KENANGAN TRAUMATIS

1058 Words
Aku melangkah perlahan dengan diterangi cahaya dari senter dalam genggaman tangan kiriku. Sedangkan tangan kananku memegang erat mushaf Al-Quran. Rembulan tak menampakkan sinarnya. Sepertinya bulan sabit tertutup sempurna oleh awan mendung. Suara jangkrik dan hewan malam menemaniku sejak keluar dari musala. Aku berjalan seorang diri. Rumahku memang berbeda arah dari teman-teman yang lain. Untung saja seharian tadi tak ada hujan yang membasahi jalan tanah ini, sehingga aku tak perlu bergerak lincah menghindari genangan air. Aku melangkah santai sambil bersenandung lafaz asmaul husna, hafalan yang baru saja diujikan oleh Ustadzah Azizah padaku dan teman-teman. Kuhentikan ayunan langkah kaki. Jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Ada rasa was-was setiap kali mulai mendekat ke pintu rumah. Aku memang beberapa kali melihat Ayah berlaku kasar pada Bunda. Akan tetapi, kejadian terakhir saat melihat Bunda dicekik ketika aku baru pulang dari musala benar-benar menyisakan trauma yang mendalam. Aku mengatur napas sambil menajamkan pendengaran. Hatiku lega saat tak mendengar suara apa pun dari dalam rumah. “Bismillah,” kulanjutkan ayunan langkah kaki menuju pintu. “Assalamualaikum, Bunda.” “Alaikumussalam. Bagaimana mengajinya tadi, Nak? Menyenangkan?” Aku tersenyum dan ikut duduk di samping Bunda yang masih mengenakan mukena sambil memegang mushaf Al-Qur’an. “Alhamdulillah, menyenangkan. Teman-teman datang semua, tidak ada yang ijin. Semakin ramai, jadi seru!” Aku bercerita dengan antusias. “Bunda sudah selesai belum tilawahnya? Aku mau makan malam sama Bunda.” “Bunda baru saja selesai tilawah sewaktu kamu masuk tadi. Ayo, kita makan! Bunda ajak Ayah, Endit langsung ke ruang makan saja. Jangan lupa cuci tangan dan kaki dulu!” Aku meletakkan telapak tangan di atas kening. “Siap, Bos!” Ada rasa syukur yang teramat, saat memasuki rumah dalam keadaan damai seperti ini. Andai saja hal ini berlangsung setiap waktu. Aku, Ayah, dan Bunda makan bersama sambil duduk bersila di atas tikar. Makanan diletakkan di dalam piring dan mangkok saji di depan kami. Di rumah dinas kepala sekolah ini memang minim perabotan, Bunda membawa barang pecah belah sendiri. Seingatku semuanya adalah hadiah dari Kakek dan Nenek. Sehingga barang-barangnya serupa dengan yang ada di rumah Kakek dan Nenek. Sedikit mengobati rinduku pada mereka berdua yang jauh di mata, tapi dekat di hati. Baru saja kami selesai makan, suara ketukan di pintu terdengar. Ayah segera berdiri dan membukakan pintu. Ternyata Pak Kepala Dusun yang datang. Aku melihat sekilas ke ruang tamu sebelum membawa tumpukan piring kotor ke dapur. Ketika aku kembali dari dapur, Ayah dan tamunya sudah tak ada. Bunda seperti memahami apa yang ingin aku tanyakan walaupun tak kuucapkan. “Ayah baru saja pergi sama Pak Saerah, ada orang sakit di sebelah rumahnya. Pak Saerah meminta bantuan Ayah sekaligus mengantarkan surat ini.” Aku mengangguk. Ayah memang dikenal oleh masyarakat luas sebagai orang pintar. Semacam tabib sekaligus paranormal. Aku mengalihkan perhatian ke arah Bunda yang sedang memegang amplop berwarna coklat. Setelah merobek ujung amplopnya, Bunda menarik secarik kertas putih dari dalamnya. Aku terus memperhatikan Bunda yang sedang membaca isi surat. "Besok kita ke Pontianak, ya. Bunda ada undangan rapat di Dinas Pendidikan provinsi Kalimantan Barat. Endita nanti menunggu di rumah Nenek dan Kakek." Bunda berucap seraya menoleh ke arahku. Aku bersorak gembira. Bayangan sambutan hangat dari Nenek dan Kakek serta rumah yang luas, memang selalu membuatku merindu. Andai saja aku tak mengkhawatirkan Bunda, tentu akan lebih memilih untuk tinggal di sana. Kakek dan Nenek hanya tinggal berdua. Mbak Etik, asisten rumah tangga, hanya datang di waktu pagi dan kembali pulang selepas Isya. "Alhamdulillah, akhirnya rasa kangen Endit akan terobati. Kita akan menginap berapa lama di rumah Kakek dan Nenek, Bun?" Tangan halus Bunda menggenggam telapak tangan kananku. Senyum tipis menghiasi wajah cantiknya. Aku menatap penuh harap ke dalam matanya. "Bunda tanya Ayah dulu, ya. Jika Ayah mengizinkan, baru kita menginap di sana." Aku mengerucutkan bibir. "Kenapa Bunda dikit-dikit mesti minta izin Ayah? Kalau Ayah gak izinkan, aku sedih. Kita tetap menginap saja, Bun. Yaaaa." Aku merengek sembari menarik berulang kali telapak tangan Bunda. Hatiku kesal. Sedikit-sedikit minta izin Ayah, padahal Ayah saja kerap pergi dan jarang ada di rumah, walaupun secara fisik sesungguhnya Ayah tinggal bersama aku dan Bunda. "Endit ingin kita berkumpul kembali di surga kan? Sebagai istri, Bunda harus minta izin sama Ayah sebagai suaminya Bunda. Bunda ingin masuk surga bersama Endit. Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan selalu minta izin pada Ayah sebelum melangkah ke luar rumah. Bunda ingin selalu mendapat ridho dari Ayah, karena istri yang saat meninggal dalam ridho suami akan mendapat ganjaran surga dari Allah." "Tapi, kita kan hendak menginap di rumah orangtuanya Bunda. Apa harus izin Ayah juga? Kita pergi saja ke Pontianak dan malamnya baru kita kirim kabar dan bilang ke Ayah kalau kita menginap. Jadi sudah terlanjur di sana, biar saja Ayah gak kasi izin, Bun." Bunda menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku sudah melepaskan genggaman, kini tangannya beralih mengelus kepalaku. Kuhela napas panjang. "Endit sayang, sudahlah jangan berpikiran buruk dulu. Doakan saja agar saat Bunda meminta izin, Ayah menyetujuinya. Jangan sampai kita membuat Ayah marah. Yuk, baca doa dulu! Bunda temani sampai kamu tidur." Aku mengangguk. Sebenarnya aku juga takut Ayah marah pada Bunda dan berlaku kasar lagi. Segenap hati kupanjatkan doa agar Allah lunakkan hati Ayah. Aku ingin sekali menginap di rumah Kakek dan Nenek. Suara adzan subuh membangunkanku dari tidur. Kukerjapkan kedua mata sambil mengangkat kedua telapak tangan sejajar dengan dadaku. Membaca lafaz doa setelah bangun dari tidur. "Bismillahirohmannirrohim. Alhamdulillahi ladzi ahyana ba'dama amatana wa ilaihi nusur." Suara derik daun pintu terdengar. Seraut wajah ayu tersenyum dan melangkah mendekat. "Bunda, peluk." Aku merentangkan tangan menyambut dekapan hangat Bunda. "Bagaimana tidurmu semalam, Sayang? Nyenyak kan?" Aku menganggukkan kepala sambil kembali memejamkan mata. Sungguh tempat ternyaman adalah dalam pelukan Bunda. Sesibuk-sibuknya dalam bekerja, dia tak pernah lupa untuk mencurahkan cinta kasih padaku. "Kita salat jamaah dengan Ayah?" "Ayah tidur, baru pulang beberapa jam lalu. Kita salat berdua, ya." Ingin kuungkapkan rasa kecewa melalui untaian kata. Tapi, kutelan saja. Aku yak ingin merusak suasana subuh yang sahdu. Segera aku beranjak dari kasur dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi di samping dapur. Bunda telah menyiapkan air di dalam ember, aku tak perlu lagi berjinjit untuk membuka tutup drum. Di rumahku ini air bersih didapatkan dengan menampung air hujan di dalam drum. Untuk warga asli, mereka sudah terbiasa berwudhu dan mandi dengan air sungai. Akan tetapi, Bunda memintaku untuk memakai air tadah hujan ini untuk berwudhu dan berbilas setelah berenang bersama teman-teman di Sungai Kapuas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD