KAKEK

1422 Words
Aku terlarut dalam pikiranku sendiri. Sibuk menduga-duga makhluk seperti apa yang disebut sebagai Puake tadi. Bagaimana bisa menimbulkan gelombang. Sebuah ikan besar ataukah buaya yang hidup di Sungai Kapuas. "Endit, malah melamun. Ayo, kita turun dari motor air!" Bunda membuyarkan pertanyaan yang berseliwer di pikiranku. "Hah, turun? Nyebur ke sungai, Bun?" Aku terkejut mendengar perintah Bunda barusan. "Hush! Turun ke pelabuhan. Lihat, kita sudah sampai di Senghi." Bunda menjawab sambil menunjuk ke arah kiri. Aku mengikuti arah telunjuk kanan Bunda. Ternyata motor air sudah merapat ke pelabuhan. Para penumpang sudah mulai berjalan melewati kami. Bergegas hendak menginjakkan kaki di pelabuhan. "Alhamdulillah. Kita sudah sampai. Ayo, Bun!" Aku mengulurkan tangan kanan menyambut genggaman Bunda. Tangan kiriku menenteng tas merah. Kami berjalan bergandengan keluar dari motor air dan menyusuri lantai kayu di pelabuhan Seng Hi. Berbagai jenis kapal tampak sedang bersandar. Ada banyak motor air, tetapi hanya ada dua speed boat yang kulihat. Beberapa sampan motor pun ada di sana. "Bun, kenapa kok di pelabuhan Seng Hi gak ada kapal besar seperti yang pernah kulihat di televisi? Aku kan ingin melihat wujud aslinya. Kalau boleh, malah ingin coba lihat-lihat ke dalam kapalnya." "Pelabuhan Senghi ini hanya untuk kapal kecil. Kalau Endit mau melihat kapal yang besar, bisa ke Pelabuhan Dwikora. Besok ajak Kakek dan Nenek, ya." "Wah, ide yang menarik! Besok kalau Bunda rapat, coba kuajak Kakek dan Nenek. Semoga mau, jadi aku bisa mewujudkan keinginan melihat dan masuk ke dalam kapal besar." "InsyaAllah Kakek dan Nenek mau. Eh, itu Kakek. Ayo, kita samperin!" Bunda menunjuk ke depan. "Kakek!" Aku berteriak kegirangan. Aku segera berlari setelah melihat sosok yang sangat kurindukan kini berada tak jauh dari posisi kami berdiri. Kakek pun berjongkok dan merentangkan kedua tangannya menyambutku. Kami berpelukan erat. "Endita sayang, cucu Kakek. Gimana kabarmu?" "Alhamdulillah, kabar sangaaat baik dan bahagia. Kan ketemu sama Kakek tercinta. Wah, Kakek makin ganteng nih pakai kaca mata hitam!" Kakek dan Bunda tertawa mendengar pujianku. Bunda meraih tangan kanan Kakek dan mencium punggung tangannya. Lalu membantu Kakek bangkit. "Endit belum salaman." Aku berucap sambil meraih tangan kanan Kakek. Tangan kiri Kakek mengelus rambutku. Kemudian tangan yang kulitnya sudah mulai keriput itu pun mengambil tas merah yang kuletakkan di atas lantai semen. "Kek, biar Endit saja yang membawanya. Kasian Kakek sudah tua." Aku berusaha menolak bantuan Kakek. Kakek tertawa sambil berucap, "justru Kakek kasihan melihat cucu kesayangan membawa tasnya sendiri." "Tak apa, Pak. Kita biarkan Endit untuk membawa tasnya sendiri. Sewaktu Nur seusia Endit juga dibiarkan membawa tas sendiri." "Kamu kan anak Bapak, Endit itu cucu Bapak. Yang namanya cucu dimana-mana lebih disayang sama Kakeknya." Kakek mengucapkan kalimat yang sudah sering kudengar, tapi masih saja membuatku tersenyum bangga. Akhirnya aku dan Bunda membiarkan tas merah berpindah ke tangan Kakek. "Makasi Kakekku tersayang." Aku berucap lalu menatap ke arah Bunda sambil tertawa penuh kemenangan. Bunda membalas tatapanku dan ikut tertawa sambil menggandeng tangan kiriku yang kini tak lagi menenteng tas. "Bapak sudah lama menunggu? Kok Bapak ngerti kalau Nur dan Endit mau ke sini?" Bunda bertanya sambil terus melangkah. "Baru menghabiskan sebatang rokok. Kopinya saja baru separuh gelas kuminum. Ayo, kita duduk sebentar di warung kopi Asiang! Tadi sudah kupesankan agar jangan dibereskan dulu minumanku. Nanti kita ngobrol di sana." Kakek menunjuk ke arah deretan bangunan. "Ayo, Kek! Endit sudah kangen dengan pisang goreng serikaya." Aku berkata dengan antusias begitu mendengar warung kopi Asiang disebut oleh Kakek. "Bunda juga pengen minum teh sambil makan telur setengah matang pakai merica dan garam." Bunda menimpali ucapanku. "Wow, Endit juga mau, Bun!" setengah berteriak, aku merespon keinginan Bunda tadi. Kami pun berjalan sambil bergandengan memasuki sebuah bangunan sederhana bertuliskan Asiang di atas pintunya. Kakek mengajakku untuk duduk di atas kursi bulat yang terbuat dari kayu dengan kaki terbuat dari besi. Bunda berhenti di meja bertuliskan kasir, dan memesankan beberapa makanan juga minuman untuk kami. "Kek, kok bisa tahu kalau Endit dan Bunda mau datang pagi ini. Siapa yang ngasi tahu?" aku bertanya setelah kami duduk. "Hebat kan Kakeknya Endit! Padahal Bunda tidak ada memberi kabar kalau mau datang hari ini." "Belum Kakek menjawab, malah suara Bunda yang terdengar." Aku merespon ucapan Bunda barusan. Bunda tertawa sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Kakek. Kakek tak menjawab, dia tertawa mendengar ucapan anak dan cucunya. Aku semakin tak sabar menanti jawaban Kakek. "Kek, bikin Endit penasaran. Dijawab dong." Bunda dan Kakek malah kompak kembali tertawa sambil melihat ke arahku yang mulai merengek. "Jangan bilang Kakek sudah jadi orang pintar juga seperti Ayah? Bisa melihat apa yang diinginkan dari sebaskom air. Ih, jangan deh, Kek! Nanti jadi galak kayak Ayah." "Lho, memangnya Ayahmu galak, ya? Kamu sering dimarahi?" Kakek bertanya sambil menatapku dengan wajah serius. "Bukan hanya aku, Kek. Bunda juga..." aku hendak menceritakan sikap Ayah pada Bunda yang membuatku trauma. Akan tetapi, belum selesai aku bercerita, Bunda sudah menyenggol kakiku. Aku melihat matanya berkedip sekali saat kualihkan pandangan ke arahnya. Segera kusadari bahwa Bunda melarangku bercerita pada Kakek tentang kejadian traumatis itu. "Bunda juga galak sama Endit. Makanya kalau boleh milih, Endit lebih senang tinggal sama Kakek dan Nenek saja di Pontianak," aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Kakek tertawa mendengar ucapanku. Bunda tersenyum dan tampak kelegaan di raut wajahnya. Tunggu saja waktunya, aku akan menanyakan pada Bunda apa alasannya melarangku menceritakan sikap Ayah selama ini. "Kakek kira Ayah sudah galak sama Endit dan Bundamu. Ternyata Ayah dan Bunda sama-sama galak pada Endit. Kasihan cucu kesayangan Kakek. Sini!" Kakek merentangkan kedua tangannya dan memelukku sambil tetap duduk di atas kursi. Kebetulan aku memang menarik kursi yang berdampingan dengan Kakek. Aku menoleh sebentar ke arah Bunda. Dia mengacungkan ibu jarinya secara sembunyi-sembunyi ke arahku. "Endit." "Ya, Kek." "Ingat kata-kata Kakek. Jangan takut untuk berkata yang benar! Jika memang Ayahmu galak dan sampai menyakitimu dan Bundamu, ceritalah sama Kakek." Aku menatap pada Bunda. Dia kembali mengedipkan mata dan menggeleng sekilas. Aku menghela napas dan menjawab lirih, "iya, Kek." "O iya, Bapak belum menjawab dari mana dapat informasi kalau Nur dan Endit akan ke Pontianak pagi ini?" Bunda mengajukan pertanyaan itu kembali pada Kakek. Kakek merenggangkan pelukannya padaku sebelum menjawab. "Pak Joni cerita saat selesai salat Isya di mesjid, katanya hari ini ada undangan rapat untuk kandidat kepala sekolah teladan. Dia menyebutkan namamu ada dalam daftar undangan." "Oooo begitu." Aku dan Bunda kompak mengomentari jawaban Kakek. Lalu kami saling memandang dan tertawa bersama. "Jadi karena Bapak diberi informasi dari Pak Joni, makanya pagi ini sudah menunggu di warung kopi Asiang. Terima kasih ya, Pak. Malah merepotkan." "Ah, gak repot, Nur! Sekalian jalan-jalan. Ibumu tadi mau ikut, tapi sayangnya pagi ini ada agenda pengajian di Mesjid Mujahidin. Jadi tadi, setelah Bapak anter Ibu ke sana, barulah menunggu kalian di Pelabuhan Seng Hi." Aku menyimak penjelasan Kakek sambil berpikir, mengapa pada Kakek yang tampak sangat menyayangi dan perhatian pada kami, malah Bunda melarangku untuk berkata jujur? Bukankan berbohong itu dosa? Ah, aku tak bisa mengira-ngira jawaban atas pertanyaan dalam pikiranku ini. Bunda masih berhutang untuk menjelaskannya padaku. "Bu Guru ini pesanannya. Dua teh panas, dua pisang goreng serikaya, dan dua telur ayam kampung setengah matang," seorang laki-laki menghampiri meja kami sambil membawa nampan berisi makanan. "Makasi, ya." Aku dan Bunda berbarengan merespon ucapannya dan segera mendekatkan piring sesuai pesanan masing-masing. "Sama-sama. Ini pesanan Pak Haji yang dibungkus. Pisang goreng serikaya dan keladi serikaya, oleh-oleh untuk Bu Haji." "Makasi, ya, Jang." Kakek tersenyum, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkan pada pelayan. "Tadi sudah dibayarkan semua sama Bu Guru, Pak Haji." Laki-laki itu membungkukkan tubuh dan pergi. Aku dan Kakek memandang ke arah Bunda. Dia tersenyum dan berucap, "sekali-sekali Nur yang bayarin Bapak dan belikan Ibu oleh-oleh." Kakek tertawa dan menganggukkan kepala. "Makasi, Nur. Bapak dan Ibu itu hanya dengan melihat kamu dan Endit datang mengunjungi kami berdua dalam kondisi sehat wal afiat saja sudah senang. Tak usahlah membayari dan membawakan oleh-oleh segala. Uangmu bisa disimpadisimpanmembiayai sekolah Endit sampai jenjang yang lebih tinggi dari kamu." "Ya, Pak. InsyaAllah. Mohon doanya agar sekolahnya Endit bisa jauh lebih tinggi dari Nur. Kehidupannya juga lebih baik dari Nur. Aamiin." Bunda tersenyum pada Kakek. "Aamiin. Bapak dan Ibu selalu berdoa untuk kalian. Sudah menjadi keinginan semua orang tua agar anak keturunannya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dan bahagia dari mereka dulu. Bapak juga berharap demikian padamu." Kakek menjelaskan dengan wajah serius. Aku melihat ada gurat kesedihan pada ekspresi wajah Bunda. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Bunda segera tersenyum dan mengiyakan ucapan Kakek. Aku merasa penasaran dengan perubahan ekpresi Bunda tadi. Kini, semakin bertambah lagi hal yang perlu kutanyakan pada Bunda jika sedang berdua saja. Aku akan menunggu waktunya untuk mendapatkan penjelasan dari Bunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD