13. Hari Pertama

1493 Words
Hari ini, Eleanor sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap untuk melakukan pekerjaannya. Ia merasa begitu antusias di hari pertamanya bekerja. Meski itu adalah pekerjaan yang terbilang sederhana dan mudah, tapi ia akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Bagaimanapun, ia tak boleh menyia-nyiakan kebaikan orang yang telah menolongnya. Sesuai kata Perry, semalam Christian pulang sangat larut di mana semua orang telah tidur. Dan sekarang, Eleanor tengah dalam perjalanan menuju kamar pria itu untuk menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya hari ini. Selama beberapa saat, ia hanya berdiri di depan pintu kamar pria itu. Setelah menghela napas panjang, ia pun mengetuk pintu beberapa kali. Akan tetapi, tak ada tanggapan apa pun dari dalam kamar. Mengingat instruksi Perry, Eleanor boleh langsung masuk ke dalam jika Christian tidak membalas ketukan pintunya hingga beberapa kali. Dengan hati-hati, ia pun membuka pintu lalu mengintip ke dalam kamar. Dan kosong. Eleanor tak menemukan pria itu di dalam sana. Sampai akhirnya ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. “Ah, dia sedang mandi,” gumamnya. “Kalau begitu aku harus bergegas sebelum dia selesai.” Tanpa membuang waktu lagi, Eleanor bergegas masuk ke dalam walk in closet Christian dan mulai memilih pakaian mana yang akan pria itu kenakan hari ini dengan tergesa-gesa tapi juga teliti. Sehelai kemeja putih, dasi merah bergaris, serta setelan jas berwarna biru navy. Eleanor menatap setelan pilihannya lalu menganggukkan kepala puas. “Kombinasi yang sempurna.” Ia pun segera menyatukan semuanya dalam satu gantungan baju kemudian menggantungnya di tiang gantung. Setelah memastikan setelan tersebut rapi, Eleanor kembali beranjak memilah sepatu pantofel. “Wah. Banyak sekali,” gumamnya terpukau. “Ah, tidak. Ini bukan saatnya untuk itu.” Setelah mengamati semuanya selama beberapa saat, pilihan Eleanor jatuh pada pantofel hitam dengan sebuah pengait besi di atasnya. “Akhirnya selesai.” Ia menyeka keningnya seraya menghela napas lega. “Sepertinya aku harus melakukan ini saat malam. Akan lebih mudah bagiku, karena Tuan belum pulang saat itu.” “Baiklah. Kalau begitu, aku tinggal menyiapkan sarapan untuknya,” ujar Eleanor kemudian beranjak dari sana. Namun, begitu ia keluar dari walk in closet, matanya langsung bertatapan dengan Christian yang juga baru keluar dari kamar mandi. Aroma wangi yang khas pun memenuhi indra penciumannya. Sontak tubuh Eleanor menjadi kaku dan tegang. Terlebih ketika matanya menangkap tubuh bagian atas Christian yang begitu kekar tanpa ditutupi sehelai kain pun dan membuatnya terlihat begitu menggoda. Seketika wajah Eleanor tersipu melihat pemandangan menakjubkan itu. Ia lantas meneguk ludah perlahan saat tetesan air mengalir di tubuh kotak-kotak itu. Ini memang bukan kali pertamanya melihat pemandangan yang seperti itu. Eleanor telah terbiasa melihat tubuh Oscar yang bertelanjang dadaa. Namun, ini pertama kali baginya melihat tubuh yang seperti milik Christian sampai membuat jantungnya berdebar kencang. “Apa yang kau lakukan?” sahut Christian yang membuat Eleanor tersentak dari lamunannya. Sontak Eleanor mengalihkan pandangan dari dadaa bidang Christian dan menjawab dengan gugup. “A, ah. Selamat pagi, Tuan. Aku ke sini untuk menyiapkan pakaianmu. Aku sudah mengetuk pintu beberapa kali sebelumnya, tapi kau tidak menjawab. Jadi, aku langsung masuk dan menyiapkan pakaian yang akan kau kenakan hari ini.” “Baiklah,” ucap Christian kemudian berlalu masuk ke dalam walk in closet. Begitu pria itu menghilang di balik pintu, tangan Eleanor langsung terulur memegang dinding. Ia merasa kakinya lemas hingga tak mampu berdiri dengan benar, karena apa yang dilihatnya barusan. Sebelah tangannya yang lain mengelus dadanya yang masih berdebar kencang. “Apa ini? Kenapa jantungku terus berdebar? Padahal aku tidak seperti ini saat melihat Oscar betelanjang dadaa. Orang mesumm? Tidak. Aku bukan orang seperti itu. Tapi, kenapa jantungku terus berdebar kencang? Tenanglah jantung. Tenanglah. Kau harus ingat Oscar, Eleanor. Kau sudah memiliki kekasih. Tidak seharusnya kau terpesona dengan tubuh pria lain,” ocehnya panik. “Aku harus segera keluar dari sini,” tegasnya kemudian segera keluar dari sana. Setelah menutup pintu, Eleanor langsung menghela napas panjang. Saat hendak beranjak, entah kenapa tiba-tiba ia ingin menoleh pada ruangan terlarang di lantai tersebut. Rasa penasarannya semakin besar terhadap ruangan itu. Cukup lama Eleanor memandangi ruangan tersebut hingga akhirnya ia memutuskan untuk beranjak menuju dapur dan bergegas menyiapkan sarapan Christian. Dalam sekejap, sepiring pancakes dan segelas jus jeruk telah tersaji di atas meja. Faktanya Eleanor hanya tinggal memindahkan makanan tersebut ke atas meja makan. Setelahnya, ia beranjak menuju tangga untuk menunggu pria itu. Tak berapa lama kemudian, Christian menuruni tangga mengenakan setelan dan sepatu yang Eleanor siapkan. Tentu itu membuatnya merasa sangat senang. Ini pertama kalinya ia merasa kerja kerasnya dihargai oleh orang lain. “Sarapanmu sudah siap, Tuan,” sahut Eleanor antusias. “Aku akan melewatkan sarapan hari ini,” tukas Christian sambil terus berjalan. “Apa? Kenapa?” tanya Eleanor mengikuti. “Ada operasi pagi ini,” jawab Christian. Eleanor mengerjapkan mata beberapa kali. “Kalau begitu, tolong tunggu sebentar. Kumohon. Ini tidak akan lama.” Setelah itu, ia langsung berlari menuju dapur tanpa menunggu persetujuan pria itu. Sementara itu, Christian hanya melirik sebentar dan kembali berjalan menuju mobilnya lalu menunggu di sana sambil memainkan ponselnya. Tak berapa lama, Eleanor muncul dan segera berlari dengan tergopoh-gopoh menghampiri Christian kemudian memberikan sebuah kotak bekal yang ia bawa. “Ini. Aku tahu kau sangat sibuk, tapi jangan sampai melewatkan sarapan. Kau boleh memakannya dalam perjalanan,” ucapnya sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Sesaat Christian hanya menatap kotak bekal yang Eleanor sodorkan hingga membuat wanita itu gugup. Namun akhirnya, ia meraih benda tersebut lalu meletakkannya di kursi samping yang membuat Eleanor tersenyum. “Lalu Tuan, apakah aku boleh keluar hari ini? Aku harus mengunjungi tempat kerja lamaku untuk mengundurkan diri. Aku belum menghubungi mereka sejak masuk rumah sakit. Bagaimanapun, aku harus memberitahu mereka jika aku telah mendapatkan pekerjaan baru,” ujar Eleanor. “Baiklah. Kau bisa meminta Samuel untuk mengantarmu,” ucap Christian. “Ah, tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkannya. Aku bisa pergi menggunakan bus,” tolak Eleanor sambil melambaikan kedua tangannya di depan dadaa. “Bahkan jika kau ingin naik bus, jarak dari sini ke halte bus sangat jauh. Kau yakin tidak memerlukan Samuel untuk mengantarmu?” tanya Christian dengan sebelah alis terangkat. ‘Benar juga. Kakiku bisa patah jika harus berjalan kaki dari sini ke halte bus,’ batin Eleanor. “Kalau begitu, aku akan meminta tolong pada Samuel untuk mengantarku ke halte bus saja,” putusnya. “Terserah kau,” ucap Christian. “Terima kasih, Tuan,” ujar Eleanor mengulas senyum. “Kau tidak perlu terus memanggilku seperti itu. Panggil saja senyamanmu,” tukas Christian kemudian langsung melajukan mobilnya tanpa menunggu balasan dari Eleanor. Sementara itu, Eleanor termangu di tempat setelah mendengar ucapan pria itu. “Aku bisa memanggilnya senyamanku? Kalau begitu aku harus memanggilnya apa? Dokter? Pak? Atau ... Christian? Chris?” Di lain sisi, Perry yang sejak tadi berdiri di balik jendela lantas menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Raut wajahnya seolah menyiratkan sesuatu. *** Christian menginjak pedal rem ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Sembari menunggu, tiba-tiba pandangannya teralihkan pada kotak bekal yang Eleanor berikan. Setelah berpikir sejenak, ia meraih kotak bekal tersebut lalu membukanya dan melihat beberapa pancakes yang telah dipotong menjadi beberapa bagian kecil. Christian menghela napas pendek kemudian meraih garpu dan mulai memakan sarapannya dengan tenang. Ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, ia meletakkan kotak bekalnya di atas paha dan kembali melajukan mobilnya sambil terus menyantap pancakes-nya hingga tandas. Sesampainya di rumah sakit, Christian langsung menerima sapaan dari para tenaga medis yang melihatnya. Hingga tiba-tiba seseorang merangkul pundaknya dengan akrab. Dia adalah Anya. “Selamat pagi, Tampan,” sapa wanita itu dengan ceria seperti biasa. “Orang-orang melihatmu,” ucap Christian sembari melepas rangkulan sahabatnya itu. “Cih! Memang kenapa jika mereka melihat? Aku juga bukan menciummu,” cibir Anya bersedekap dadaa yang membuat Christian geleng-geleng kepala. “Oh, ya. Kau pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah menyiapkan sarapan di ruanganmu,” ajaknya penuh antusias. “Aku sudah sarapan,” tukas Christian. Anya menyipitkan mata kesal. “Apa kau harus berbohong hanya karena tidak ingin sarapan denganku?” “Aku benar-benar sudah sarapan,” ucap Christian yang justru membuat kening wanita itu mengerut. “Sungguh? Kau benar-benar sudah sarapan?” tanya Anya masih ragu. Namun, anggukan dari Christian akhirnya membuatnya percaya. “Ada angin dari mana yang membuatmu tiba-tiba sarapan hari ini? Kita sudah lama berteman, tapi aku tidak tahu ada hal yang bisa memaksamu untuk sarapan. Padahal kau selalu menolak setiap kali kuajak,” ocehnya seraya menatap pria itu dengan penasaran. “Eh, kau bahkan mengenakan dasi bermotif hari ini. Biasanya kau hanya mengenakan dasi polos. Ada apa dengan perubahan yang tiba-tiba ini? Kenapa kau mendadak berubah hanya dalam semalam? Apa kau benar sahabatku, Christian?” celoteh Anya yang merasa semakin bingung. “Kembalilah ke ruanganmu. Aku ada operasi satu jam lagi dan harus memeriksa kondisi pasien,” tukas Christian kemudian menghilang di balik pintu ruang ganti khusus dokter pria. Ia harus mengganti pakaiannya dengan pakaian operasi. Sementara itu, Anya tak bergeming dari posisinya sambil menatap pintu di mana pria itu menghilang. Tatapan yang tak dapat dideskripsikan. *** To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD