BERSEKUTU DENGAN JIN

1098 Words
Aku menceritakan kejadian semalam pada Ustadzah Azizah. Wanita berhijab hijau tua itu mendengarkan dengan seksama tanpa memotong ucapanku. Dia hanya menyeka air mataku denngan tisu tiap kali mulai menetes ke pipi. Aku menangis karena terlalu emosi saat menceritakan bagaimana Ayah begitu tega menyakiti Bunda untuk kesekian kalinya. Aku juga meluapkan kemarahanku saat menceritakan begitu mudahnya Bunda kembali memaafkan Ayah. Padahal nyawanya hampir melayang di tangan lelaki yang seharusnya menjadi pelindung Bunda. “Jadi begitu kamu meneriakkan apa yang telah Ustadzah ajarkan, emosi Ayahmu melunak?” “Betul, Ustadzah. Aku meneriakkan Bismillahi Allahu Akbar tepat di telinga ayah.” Ustadzah Azizah mengangguk berulang kali. Wajahnya semakin tampak serius. Keningnya berkerut sebagai tanda bahwa dia sedang berpikir dengan keras. “Ayahmu kemungkinan besar berada dalam pengaruh jin. Hal itu yang membuatnya menjadi mudah tersulut emosi dan tega berbuat kasar pada istri dan anaknya.” Aku bergidig mendengar ucapan Ustadzah Azizah. Rasa ingin tahu membuatku bertanya, “setahuku, jin adalah makhluk ciptaan Allah yang juga diperintahkan untuk beribadah pada Allah. Mengapa jika berada dalam pengaruh jin membuat Ayah berperangai buruk, Ustadzah?” Ustadzah Azizah tersenyum hingga menampakkan lesung pipit di kedua sudut bibirnya. Aku menduga andai saja dia tinggal di kota besar, pasti akan menjadi penceramah terkenal. Karena kemampuannya dan penampilannya tak kalah dengan Ustadzah Kiki yang dulunya seorang artis itu. “Jin memang ada dua golongan, ada yang beriman pada Allah dan ada yang tidak beriman. Sebagaimana manusia, walaupun mengaku beriman dan memeluk agama tauhid, tetap saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah secara sadar. Golongan jin ini, akan dengan senang hati mempengaruhi manusia. Dia membisikkan kejahatan di dalam hati manusia saat lalai mengingat Allah.” Aku menggeser posisi duduk semakin mendekat pada Ustadzah Azizah. Membicarakan hal tentang jin membuat bulu kudukku tiba-tiba meremang. Aku teringat akan tayangan film hantu di televisi, mungkin semengerikan itu sosok jin. “Pekerjaan Ayahmu sebagai seorang paranormal tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan jin. Sosok itu akan mencuri dengar percakapan di langit dan menyampaikannya pada manusia, seolah dia mengetahui sesuatu. Padahal apa yang disampaikannya itu belum jelas kebenarannya.” “Apakah jin yang membantu Ayah dapat dilihat juga oleh orang lain? Aku teringat di film ada sosok kuntilanak yang menampakkan diri dan membuat semua orang takut. Hebat juga ya, Ayah berani berteman dengan sosok yang penampilannya menyeramkan, Us.” Wanita cantik di dekatku ini tertawa hingga membuat matanya semakin tampak kecil. Dia membuka mulutnya, hendak menjawab pertanyaan sembari menepuk pelan bahuku. “Endit, tahu tidak apa perbedaan jin dan manusia? Tadi kan persamaan tugasnya sudah tahu, sama-sama diciptakan untuk beribadah pada Allah.” “Manusia diciptakan dari tanah, sedangkan jin dari api. Betul, Us?” “Ya, betul. Selain itu jin memiliki kemampuan untuk merubah wujudnya menjadi menyerupai apa pun. Jangan dikira semua jin berwujud menyeramkan seperti kuntilanak. Bisa saja dia mendatangi Ayahmu dalam bentuk seorang Wanita yang cantik.” Aku terhenyak mendengar ucapan Ustadzah. Betul juga, andai berwujud mengerikan pasti tak ada manusia yang berani meminta bantuan dari para jin. Melihatnya saja sudah takut, bagaimana bisa berbicara lama dan menyampaikan permintaan. Rasa penasaran menyelimuti hatiku. Aku ingin membuktikan ucapan Ustadzah. Akan tetapi bagaimana caranya? Kutatap mata coklat itu, mencoba mencari jawab. Sang empunya seperti mampu membaca pikiranku dan kembali memberikan penjelasan. “Tadi Endit cerita tentang bejana berisi bunga dan air. Ada di mana itu?” “Di kamar kerja Ayah. Aku dan Bunda tak pernah memasukinya, karena selalu dikunci oleh Ayah.” “Nah, mencurigakan! Bisa jadi di sana adalah tempat tinggal jin yang bersekutu dengan Ayahmu.” Berbekal dugaan yang timbul dari percakapanku dengan Ustadzah Azizah, semenjak hari itu aku selalu berusaha mendekati kamar itu saat Ayah tak ada di rumah. Hingga suatu hari aku mendengar suara mendesis pelan dari dalam kamar yang selalu terkunci itu. Dengan segera aku berjalan mengendap. Walaupun hari ini aku hanya seorang diri di rumah, Ayah sedang pergi bersama Bunda ke acara hajatan di rumah kepala desa. Aku sengaja menolak ajakan untuk ikut serta. Sudah terlalu lama aku menahan rasa penasaran ini. Aku menunduk hendak mengintip dari lubang pintu dengan perasaan tak karuan. Tampak sesosok wanita berambut panjang dengan mahkota emas di kepala sedang berdiri di tengah ruangan. Dia tampak sangat menikmati air dan bunga yang berada di dalam bejana emas itu. Tak seperti manusia yang membutuhkan telapak tangan untuk mendekatkan gelas saat hendak minum. Wanita itu sama sekali tak menggerakkan tangannya. Dia hanya membuka mulut dan menjulurkan lidahnya. Aku tidak begitu heran melihat tingkah lakunya, karena sesuai dengan wujud hewan di bawah lehernya. Dia adalah perwujudan seekor ular berwarna hijau, tetapi berkepala wanita cantik dengan mahkota emas di atas rambutnya. Pantas saja Ayah pernah semarah itu saat melihat air berisi bunga dalam bejana tumpah dan berceceran di lantai. Ternyata Ayah menyiapkan isi bejana emas sebagai hidangan bagi jin peliharaannya. Hatiku sakit saat menyadari kecurigaan Ustadzah Azizah telah terbukti. Ayah benar-benar telah bersekutu dengan Jin. Tiba-tiba makhluk itu menarik lidahnya. Matanya beralih dari bejana itu. Kali ini menatap ke arah pintu. Aku terkesiap, mungkinkah dia menyadari bahwa aku sedang mengintip dari lubang kunci? Jantungku berdegup dengan kencang. Makhluk itu meliukkan ekornya yang berwarna hijau keemasan. Melata di atas lantai sambil mengeluarkan suara mendesis. Mulutnya membuka dan lidahnya menjulur. Menyadari bahaya sedang mengancam, aku segera menghentikan kegiatan mengintip dari lubang kunci. Dengan segera melangkah mundur menjauh dari pintu. Akan tetapi, kakiku bagai ditancapkan ke lantai dengan paku yang sangat kokoh. Aku tak bisa menggerakkan sedikit pun, apalagi hendak berlari menjauh. Keringat mulai mengucur di dahiku. Aku panik, bingung hendak melakukan apa. Suara desisan makhluk itu makin kencang terdengar di telingaku. “Bismillahi Allahuakbar. La haula wa la quwwata illa billah.” Dengan sepenuh hati kuucapkan, memohon pertolongan pada Allah. Atas izin dan kuasa Allah, tiba-tiba saja kakiku bisa digerakkan kembali. Segera aku berbalik badan dan berlari menuju pintu hendak keluar dari rumah. Aku tak berani berada dalam satu atap dengan jin itu. Saat tersisa beberapa langkah lagi dari pintu, aku jatuh terjerembab. Untung saja tanganku berhasil menahan hingga wajahku tidak berbenturan dengan lantai. Belum sempat aku bangkit, kakiku terasa ada yang menarik. Aku pun terseret di atas lantai. Dalam keadaan panik dan bingung, tanganku berusaha menggapai apa saja. Hingga aku berhasil menggapai kaki lemari kayu belian yang berdiri kokoh di ruang tamu. Suara mendesis terdengar semakin dekat saat aku merasa kakiku basah. Sepertinya aku mengompol karena sangat ketakutan. Tanganku yang gemetar terus berusaha sekuat tenaga bertahan dan berpegangan erat pada kaki lemari. Tiba-tiba hawa dingin bertiup di tengkukku membuat aku bergidig semakin ketakutan. Bau amis memenuhi rongga hidungku. Kepalaku pening menciumnya. Mataku berkunang-kunang. Kesadaranku mulai berkurang saat terdengar deru suara motor berhenti di depan pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD