Bara keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang, sorot matanya menyiratkan emosi yang membara. Pertemuan dengan para manajernya barusan benar-benar menguji kesabarannya. Target yang mereka capai tidak masuk akal, jauh dari ekspektasi yang biasanya mereka lampaui. Bagi Bara, kegagalan seperti ini bukan sekadar kesalahan, melainkan penghinaan terhadap standar yang telah ia tetapkan.
"Kana," panggil Bara dengan nada dingin sambil terus melangkah menuju ruangannya. Langkahnya cepat, tak memedulikan orang-orang yang berpapasan dengannya.
"Iya, Tuan," sahut Kana, asistennya, yang mengekor dengan setia.
"Saya mau kamu tinjau ulang semua rincian laporan kerja tim mereka. Detailkan apa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab." Nada suaranya penuh tekanan, seolah memberikan perintah yang tak bisa ditawar.
"Baik, Tuan," jawab Kana sambil mencatat instruksi itu di tabletnya.
Bara melirik sekilas Kana, matanya menyipit. "Dan, apa kamu sudah menjalankan permintaan saya?" tanyanya sambil melanjutkan langkah tanpa jeda.
Kana, yang sudah memahami maksud pertanyaan itu, langsung menjawab tanpa ragu. "Sudah, Tuan. Seharusnya Nona Kaia sudah tiba di lantai bawah sekarang."
Bara tidak memberikan reaksi apa-apa, hanya mengangguk kecil sebagai tanda puas. Ia membuka pintu ruangannya dan terkejut mendapati Reynar sudah duduk santai di sofa, dengan ekspresi dingin yang khas.
"Bang, kok udah di sini? Bukannya kamu ada meeting?" Bara bertanya dengan alis terangkat, setengah kaget.
Reynar mengangkat kepalanya, menatap adiknya dengan pandangan tajam.
"Ngusir?" tanyanya singkat, namun nada datarnya cukup membuat suasana terasa lebih dingin.
"Bukan gitu," Bara mencoba menjelaskan, tapi Reynar sudah memotongnya sebelum dia bisa melanjutkan.
"Katanya kamu yang minta aku datang ke sini?" ujar Reynar, nadanya tetap datar namun penuh arti.
Bara mendesah kecil, lalu berjalan ke mejanya, menyalakan laptop sambil berbicara. "Nggak jadi, Bang. Semua udah beres. Anak buahku udah urus semuanya. Kita tinggal ikut tes terakhir aja nanti."
Reynar hanya mengangguk kecil, tapi sorot matanya menelisik. "Kaia di bawah sekarang, ya?" tanyanya sembari menyandarkan tubuh ke sofa, mencoba mencari reaksi dari Bara.
Bara berhenti mengetik sejenak, menatap Reynar sekilas, sebelum kembali fokus pada layar laptopnya. "Iya. Langsung di bawah pengawasanku. Kalau ada yang salah, aku sendiri yang tanggung jawab." Suaranya dingin, namun penuh tekad.
Reynar hanya menyeringai kecil, mengangkat cangkir kopi di mejanya. "Ya sudah"
Bara tak menanggapi, hanya melanjutkan pekerjaannya dengan ekspresi yang tak terbaca. Namun dalam hatinya, ia tahu, kalimat Reynar itu ada benarnya. Tapi kali ini, ia sudah memutuskan untuk bermain sesuai aturannya sendiri.
"Kau benar-benar membuang waktuku, Bara." Reynar mendesis kesal sambil berdiri, matanya menatap adiknya dengan tajam.
Bara hanya mengangkat bahunya dengan sikap acuh, seperti tak peduli pada amarah kakaknya.
"Sudahlah, buat apa aku di sini." Reynar berbalik hendak pergi, lalu menambahkan dengan nada lebih ringan, "Oh, iya. Kapan kau mau mampir ke rumah? Salsa mencarimu. Dia bilang kangen dan ngajak makan malam."
"Iya, Bang. Kalau ada waktu aku pasti ke sana." Bara menjawab tanpa menoleh, tatapannya masih terpaku pada layar monitornya.
Reynar tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada menggoda, "Jangan terlalu dingin, Bara. Carilah wanita. Sampai kapan kau mau hidup sendiri seperti ini?"
Bara mendengus kesal, memutar bola matanya dengan malas.
"Atau mungkin…" Reynar berhenti sejenak, menatap Bara dengan senyum menyebalkan. "Kau nggak tertarik dengan wanita?"
"s**t! Keluar, Bang, b******k!" Bara melempar bolpoin ke arah Reynar, tapi kakaknya itu dengan gesit menghindar. Tawanya yang menggema di ruangan terdengar penuh kemenangan.
Bara hanya bisa mendecak, kembali fokus pada pekerjaannya, sementara Reynar melangkah keluar dengan puas.
****
Kaia akhirnya tiba di parkiran basement, memarkirkan Mobilio merahnya dengan rapi. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat.
“Hari pertama kerja Kai, Semangat!” gumamnya sambil meraih kaca spion.
Namun, saat melihat pantulan wajahnya, dia mengernyit. “Ya Allah, kusut banget ni muka,?”
Dengan gesit, dia mengambil lip matte warna nude dari tas kecilnya, lalu mengoleskannya ke bibir dengan gerakan cepat namun hati-hati. Ditambah, mengoleskan blush warna terakota tipis-tipis di pipinya. Tak lupa, dia melepas jedai dan roll rambut yang dipakainya selama perjalanan. Rambutnya pun tergerai cantik, melengkapi penampilannya yang sederhana namun menarik.
Kaia tersenyum kecil ke kaca.
Ia keluar dari mobil dengan langkah percaya diri, namun langkahnya terhenti ketika matanya terpaku pada sebuah SUV hitam yang familiar tak jauh dari tempatnya memarkir mobil.
“Hmm... kayak kenal mobil ini,” gumamnya sambil mengamati sekilas. Namun, dia segera menggelengkan kepala. “Ah, yo weslah, Ra ngurus”
Kaia tak ambil pusing dan dia pun berjalan segera menuju lobby kantor Lakeswara Corp. Sesuai yang diminta oleh HRD yang menghubunginya tadi. Kaia diharapkan untuk datang menemui Kana.
Dengan anggun, Kaia melangkahkan kakinya hingga tiba di depan lift karyawan yang tampak penuh dengan antrean panjang. Ia menghela napas pendek, menyadari harus menunggu giliran.
Sambil menunggu, ponselnya bergetar di tangan. Ia membuka layar untuk membunuh waktu, namun konsentrasinya terpecah oleh suara yang sangat familiar.
"Eh, Kai? Ngapain ke sini? Bukannya jadwal tes terakhir masih lusa, ya?"
Kaia mendongak, mendapati Aya berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung. Di belakang Aya, Aldo—teman sekaligus kekasihnya—terlihat mengamati dengan senyum santai.
Kaia mengangkat alis sambil tersenyum jahil. "Hmm, kok gitu sih? Nggak seneng aku udah di sini?" ujarnya dengan nada menggoda, memasang wajah cemberut pura-pura.
Aya langsung melotot kecil sambil tertawa. "Eh, nggak gitu maksudnya! Seneng kok, Kai. Malah seneng banget lihat kamu di sini!"
Aldo, yang sekarang sudah mendekat, menatap Kaia sambil menyeringai. "Tentu aja kita seneng sayang. Aku malah makin semangat kerja kalau kita udah sekantor."
Kaia terkekeh mendengar candaan itu, lalu menepis tangan Aldo yang nyaris menyentuh lengannya.
"Dih, inget dong. Ini kantor bos, bukan tempat pacaran!" godanya sambil tersenyum jahil.
Aya tertawa kecil, tapi wajahnya masih menyiratkan rasa penasaran. "Jadi gimana, Kai? Kok tiba-tiba udah di sini? Kamu belum jawab, lho."
Kaia tersenyum kecil, menghela napas sambil melirik antrean lift yang belum juga berkurang. Ia membuka mulut hendak menjelaskan, tetapi tiba-tiba suara dingin dari arah belakang membuat mereka bertiga langsung menoleh.
"Kalau waktunya hanya dihabiskan untuk ngobrol, bagaimana bisa fokus bekerja?" Suara itu tegas, rendah, dan memaksa semua perhatian tertuju padanya.
Kaia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan tatapan tajam Bara yang berdiri tidak jauh darinya, dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya seolah menilai setiap gerak-gerik mereka.
"Pak Bara…" gumam Aya hampir berbisik sambil menunduk sedikit. Aldo pun segera membenahi posturnya, tampak sedikit canggung.
Kaia, di sisi lain, hanya berdiri tegak, meski dadanya mulai berdegup sedikit lebih cepat. Entah kenapa, kehadiran Bara di situ membuat suasana terasa semakin tegang.
"Matek.... "