PENYAYANG DAN DISAYANG

1323 Words
"Endit, mau pake merica bubuk dan garamnya seberapa? Mumpung telur ayam kampungnya masih panas." Suara Bunda membuyarkan lamunanku. "Cucu Kakek masih kecil kok melamun? Ayo, mulai dimakan! Nanti Bunda telat rapatnya." Kakek ikut mengingatkanku. Aku tersenyum malu dan tak menjawab sepatah kata pun. Kuulurkan tangan hendak mengambil merica bubuk di atas meja sambil berucap, "biar Endit saja yang memasukkan mericanya, Bun." "Ya, tapi jangan banyak-banyak menuang mericanya! Sedikit saja dulu, lalu diaduk, dan dicicipi. Kalau masih kurang pedasnya, baru tambahkan merica lagi. Karena kalau kebanyakan menuangnya, sudah sulit untuk dikurangi." "Iya, Bun. Endit cobain dulu. Hmmm, enak. Masyaallah. Kakek mau cobain?" Aku menoleh ke arah Kakek sambil mengangkat sendok. Kakek tersenyum sambil menggeleng. "Tadi sebelum Endit sampai, Kakek sudah habis satu butir telur ayam kampung setengah matang. Buat Endit saja semuanya, Kakek sudah kenyang." "Ini aja, Pak. Makan pisang goreng serikaya." Ganti Bunda yang menawarkan makanan pada Kakek. Kembali kulihat Kakek menggelengkan kepala. "Gak, Nur. Terima kasih. Nanti Bapak makan lagi barengan dengan Ibu saja, kan sudah ada pisang dan keladi goreng serikaya yang dibungkus untuk dibawa pulang. Pasti Ibumu akan minta Bapak untuk ikut makan bersamanya. Dia kan paling gak suka makan sendirian." "Ibu gak berubah, ya Pak, masih sama seperti saat Nur kecil. Tak mau makan kalau hanya sendiri. Mesti menunggu sampai ada yang menemani." Bunda berkata sambil tersenyum pada Kakek. Sambil menikmati makanan, aku mendengarkan perbincangan Kakek dan Bunda yang terus mengalir. Mereka tampak sangat akrab seperti teman. Tidak seperti Ayah yang sangat menjaga wibawa di depanku. Hingga hubungan kami sangat berjarak, tidak sedekat Kakek dan Bunda. Aku dan Ayah jarang berbincang akrab dan lama. Sekalinya aku mencoba berbincang, responnya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Aku merasa sepertinya Ayah tak terlalu memperhatikan ucapanku ketika aku berusaha untuk memulai membahas sesuatu dengannya. Dia hanya akan menjawab dengan ucapan "hmm... hmm." Aku merasa lebih enak bercerita pada Bunda yang penyayang dan hangat. "Wah, hebat cucu Kakek. Makannya habis semua. Enak telur ayam kampung dan pisang goreng serikayanya, ya? Kakek pesankan lagi ya untuk cemilan di rumah nanti." Kakek memujiku yang masih sibuk mengunyah. Tentu saja aku tak bisa langsung menjawab, mulutku penuh dengan makanan. Kujawab dengan isyarat, yaitu mengangkat telapak tangan kanan sambil menggeleng. Sebagai tanda menolak tawaran Kakek. "Sudah hampir pukul 9. Kita pergi sekarang." Kakek berkata sambil melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Iya, Pak. Dalam undangan rapatnya tertulis dimulai pada pukul 9." Bunda mengiyakan ajakan Kakek untuk segera berangkat ke tempat undangan rapat. "Pas ini nanti. Perjalanan dari pelabuhan Seng Hi ke kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi hanya 10 menit. Habis itu, Bapak langsung menjemput Ibumu di Mesjid Mujahidin. Ayo, Endit gandengan sama Kakek!" Kakek mengulurkan tangan ke arahku. Aku pun berdiri dan menggandeng tangan Kakek. Bunda berjalan di belakang kami sambil membawa oleh-oleh untuk Nenek. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengan Nenek. Kami memasuki mobil dengan logo kepala kijang yang bertanduk. Kakek meminta kami membuka lebar semua kaca jendela. Bukan karena mobil ini tak memiliki AC, tetapi karena aku mabuk darat tiap naik mobil yang semua kaca jendelanya tertutup rapat. "Makasi, ya Kek. Selalu ingat kalau Endit tidak kuat kalau menyalakan AC." Aku berucap sambil tersenyum malu. "Sama-sama, cucu Kakek yang cantik. Endit harus sering ke Pontianak dan naik mobil sama Kakek. Harus latihan pakai kendaraan ber-AC, nanti kalau naik pesawat tidak akan mabuk udara lagi." Kakek berkata sambil mengusap puncak kepalaku. "Betul kata Kakek, jangan pula kalau Endit naik pesawat minta pramugari bukakan kaca jendelanya." Bunda menimpali ucapan Kakek. "Memangnya tidak boleh dibuka kaca jendela di dalam pesawat, Bun? Kenapa?" Aku penasaran dan mencoba mencari jawaban dari Bunda. "Tidak boleh, dong! Alasannya kenapa? Besok bisa Endit cari di perpustakaan saat mengisi waktu selama di Pontianak." Bunda tak memberi jawaban yang kuinginkan. "Besok pergi ke Perpusda sama Kakek dan Nenek, ya. Ayo, baca doa naik kendaraan! Kita sudah mau berangkat, Endit." Kakek mengingatkanku untuk berdoa. "Iya, Kek. Bismillahi tawakaltu alallahu wa la quwwata illa billah." Aku mengucapkan sambil menengadahkan telapak tangan ke atas. Mobil mulai melaju di atas aspal, memasuki jalanan yang cukup ramai. Suara bising dari suara knalpot dan mesin kendaraan bermotor terdengar riuh. Aku menghirup aroma asap hasil pembakaran karena kaca jendela yang terbuka. Entah mengapa, semua itu lebih bisa aku tolerir dari pada udara AC yang dingin dan suasana kedap suara ketika kaca jendela tertutup rapat. "Alhamdulillah sampai. Terima kasih, ya Pak." Bunda yang duduk di belakangku memajukan tubuhnya dan meraih telapak tangan kanan Kakek. Lalu Bunda mencium punggung tangan Kakek yang kulitnya tampak mulai keriput. "Sama-sama, Nur. Kira-kira selesai jam berapa? Nanti Bapak jemput lagi." Kakek berucap. Bunda sedang mencium keningku setelah kucium punggung tangannya. Hari ini, dia tampak lebih cantik dengan seragam dan jilbab berwarna biru. Bunda menepuk lembut bahu Kakek sambil menjawab, "tidak usah dijemput, Pak. Nanti Nur menumpang sama teman yang searah dengan rumah Bapak." "Laki-laki atau perempuan? Kalau perempuan tak apa. Tetapi kalau laki-laki, Bapak tidak mengizinkan. Nanti menjadi fitnah." Kakek berkata dengan nada selidik. "Perempuan, Pak. Itu lho, anaknya Pak Gani, si Wina." Bunda menjelaskan sambil tersenyum pada Kakek. "Alhamdulillah. Selamat rapat, anak Bapak tersayang." Kakek tampak lega. Ada rasa hangat di hatiku saat menyimak perbincangan antara Kakek dan Bunda. Kakek nampak sekali sangat menyayangi Bunda. Bahkan sampai Bunda sudah memiliki anak dan kini aku sudah berusia tujuh tahun pun Kakek tetap menjaga dan mengucapkan kepeduliannya pada Bunda. Andai saja Kakek tahu apa yang pernah Ayah lakukan pada Bunda, dapat kubayangkan seperti apa kemarahan Kakek nantinya. Entah apa yang akan terjadi. Sepertinya aku sudah mengerti jawaban dari pertanyaan yang timbul dibenakku selama di warung kopi Asiang. Bunda mencegahku untuk berkata jujur pada Kakek. Pasti Bunda tak ingin hati Bapaknya yang begitu menyayanginya menjadi hancur. Anak yang begitu disayanginya malah diperlakukan kasar oleh menantunya. "Endit, hei! Kamu kok melamun?" Ucapan Kakek membuyarkan lamunanku. "Eh, iya Kakek." Aku tergeragap menjawabnya. "Tadi kakek sudah dua kali bertanya pada Endit. Kita mau langsung ke Mesjid Mujahidin atau Endit masih ingin mampir beli jajanan? Tapi Endit diam saja." Kakek berkata lagi. "Oh, maaf, Kek. Endit gak denger. Kita langsung saja ke mesjid. Endit sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan Nenek. Sudah kangen." Aku meminta maaf pada Kakek. Kakek tersenyum dan mengulurkan telapak tangan kirinya mengelus lembut puncak kepalaku. Aku membalas senyum Kakek. Ya Allah, pasti masa kecil Bunda sangat bahagia. Dia hidup dalam limpahan kasih sayang dan kehangatan dari kedua orang tuanya. Sungguh miris kondisinya saat ini. Ayah memang sayang pada Bunda. Akan tetapi, saat emosi dan amarah melanda, Ayah bisa berlaku sangat kasar pada Bunda. Bahkan kejadian yang terakhir kulihat hampir saja nyawa Bunda melayang. Kini rasa sayang dan kagumku pada Bunda semakin bertambah. Dia bisa menjaga semua rahasia ini dan menutup rapat tanpa celah. Dapat kupastikan Bunda melakukannya agar Kakek dan Nenek tak tahu deritanya. Bunda tak ingin menyusahkan dan mengganggu pikiran Kakek dan Nenek. Dia sangat kuat hingga bisa tetap menjadi Nur yang ceria, bisa bekerja dengan baik dan menjaga wibawanya sebagai kepala sekolah. Bunda juga bisa selalu sabar dan memaafkan tiap kali Ayah meminta maaf. Lalu kembali menjadi istri dan ibu yang baik. Padahal aku yang hanya sebagai saksi dari semua kejadian itu, masih merasa tak bisa melupakan dan menyimpan rasa marah atas perbuatan Ayah terhadap Bunda. Kejadian itu telah meninggalkan jejak traumatis dalam diriku. "Kita sudah sampai. Itu Nenek." Kakek berucap sambil menunjuk ke arah wanita berkerudung kuning dan gamis cokelat muda. Aku tersenyum lebar. "Kakek, ayo, kita turun dari mobil dan menghampiri Nenek!" "Endit tunggu di situ. Kakek turun lebih dulu dan membukakan pintu mobil. Kakek khawatir jari Endit terjepit pintu mobil lagi." Kakek berkata sambil turun dari mobil dan berjalan ke arahku. Aku mengangguk cepat. Kakek masih saja teringat kejadian itu. Padahal aku sudah hampir lupa. Jariku terjepit saat turun sendiri dari mobil dan menutup pintunya. Aku menangis sangat keras saat itu. Kakek sampai panik dan Nenek ikut menangis. Saat itu aku hanya pergi bertiga, karena Bunda sedang ada pelatihan dan menginap. Sedangkan aku tinggal bersama Kakek dan Nenek selama beberapa hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD