Bab 1

1559 Words
Tumpukan kertas di lantai membuat kepalaku pusing tujuh keliling, tugas sebagai penulis lepas membuat aku ingin berteriak kencang agar ide-ide yang mandek di otak ini bisa berubah jadi ide-ide cemerlang hingga menghasilkan sebuah novel seperti novel-novel sebelumnya yang jadi best seller beberapa tahun yang lalu, agar editorku bernama ibu Aurora berhenti mengancam akan memecatku sebagai penulis lepas di perusahaan penerbit 'Gumilar Elang' yang cukup terkenal di dunia literasi. Sudah satu rim kertas habis terbuang percuma tapi satu bab saja belum juga bisa aku selesaikan. "Arghhhhh, gue butuh ide!" Teriakku dengan sangat keras dan beberapa penulis lain langsung menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan meminta maaf karena sudah bikin keributan. Menulis butuh ketenangan agar ide muncul dan kata per kata bisa terjalin dengan indah menjadi satu kesatuan bernama kalimat. Ah, andai aku bisa seperti mereka yang menerbitkan beberapa novel dalam setahun. Sudah setahun ini aku tidak menerbitkan novel, novel terakhir memang best seller tapi itu setahun yang lalu. Aku butuh ide segar agar bisa menghasilkan novel bagus agar ibu Aurora berhenti mendesakku setiap hari. Ah iya sebelum mulai perkenalkan namaku Adara Malika Putri, 30 tahun dan aku penulis lepas sejak 10 tahun yang lalu. Aku sudah menerbitkan 10 novel best seller dan sebagai penulis aku lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dibandingkan rumah. Bahkan aku sudah setahun tidak ke rumah orangtuaku meski kami tinggal di kota yang sama. Bukan karena hubunganku dengan mereka buruk atau aku anak durhaka karena tidak pernah mengunjungi orangtua sendiri tapi karena aku malas setiap datang mama dan papa selalu menyuruhku berhenti jadi penulis lalu menikah dengan anak kenalan mereka. Jadi ibu rumah tangga seperti mama dan memberikan cucu pertama karena aku anak tunggal. Ah menikah, kata yang paling tidak aku sukai karena menurutku pernikahan itu ribet. Harus lapor suami, harus begini, harus begitu tanpa bisa melakukan apa pun tanpa perlu melapor ke pasangan. Bukankah ini sudah zaman emansipasi wanita? Makanya sampai usia 30 aku jomblo akut alias tidak pernah pacaran. Dulu aku sempat suka sama seseorang tapi langsung patah hati karena laki-laki itu sudah punya istri. Aku bukan pelakor yang rela merusak rumah tangga orang seperti drama korea yang sedang hits sekarang ini. "Sudah bab 1 nya?" Suara lantang penuh sindiran khas ibu Aurora membuyarkan lamunanku. Aku tersipu malu sambil menggaruk kepalaku pertanda bab 1 belum juga selesai. "Ckckckc, sudah setahun Adara dan selama itu kamu belum setor apapun! Kamu pikir ini perusahaan nenek moyang kamu!" Amuk ibu Aurora bagai auman singa betina yang anaknya dimangsa musuh. Mengerikan. "Saya lagi usaha bu, tapi belum ada ide di otak saya ini. Mungkin saya harus ke restoran Padang untuk beli otak," aku berusaha melucu meski terdengar garing. Ibu Aurora tidak menunjukkan reaksi apa-apa, dia hanya meletakkan kedua tangan di pinggang dengan mata melotot seperti ikan koki yang sedang kesentrum di aquarium. "Mau beli otak atau sekalian otak kamu dicuci biar bersih, masa bodo! Besok harus ada setoran bab 1 atau saya akan beri SP 1. Ingat Adara, minggu besok bos baru kita akan datang menggantikan pak Samuel. Bos baru itu lebih seram dari saya, kamu akan dimakannya kalau masih main-main, jadi sebelum dia datang silakan selesaikan bab 1 dan bab-bab berikutnya!" Masih dengan suara lantang bak toa mesjid. Aku cuma bisa mengangguk pelan. "Iya bu," balasku agar tidak menambah emosi ibu Aurora yang kian meninggi. Aku takut tensinya naik ke angka 200 kalau aku melawan ocehannya. "Hahaha," tawa penuh cemooh dari mulut Senno, penulis junior sekaligus sahabatku sejak SD seakan menambah beban dipikiran ini. "Bangsat!" Makiku dengan kejam. Senno bukannya berhenti setelah aku memakinya yang ada ia semakin berisik hingga penulis lain melihat kami berdua dengan tatapan membunuh. Senno Gumilar Elang, ya dari namanya kalian pasti tau kalau Senno ada hubungan dengan penerbit ini. Senno keturunan kedua dari bapak Edi Gumilar Elang yang baru bergabung sebagai penulis dua tahun yang lalu. Kami bersahabat sejak SD dan ternyata aku baru tau Senno bisa menulis juga sejak gabung ke perusahaan ini tanpa memberitahuku dulu. Aku pikir Senno akan melanjutkan perusahaan ayahnya tapi nyatanya Senno lebih memilih jadi penulis junior. Aku butuh udara segar. Aku menuju lantai atas tempat penulis mencari ilham dan ide, sekaligus mencari udara segar. Aku mengeluarkan sebatang rokok lalu mengisapnya agar rasa penatku hilang. "Bagi rokok dong," aku melihat Senno berdiri di sampingku dengan tangan menjulur meminta rokok. Aku mengacuhkan dia dan kembali mengisap sisa rokok yang masih aku pegang. "Pelit banget sama temen sendiri," ujarnya tanpa rasa malu setelah menertawaiku tadi. "Miskin banget loe, rokok saja kagak kebeli. Mati aja sekalian biar dunia ini damai, elo ya bukannya prihatin temen dimaki eh malah kegirangan," ocehku tanpa kendali. Senno lagi-lagi tertawa girang sembari memegang perutnya, wajahnya sampai merah padam karena menertawaiku. Aku langsung menjewer kupingnya dengan keras agar dia berhenti tertawa. "Masih aja loe tawa, gue sunat biar elo jadi banci beneran!" Makiku dengan tangan masih di telinganya. Senno itu gay dan aku baru tau sejak lima tahun yang lalu. Sebagai sahabat aku tidak berhak menghakiminya dan hanya bisa menerima semua kelebihan serta kekurangan Senno. "Sial! Sakit geblek!" Makinya balik sambil mengusap beberapa kali telinganya. Aku buang napas beberapa kali setelah puas menyiksanya. "Cariin gue inspirasi dong, sumpah otak gue blank banget." Senno lalu menjentikkan jarinya. "Makanya kawin, gue yakin inspirasi bakalan datang dengan sendirinya," ujarnya asal. Hampir saja aku menarik telinga satunya agar dia berhenti mengerjaiku tapi Senno langsung lari seribu langkah lebih dulu dariku. "Senno, anjerrrr!" Makiku kasar. Ah kenapa Senno beda banget dengan kakak tertuanya, mas Setto yang juga cinta pertamaku. Cinta yang belum sempat berlabuh karena Setto ternyata sudah menikah. Cinta yang harus aku kubur dalam-dalam setelah tau Setto sudah menikah dengan wanita pilihannya. Setto Gumilar Elang, kakak tertua Senno dan menurut Senno setelah menikah kakaknya pindah ke Sidney untuk melanjutkan perusahaan keluarga istrinya dan sejak lima tahun yang lalu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lupakan Senno dan Setto yang punya kepribadian bertolak belakang, yang harus aku pikirkan sekarang ide baru agar bab 1 bisa aku serahkan ke tangan ibu Aurora. **** Setelah begadang seharian akhirnya aku menyelesaikan bab 1 meski hati ini benar-benar tidak yakin ibu Aurora akan suka tema mainstream seperti ini. Aku merentangkan tangan lalu menguap berkali-kali karena rasa kantuk akhirnya datang. Aku mengambil tas lalu pulang meninggalkan meja kerjaku, sebelum pulang aku meletakkan draft bab 1 di atas meja ibu Aurora. Semoga ibu Aurora tidak mencampakkan draft bab 1 ini ke dalam tong sampah seperti bab-bab sebelumnya. Dalam rencana, aku akan tidur sesampainya di rumah dan baru akan ke kantor sore hari. Sesampainya di apartemen aku langsung mandi agar rasa letih ini hilang. Selesai mandi aku langsung merebahkan diri ke atas ranjang, ah ternyata senyaman ini tidur di ranjang sendiri. Sudah beberapa hari ini aku tidur di sofa yang disediakan kantor. Ting tong ting tong Baru beberapa menit terlelap tiba-tiba aku mendengar suara bel memekakkan telinga. Aku mencoba menutup telinga dengan tangan tapi bunyi bel semakin berulang. Aku melangkah gontai meninggalkan ranjang empuk yang sudah lama tidak aku tiduri sejak bekerja sebagai penulis lepas di salah satu penerbit ternama di Jakarta. Beberapa kali aki menggaruk kepala dengan kasar saat bel tidak berhenti berbunyi dan mengganggu tidurku. "Siapa sih! Berisik tau!" Makiku dengan suara lantang bak toa mesjid yang sedang memberi pengumuman. Ting tong ting tong. Bel kembali berbunyi tapi kali ini lebih sering dibandingkan tadi. Aku semakin kesal dan dengan tangan mengepal aku membuka pintu apartemen dengan maksud ingin melayangkan tinju ke tamu kurang ajar yang telah membangunkan tidurku meski hari masih pagi. Ah ternyata hari sudah pagi, rasanya baru sebentar aku memejamkan mata. Itu pun aku tau saat melihat cahaya matahari masuk dari jendela apartemen. "Hey, bisa diam ..." Belum sempat aku memaki tamu itu tiba-tiba mata ini melihat seonggok benda asing tergeletak di depan pintu apartemen. Aku celingak celinguk mencari orang yang menekan bel tapi nihil. Lorong panjang dari lift ke apartemen milikku kosong melompong. Aku kembali melihat benda asing itu dan dengan ragu-ragu aku membuka kain penutup dengan kaki. Siapa tau bom, gumamku dalam hati. Aku terkesima saat sadar bukan bom yang aku lihat barusan tapi seorang bayi. Bayi lucu bermata coklat dengan rambut hitam pekat, aku lalu menjongkokkan badan dan dengan pelan-pelan membuka selimut hijau bermotif kodok yang menutupi keranjang tempat bayi itu tidur. "Hey, cantik. Kenapa kamu di sini?" Aku menyentuh pipi gembil bayi itu, aku ingin mengendong tapi takut kalau orangtua si bayi datang dan menganggapku sebagai penculik. 15 menit aku bermain dengan bayi kecil berjenis kelamin perempuan itu tapi tidak ada satupun orang mengklaim diri sebagai orangtuanya. Beberapa tetangga lewat tapi saat aku bertanya mereka menolak bayi ini. "Hey baby girl, di mana orangtua kamu?" Aku mulai berani menggendong bayi itu dan saat berada dipelukanku, aku menemukan sepucuk surat yang terselip di antara popok dan selimut. Dear Adara. Tolong asuh bayi ini. Tidak ada nama pengirim surat itu. Aku langsung shock. Darimana orangtua bayi perempuan ini tau namaku dan yang lebih penting lagi, mengasuh bayi? Aku langsung lunglai bersama bayi perempuan yanh masih dalam pelukanku. "Tidakkkkkkk!" Teriakku dengan lantang. Bayi perempuan ini bukannya nangis dia malah tertawa dengan manis hingga lesung pipinya terlihat. Sialan! Bayi pun suka menertawai kesialanku seperti Senno. Hari ini benar-benar tidak terduga, ada bayi di depan apartemenku dan orangtua yang meninggalkannya menyuruhku mengasuhnya. Aku mengasuh bayi? Kayaknya dunia sebentar lagi mau kiamat! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD