Aku jatuh tergulung di atas seng yang berkilau tertimpa cahaya rembulan. Tak mampu lagi menahan energi panas yang keluar dari dalam tubuh ratu ular. Untung saja ada tangan kokoh Ustad Fatih yang menyambar tanganku.
Aku berpegangan erat pada tangannya.
“Terima kasih, Ustad Fatih.”
Baru juga mulutku mengatup, tampak ratu ular bersiap mengarahkan serangan pada tubuh Ustadzah Azizah.
“Ustad, lepaskan saja tanganku. Ustadzah Azizah dalam bahaya!”
Aku lepaskan genggaman tanganku yang tadinya memegang erat pada kedua telapak tangan Ustad Fatih. Tak mengapa aku terjatuh daripada nyawa Ustadzah Azizah dalam ancaman. Aku tak ingin Ustad Fatih berada dalam dilema antara menyelamatkanku atau adiknya.
“Allahuakbar!”
Aku mendarat di atas halaman rumah. Walaupun sudah mempersiapkan diri tetap saja kakiku tak mampu menahan bobot tubuhku. Aku jatuh dalam posisi terjengkang. Punggung dan kepalaku menghantam sesuatu yang keras dan terdengar bunyi bendah pecah.
Aku meraih pecahan berwarna coklat yang bercampur tanah. Benda ini adalah pinggiran pot tanah liat yang baru saja sore ini. Kepalaku mulai terasa pusing, mataku berkunang-kunang.
“Endita!”
Aku mendengar suara Bunda berteriak di dekatku. Tak berapa lama semua yang kulihat berubah menjadi gelap. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sayup kudengar suara azan yang sangat merdu. Segera kubuka mataku.
Aku memincingkan mata saat melihat cahaya yang sangat terang. Sesosok lelaki berjalan mendekat ke arahku. Bajunya berwarna putih.
Suara azan masih terus terdengar saat lelaki itu berada berhadapan denganku. Wajahnya sangat tampan, usianya sama sepertiku. Dia tersenyum dan mengucapkan salam setelah azan selesai berkumandang.
“Waalaikumussalam. Siapa kamu? Aku ada di mana?”
“Aku adikmu, Muhammad Al Fatih.”
“A-adikku?”
Aku terkesiap mendengar jawaban dari pemuda itu. Seumur hidupku akulah hanya tinggal bersama Ayah dan Bunda, aku tak memiliki saudara kandung. Bagaimana mungkin saat ini ada yang mengaku sebagai adikku.
“Iya, aku janin yang berada dalam kandungan Bunda saat Ayah mendorongnya hingga pendarahan hebat. Aku adikmu yang dikuburkan di belakang rumah.”
Hatiku diselimuti rasa haru mendengar ucapan pemuda itu. Segera aku peluk tubuh pemuda itu. Harum yang sangat menenangkan tercium dari dalam tubuhnya.
“Adik, andai saja umurmu panjang. Kita akan berjuang bersama menghadapi kerasnya dunia. Aku tidak kuat menghadapi kehidupan yang dipenuhi masalah Ayah dan Bunda, hanya seorang diri.”
“La haula wa la quwwata illa billah. Yakinlah pada pertolongan Allah. Tempatku di sini, suatu saat nanti kita akan berkumpul. Kembalilah ke dunia, Bunda dan Ayah membutuhkanmu.”
Terasa ada tarikan yang sangat kuat hingga membuatku terlepas dari pelukan penuh haru tadi. Aku seperti berada di sebuah saluran air dan tersedot ke dalam lubangnya dengan sangat cepat. Tak lama aku kembali mendengar suara azan yang sangat pelan tapi merdu.
“Endit, kamu sudah sadar?”
Aku mengerjapkan mata berulang kali. Mencoba mengamati sekeliling. Ada Bunda dan Ustadzah Azizah di sisi kanan dan kiriku.
“Bunda!”
Aku mengulurkan tangan dan disambut Bunda dengan dekapan hangat. Air mataku mengalir deras. Kuulurkan tangan kiriku pada Ustadzah Azizah. Kami saling menggenggam dengan erat.
“Aku kira tak akan bisa lagi bertemu dengan Bunda dan Ustadzah. Baru saja adik Muhammad Al Fatih menemuiku, mungkin tadi aku berada di batas kematian.”
“Allah sebaik-baik penolong bagi kita. Sekuat apa pun usaha jin itu mencelakakan kita, tentu kuasa Allah di atas segalanya. Ratu ular telah berhasil kita kalahkan, Bunda membakar sarung kerisnya tepat saat dia hampir mencelakai ustad Fatih.”
Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat kembali kejadian yang terjadi sebelum pertemuanku dengan almarhum adikku tadi. Aku teringat saat genggaman tangan ustad Al Fatih kulepaskan karena melihat ratu ular bersiap hendak menyerang ustadzah Azizah yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Karena tubuhku tak lagi tertahan, aku pun terjatuh di tanah hingga kepala dan punggungku terbentur dan memecahkan pot tanah liat di halaman.
"Apa yang terjadi setelah aku jatuh di tanah, Bunda dan Ustadzah?"
Aku menatap ke arah dua wanita yang paling berjasa dalam hidupku. Bunda adalah wanita yang melahirkan dan membesarkanku. Sedangkan Ustadzah adalah wanita yang menguatkan dan menolongku saat hidupku didera konflik berkepanjangan antara ayah dan bunda. Belum lagi ditambah oleh gangguan dari jin yang bersekutu dengan ayah.
"Bunda berlari ke luar saat mendengar keributan di atas atap. Bunda menyaksikan semuanya, bagaimana kalian bertiga berusaha mati-matian melawan ratu ular. Ketika mendengar ucapan ratu ular bahwa dia hanya bisa dimusnahkan dengan membakar sarung keris, bunda berlari masuk ke dalam ruangan kerja ayah. Bunda melihat ayah tergeletak pingsan di dalamnya sambil memegang kering yang bersarung sisik ular hijau. Bunda menepis keinginan untuk menolong ayah karena ingat ada misi yang perlu diselesaikan. Segera bunda mengambil keris di tangan ayah dan mencari korek api di dapur. Bunda menyiram keris dengan minyak solar yang berada di dalam jerigen. Belum sempat bunda membakarnya terdengar teriakanmu disusul dengan suara benda yang pecah. Bergegas bunda lari ke luar.
Sampai di luar bunda meneriakkan namamu sambil berlari mendekat. Melihat Endit tak sadarkan diri dan ustad Fatih berada dalam lilitan ekor ratu ular, bunda segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke keris yang bunda letakkan di atas tanah.
"Aku tersadar saat mendengar suara teriakan Bunda memanggil nama Endita. Maka aku pun menyaksikan bagaimana Ustad Fatih hampir saja kehabisan napas dalam lilitan ratu ular. Dalam kondisi kritis, tiba-tiba tercium bau gosong dan tubuh jin itu mengeluarkan asap hitam. Perlahan lilitan melemah dan ustad Fatih berhasil meloloskan diri dan membantuku untuk turun dari atap melalui dahan pohon akasia. Begitu kami berhasil turun, terdengar bunyi ledakan dari tanah. Ternyata sarung keris yang Bunda bakar itu meledak dan akhirnya berubah menjadi abu. Sedangkan di atas atap, ratu ular berteriak sangat keras dan tubuhnya mengeluarkan api yang menyala berwarna merah.”
"Bunda khawatir rumah kita terbakar sedangkan ayah masih dalam keadaan pingsan di dalam kamar. Bunda segera berlari memasuki rumah sambil berteriak meminta ustad Fatih ikut masuk dan menolong Ayah. Alhamdulilla, Bunda bersama ustad Fatih berhasil menarik tubuh Ayah ke halaman sebelum rumah terbakar habis."
"Jadi rumah kita terbakar habis, Bun? Aku bingung, mengapa Bunda masih menyelamatkan Ayah? Padahal dia yang telah membawa mala petaka di keluarga kita."
"Endit, Bunda masih berstatus istri Ayah. Bunda masih membutuhkan ridhonya agar bisa masuk surga."
"Ya Allah."
Aku bergumam dengan lemah.
Rasa sakit di tubuhku akibat terjatuh dari atap rumah, masih belum seberapa. Kini hatiku nyeri, rasanya jauh lebih sakit. Bunda masih saja tak mau mengubah pilihannya. Dia ingin menjadi istri yang meninggal dalam ridho suami.
“Bunda, suami seperti apa yang patut diharapkan ridhonya. Ayah tidak hanya bersekutu dengan jin, tetapi juga telah menikah secara gaib dengan Ratu Ular. Ayah sudah terlalu menyimpang dari ajaran agama Islam.”
"Endit, Allah Maha Pengampun pada hambanya. Mengapa kita sebagai ciptaan Allah harus berlaku berbeda dengan menutup pintu maaf di hati?"
"Ustadzah, akankan perbuatan Ayah yang telah bersekutu dengan setan akan diampuni oleh Allah? Ayah telah melakukan dosa besar dengan sengaja berbuat syirik."
Ustadzah Azizah membalas tatapanku. Dia tersenyum manis dan melemparkan pandangan pada bunda. Sepertinya dia menunggu bunda memberi isyarat untuk menjawab pertanyaanku.
"Tolong jelaskan pada kami, Ustadzah. Sejujurnya aku juga takut akan dosa besar yang telah suamiku lakukan dengan sengaja dan berlangsung selama bertahun-tahun. Apakah ada jalan agar diampuni oleh Allah?”
“Allah Maha Pengampun, nanti Ustad Fathi akan membimbing agar suami Bunda menjalankan taubatan nasuha.”
Air mata bunda mengalir membasahi kulit putihnya. Entah air mata bahagia atau kesedihan. Aku tak mampu lagi membedakan. Ternyata kepergianku menuntun ilmu bertahun di kota Yogyakarta tak membuat cinta Bunda pada Ayah luntur. Padahal dia tahu kepergianku dulu karena aku tak mau berada serumah dengan jin.
“Bunda, apa pun yang menjadi keputusanmu. Endita hanya bisa berdoa bahwa itu adalah jalan yang terbaik dan mendatangkan maslahat bukan mudharat. Endita ingin Bunda bahagia.”
Aku memeluk erat wanita yang tegar dan sabar ini. Mungkin aku perlu belajar untuk setegar dirinya. Walaupun aku tak ingin mengalami nasib yang menguras air mata seperti Bunda. Karena bagiku menjadi seorang istri bukan berarti tak bisa membela keselamatan dirinya. Entahlah, cinta kadang membutakan wanita untuk berpikir realistis.