatap tanpa hubungan khusus. Anak laki-lakinya, Dian, pun sama. Dulu, pernah ada masanya ketika Jin akan dengan senang hati dan riang pulang kesini. Dulu, pernah ada masanya ketika Jin akan dengan ramah selalu memeluk Lydia dan menciumnya mesra. Tapi semua berubah sejak Jin memergoki Lydia berselingkuh dengan seorang laki-laki lain di sebuah hotel saat Dian masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Sejak itu, semua rasa yang dia miliki untuk wanita yang seharusnya menjadi istrinya, hilang terbawa angin. Jin pernah bertanya, apa alasan Lydia melakukan itu, dan dia tak bisa menemukan alasannya. Uang? Tak mungkin. Kepuasan? Tak juga. Sakit hati? Jin tak pernah memulai semuanya. Lalu apa? Tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Di saat Jin memutuskan untuk menceraikan Lydia, Dian menangis dan memeluk Mamanya. Jin hanya bisa menghela napas dan meredam semua amarah di dadanya. Dia belajar untuk menelan kepahitan yang dialaminya. Dan seperti yang sudah-sudah, hitungan untung rugi yang mendominasi kepala Jin, yang akhirnya membuatnya mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan pernikahannya. Sejak itulah kehidupan rumah tangga Jin berangsur-angsur menjadi seperti sekarang ini. Sejak saat itu juga, Jin tak pernah lagi menyentuh istrinya. Betapa dia sangat jijik sekali saat berada di dekat Lydia. Bahkan pernah suatu ketika saat Jin memaksakan diri untuk mencium kening istrinya, Jin muntah sejadi-jadinya. Lydia tak terima, dia menjadi brutal, dan beginilah akhirnya. Jin mengeluarkan rokok dari saku bajunya lalu menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya. Jin lalu mencoba menyalakan smart tv berukuran besar di depannya. Jin menunggu. Tapi hanya layar biru polos yang terlihat disana. Jin berdiri dan dengan sedikit penasaran mencoba melihat ke bagian belakang tv, siapa tahu ada kabel koneksi yang terlepas disana. Tiba-tiba. Bzzzzzzztttttttt. Jin merasakan sakit luar biasa di ujung telapak tangannya. Dia tahu kalau dirinya baru saja terkena sengatan listrik. Semua terasa berputar dan Jin jatuh lemas di lantai. Langit-langit ruang tamu yang dihiasi ornamen di tepinya menjadi pemandangan terakhir yang dilihat Jin sebelum semuanya berubah gelap dengan cepat. "Bangke. Masa aku mati kek gini? Kesetrum listrik coba? Nggak keren amat," sungut Jin dalam hati, dan itu adalah pikiran terakhirnya sebelum semuanya menjadi gelap gulita. ===== Aku mendengar suara dua orang yang sedang bercakap-cakap dengan suara pelan di dekatku. Bulu kudukku merinding seketika. Bangke. Ternyata benar kata Pak Ustadz. Ada yang namanya siksa kubur. Seingatku tadi, aku kesetrum saat memeriksa tvku dan harusnya aku tewas. Siapa yang nggak tewas coba kalau kesetrum listrik 220V kek aku tadi. Huft. Kini, aku benar-benar menyesali semua perbuatan bejatku. Mulai suka ngintip pembantu mandi saat masih kecil dulu. Coli sambil bayangin bodi seksi guru Bahasa Inggrisku, suka bohongin Bapak dan Ibu, sampai ke semua kelakuan bejat akibat persaingan bisnisku. Tubuhku kini bergidik ngeri. Gusti... Siksaan apa yang bakal Kau berikan pada hambaMu sang pendosa ini? Aku terbayang berbagai cerita tentang siksaan alam kubur. Apalagi sinetron-sinetron azab siksa kubur di tv yang langsung terbayang di kepala. Dengan menahan sejuta rasa takut dalam dada, (lebay banget), aku memasang telingaku dengan seksama, mencoba mendengar rencana jahat malaikat-malaikat yang mungkin sedang berdiskusi tentang bagaimana caranya akan menghajarku habis-habisan setelah ini. "....." Hanya suara gumaman pelan yang awalnya terdengar di telingaku. Setelah sekian lama, rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak karena ingin melihat wujud mahluk mulia itu membuatku ingin membuka mata. Aku berusaha membuka kedua mataku sekuat tenaga tapi tetap saja tak berhasil melakukannya. Dan aku pun menyerah. Aku kembali memusatkan perhatianku kembali ke pendengaranku dan mencoba mencuri dengar percakapan mereka. "....." Masih suara gumaman tak jelas yang bisa kudengar. Huft. Aku membuang napas dan pasrah. Aku sudah menjalani hidupku selama 52 tahun. Banyak hal yang kulewati dan kualami. Jadi, sebenarnya hanya sedikit hal saja yang bisa menarik perhatianku. Dan kini saat aku penasaran sekali dan sangat ingin melihat penampakan malaikat penjaga alam kubur, aku justru tak bisa membuka mataku. "Tenang Bu, putra Ibu cuma demam tinggi saja. Bukan sesuatu yang kritis atau membahayakan." "Ha?" aku kaget saat mendengar sebuah suara yang tiba-tiba masuk ke telingaku. Apa-apaan? Kok malaikat ngomongin soal demam? "Bener ya Pak Dokter. Rajin putra kami satu-satunya, jadi kami sangat kuatir sekali," jawab suara seorang wanita yang aku kenal sekali, suara Ibuku. "Tenang aja Bu'ne. Pak Dokter kan sudah bilang kalau Rajin nggak kenapa-kenapa," jawab seorang laki-laki yang aku tahu adalah Bapakku. Aku langsung kaget. Jadi? Yang kusangka suara malaikat tadi adalah suara Bapak dan Ibuku yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Dokter. Tunggu dulu!! Ibu meninggal saat aku berusia 17 tahun. Bapak meninggal tak lama kemudian saat aku kuliah di semester 3 dan berusia 19 tahun. Kenapa mereka sekarang berada di dekatku dan bercakap-cakap dengan Pak Dokter soal aku yang sedang demam? Aku dimana? Apa yang terjadi? "Pak Dokter, pasien siuman," kata seorang wanita yang terdengar jauh lebih muda dari suara ibuku. Entah mungkin perawat atau siapa, tapi aku tak peduli. Kepalaku masih pusing dengan banyak pertanyaan tak terjawab yang berputar-putar di telingaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Dimana aku? Bukankah aku harusnya sudah mati mengenaskan dan nggak keren karena kesetrum listrik? Kenapa sekarang aku sedang dirawat di rumah sakit dan Bapak Ibuku masih hidup? Gusti, apakah Engkau sedang bercanda denganku? Kepalaku tiba-tiba terasa sakit sekali dan lama kelamaan aku kembali kehilangan kesadaran diri. "Rajin?" hanya suara Ibuku yang penuh dengan nada kuatir terngiang dekat sekali di telingaku sebelum semuanya kembali gelap gulita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD