Motor air perlahan berjalan mundur, setelah salah satu awaknya melepaskan tali tambang berwarna coklat yang tadinya terikat di salah satu tiang steher. Setelah mencapai jarak yang cukup untuk memutar, barulah mesin dinyalakan dan kemudi diputar. Seru sekali memperhatikan bagaimana proses motor air ini bergerak di atas air.
Aku dan Bunda yang sudah duduk di atas papan panjang yang terbuat dari kayu, segera mengalihkan pandangan ke arah jendela. Kami ingin melihat dengan jelas sampan-sampan di sekitar motor air, yang sedang bergerak naik turun terkena imbas gelombangnya. Sangat menarik dan indah.
Kami bagaikan sedang melihat pertunjukkan tarian sampan, gerakannya berirama dan berurutan sesuai dengan posisi sampan yang terdekat dari asal gelombang. Saat sebuah sampan terkena gelombang, maka akan bergerak naik. Kemudian sampan akan bergerak turun saat gelombang bergerak menjauh dan berpindah mengenai sampan di posisi setelahnya. Begitu seterusnya, sampan-sampan bergerak naik turun bergantian.
“Hati-hati di jalan, Bu Guru!” Kak Ros berteriak.
“Jangan lama-lama, Bu. Aku pasti rindu sama Ibu dan Endit.” Kak Rideh menimpali.
Suara teriakan Kak Ros dan Kak Rideh tadi telah membuyarkan pengamatanku pada sampan-sampan yang berada di sekitar kami. Aku mengalihkan pandangan sejenak ke arah Ayah, Kak Rideh, dan Kak Ros, sembari melambaikan tangan.
Aku melihat para pengemudi sampan ikut mengalihkan pandangan dan melambaikan tangan padaku dan Bunda. Mereka baru menyadari keberadaan aku dan Bunda di motor air ini setelah mendengar teriakan Kak Ros dan Kak Rideh.
“Selamat jalan, Bu Guru.”
Terdengar sayup suara beberapa pengemudi sampan berteriak. Untung saja kami selalu disediakan tempat duduk di bagian depan motor air. Sehingga suara-suara mereka tetap terdengar. Jika kami duduk di bagian belakang motor air, tentu suara teriakan itu tak akan sampai di telinga kami, karena akan kalah dengan bisingnya suara dari deru mesin motor air yang cukup keras.
Kami, termasuk Ayah, terus saja saling melambaikan tangan, sampai motor air ini memutar arah dan menghadap ke hilir. Siap mengarungi Sungai Kapuas menuju ke Kota Pontianak. Bunda berbicara di dekat telingaku, memintaku agar tak lupa untuk membaca doa safar. Segera kuangkat kedua tangan setinggi d**a dan menundukkan kepala.
"Bismillahirohmannirohim, wa kola arkabu fiha bismillahi majereha wa mursaha, inna robba la gofurrur rohim. Aamiin."
Selesai berdoa, perhatianku beralih pada air sungai yang berwarna coklat serupa dengan s**u coklat kesukaanku. Permukaan airnya tampak membentuk gelombang yang sangat indah. Gelombang kecil ini terbentuk mengikuti arah motor air bergerak, ketika melintasi permukaan air sungai.
Aku mengalihkan pandangan pada pohon Beringin di dekat steher. Pohon yang rindang dan sangat besar itu, sudah semakin jauh dari motor air dan kini terlihat semakin kecil. Dalam penglihatanku, saat ini ukuran pohon beringinnya telah serupa dengan ukuran tanaman hias bonsai yang ada di teras rumah Kakek dan Nenek.
Pemandangan di sepanjang Sungai Kapuas semakin silih berganti. Kadang aku melihat deretan rumah penduduk, lalu berganti dengan jejeran pohon bakau. Kemudian berganti lagi dengan jejeran batang pohon berukuran besar yang mengambang di atas permukaan Sungai Kapuas. Kata Bunda, nantinya kayu-kayu itu akan dibawa dengan kapal tongkang dan diolah di pabrik menjadi kayu lapis dan olahan kayu lainnya.
Setelah sekian lama mengamati pemandangan di sepanjang bantaran Sungai Kapuas, aku merasa sedikit bosan. Aku pun mulai menguap dan menutup mulutku dengan kedua tangan. Tiupan angin semilir ini telah membuatku mengantuk.
Perlahan aku merebahkan tubuh di atas papan dan menempatkan kepalaku di atas tas merah. Anggap saja sedang berbaring di atas tempat tidur sendiri dengan papan sebagai kasur dan tas sebagai bantal. Memang tak seempuk kasur di kamarku, apalagi jika dibandingkan dengan kasur spring bed di rumah Kakek dan Nenek. Akan tetapi, saat ini aku tak ada pilihan lain yang lebih nyaman dan empuk, semua penumpang duduk di atas papan yang keras.
Bunda yang sedari tadi sedang asyik membaca buku, akhirnya menyadari bahwa aku mulai mengantuk. Dia pun meletakkan buku di atas pangkuannya dan meletakkan tangan kanannya di atas keningku. Bunda mulai mengelus kedua alisku dengan lembut hingga membuatku semakin tak kuat untuk menahan kantuk. Sepertinya aku akan terlelap.
"Endit, bangun. Nak, ayo bangun! Sebentar lagi motor air akan merapat."
Aku mendengar suara Bunda dan merasakan tepukan lembut di bahu. Segera aku mengerjapkan kedua kelopak mata berulang kali, sembari menggosok perlahan keduanya dengan telapak tangan kanan. Menyadari aku sudah bangun, Bunda membantuku untuk duduk dan memeluk tubuhku.
"Kita sudah sampai di Kota Pontianak, Bun?"
"Sudah, Nak. Sejak beberapa menit yang lalu. Sekarang motor air akan segera merapat di pelabuhan kecil Seng Hi."
Aku merasakan motor air yang kutumpangi bergerak pelan naik dan turun. Segera aku melihat ke jendela. Ingin melihat kapal apa yang telah menimbulkan gelombang hingga membuat motor air yang kutumpangi mengalami gerakan ini. Rupanya ada sebuah motor air lain sedang bergerak berlawanan arah tak jauh dari kami. Gerakan pelan tadi ternyata sebagai imbas dari terkena gelombang sesama motor air.
Baru saja aku selesai memperhatikan motor air yang berpapasan, kini aku merasakan guncangan yang lebih keras dan tampaknya membuat para penumpang terkejut. Beberapa penumpang motor air berteriak dan terhuyung. Ternyata bukan hanya aku yang tak siap dengan datangnya gelombang besar ini.
"Gelombang dari sesama motor air atau dari speed boat ini, Bun? Lebih besar dari gelombang pertama."
Aku menoleh ke arah Bunda setelah goncangan keras tadi berhenti. Seperti kebanyakan penumpang di motor air ini, Bunda pun melihat ke arah jendela kanan dan kiri. Hendak mengetahui asal gelombang yang mampu menimbulkan goncangan.
"Bunda gak tahu, Nak. Coba Bunda tanya sama pengemudi motor airnya."
Sebelum Bunda bertanya, ada penumpang lain yang sudah lebih dahulu mengungkapkan rasa penasarannya. "Eh, Bang. Dari mane gelombang tadi, tu? Tang beguyuk jak, tapi tak nampak kapal asalnye."
Seorang wanita yang sepertinya berusia lebih tua dari Bunda bertanya dengan wajah serius. Dia mengenakan gamis coklat dan jilbab warna senada berucap dengan dialek khas melayu. Penduduk di Provinsi Kalimantan Barat memang berasal dari beragam etnis, tetapi bahasa sehari-hari mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Melayu. Seperti yang dipakai para tokoh dalam series Upin dan Ipin.
"Biase, Bu. Kalau tak ade sumber gelombang, berarti ade bende gaib yang lagi lewat di bawah motor aek kite."
"Astaghfirullah. Bende ape, Bang? Untung tadak tebalek motor aek ni."
"Tadak, bende tu tak maksud buat celake. Cume lewat jak."
"Alhamdulillah. Bukan ape, saye ni tak pandai berenang. Jangan sampelah motor aek ni tebalek."
Aku merinding mendengar perbincangan mereka. Bunda menggenggam erat telapak tanganku. Sepertinya Bunda paham akan ketakutanku.
"Bende ape, Bang? Saye ni sering bolak-balek dari Desa Sungai Ampar ke Pontianak, baru ini pula ngerase goncangan keras cam tadi."
Bunda tak tahan untuk ikut bertanya pada pengemudi.
"Ini kan menurut itungan tanggalan Jawe pas hari Selase Wage, Bu Guru. Mungkin selama ini pas Bu Guru pergi, bukan hari Selase Wage."
"O, gitu. Mungkin juga. Saye pun tak hafal hari pasaran tu. Emang ade ape hari Selase Wage?"
"Gini Bu Guru, kate kakek saye dolok tu. Kite jangan nak belayar di hari Selase Wage karena pas hari itu ade makhluk gaib penunggu Sungai Kapuas lagi nengok anak cucunye yang jadi penunggu juga di muara-muara sungai."
"Hah? Astaghfirullah. Jadi maksud abang gelombang tadi tu karena makhluk penunggu Sungai Kapuas lagi lewat di bawah motor aek ini?"
"Betul, Bu Guru. Percaya tak percaya lah, ye. Coba tadi sekitar motor aek ni tak ade kapal lain. Tibe-tibe ade gelombang besak sampe tegoncang. Ape lagi kalo bukan karena Puake lewat."
Perbincangan terhenti. Semua penumpang motor air terdiam begitu mendengar kata Puake disebutkan oleh sang pengemudi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Para penumpang ada yang menengadahkan kedua tangan dan ada yang mulutnya bergerak tanpa suara.
"Bun, kenapa semua jadi diam?"
"Mereka semua sedang berdoa mohon keselamatan pada Allah. Ayo, kita berdoa juga, Nak." Bunda menjawab keherananku.
glossarium :
beguyuk : bergoncang
celake : celaka
dolok : dulu
tegoncang : terguncang
Puake : penunggu sungai kapuas dalam cerita legenda, tetapi masih banyak masyarakat yang percaya keberadaan makhluk gaib tersebut