Bab 8

1009 Words
Bara berjalan cepat dari arah luar kantornya. Tadi, ia sempat menyusul Reynar yang akan kembali ke Dewangga Group untuk membahas hal penting. Namun, sekarang fokusnya kembali pada Lakeswara Corp. Saat memasuki lobi, langkahnya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sosok mungil yang sangat dikenalnya. Kaia. Gadis itu sedang mengantri di depan lift umum, terlihat sibuk berbicara dengan seorang pria dan wanita yang tampak akrab dengannya. Aldo dan Aya, pikir Bara sambil mengamati mereka. Matanya menyipit, tatapannya tajam menembus kerumunan. Dengan langkah panjang dan penuh keyakinan, ia mendekati Kaia tanpa ragu. "Kalau waktunya hanya dihabiskan untuk ngobrol, bagaimana bisa fokus bekerja?" ucap Bara dingin, suaranya cukup keras untuk membuat semua orang di sekitar menoleh. Kaia tersentak, menoleh dengan ekspresi terkejut. "Eh? Mas Bara?" gumamnya, setengah bingung, setengah panik. Tanpa aba-aba, Bara meraih tangan Kaia, menyelipkan jemarinya di sela-sela jari gadis itu. Ia menggenggamnya erat dan langsung menariknya pergi menuju lift khusus, tanpa memberikan kesempatan pada Kaia untuk protes. "Lah… Mas! Mas! Lepasin dong! Apa-apaan ini?! Kaia bisa jalan sendiri!" pekik Kaia panik, berusaha melepaskan tangannya. Tapi cengkeraman Bara terlalu kuat, dan ia sama sekali tidak memedulikan tatapan bingung dari orang-orang di sekitar. Lift khusus terbuka tepat saat mereka tiba. Bara menarik Kaia masuk, dan pintu otomatis segera menutup, menghalangi pandangan semua orang di luar. Di dalam lift yang sunyi, suasana berubah canggung. Bara berdiri tegak dengan tangan masih menggenggam Kaia, sementara gadis itu mencoba menarik napas untuk menenangkan diri. Namun, detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya sulit berpikir jernih. "Mas Bara!" seru Kaia akhirnya, mencoba mematahkan keheningan. "Apa-apaan sih tadi? Kaia malu tau, diliatin banyak orang!" Bara menatapnya tajam, matanya menyorotkan emosi yang sulit ditebak. Namun, ada sedikit senyuman di sudut bibirnya. "Kalau malu, kenapa nggak protes di depan tadi?" Kaia mendengus, mendengarkan suara rendah Bara yang selalu berhasil membuatnya gugup. "Protes? Orang Mas langsung nyeret Kaia gitu aja kayak... kayak barang aja!" Bara hanya mendekat sedikit, menghadap Kaia yang ada tepat dihadapannya, membuat Kaia refleks mundur hingga punggungnya menyentuh dinding lift. "Kenapa? Takut?" tanyanya dingin, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Kaia menelan ludah, mengangkat dagunya untuk menutupi rasa gugupnya. "Nggak takut, Mas. Tapi nggak sopan, tahu. Nggak semua orang suka diperlakukan kayak gitu." Bara tersenyum tipis, kali ini lebih terlihat seperti seringai. "Kalau aku nggak narik kamu, berapa lama lagi kamu bakal ngobrol sama mereka? dan antri disana?" Kaia memutar matanya, merasa argumen ini tidak masuk akal. "Masih bisa kok masuk lift berikutnya. Nggak perlu juga seret-seret tangan Kaia segala." Kaia mengangkat genggaman tangan Bara yang masih ada di tangannya sendiri ke hadapan Bara. Seakan bertanya 'Kapan ini dilepas? ' Bara akhirnya melepaskan genggaman tangannya, tapi tetap berdiri di hadapan gadis itu. "Anggap aja aku sedang menyelamatkanmu dari antrian dan terlambat ke kantor." Kaia menghela napas berat, melipat tangan di d**a. "Iya deh, Mas Bara. Terserah aja. Tapi lain kali, jangan bikin Kaia malu lagi, ya. Kalau ada orang lain yang lihat, nanti malah jadi gosip." Bara memandangnya sejenak, matanya menelusuri wajah Kaia yang kini merona. "Aku nggak peduli gosip," katanya singkat, suaranya penuh keyakinan. "Yang penting kamu nggak bikin aku kesal." Kaia terkesiap, bingung harus membalas apa. Sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, suara lift berdenting menandakan mereka telah tiba. Bara melangkah keluar lebih dulu, tapi berhenti di depan pintu dan menoleh ke arahnya. "Jangan lambat, Kaia. Ini hari pertamamu." Kaia menatap punggung Bara dengan bingung, lalu buru-buru mengikuti langkah pria itu. Ia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal yang pasti—hari pertamanya di Lakeswara Corp dimulai dengan cara yang tidak pernah ia duga. ***** “Hallo, Nduk, Assalamualaikum,” suara lembut Bu Ana terdengar dari telepon, penuh kasih dan kehangatan yang langsung terasa di hati. “Waalaikumsalam, Bu. Enten nopo Bu? Yoknopo kabaré?” balas Salsa dengan senyuman lebar. Senyuman itu semakin mengembang karena mendengar suara ibunya yang selalu dia rindukan. Reynar, yang saat itu sedang berada di ruangan yang sama, mendekati Salsa dengan langkah santai. Tangan panjangnya melingkar lembut di pinggang istrinya. “Siapa, Sayang?” bisiknya pelan sambil menyandarkan dagunya di bahu Salsa. “Ibu, Mas,” jawab Salsa sambil memiringkan kepala ke arahnya. “Oke,” Reynar tersenyum kecil, lalu melepaskan pelukannya. Sebelum kembali ke kursinya, dia mencuri satu kecupan cepat di dahi Salsa, membuat istrinya menggeleng kecil sambil tersenyum malu. Salsa kembali fokus pada teleponnya. “Bagaimana kabarnya, Bu? Sama Bapak sehat-sehat, kan?” tanyanya lembut. “Alhamdulillah, Ibu sama ayahmu baik-baik saja, Nduk,” jawab Bu Ana dengan penuh kehangatan. “Kamu gimana? Suami dan keluarga kecilmu di sana nggak kekurangan apa-apa, kan? Adikmu, Kaia, itu gimana kabarnya? Nggak ngerepotin kamu, kan, Nduk?” Salsa terkekeh kecil, membayangkan wajah penuh perhatian ibunya. “Alhamdulillah kita semua sehat, Bu. Kaia juga nggak ngerepotin, malah dia sudah mulai kerja hari ini.” “Kerja? Alhamdulillah kalau begitu! Di mana dia kerja, Nduk?” tanya Bu Ana antusias. “Kaia belum cerita detailnya, Bu. Dia dapat panggilan mendadak, tapi Alhamdulillah langsung diterima. Insya Allah dia pasti baik-baik saja,” jawab Salsa dengan nada bangga. “Syukurlah, Nduk. Ibu senang dengarnya. Kalau begitu kamu nggak usah terlalu khawatir soal dia.” Salsa tertawa ringan. “Iya, Bu. Sekarang malah Saka yang lagi liburan di sana, jadi ngerepotin Ibu, ya? Hehehe.” “Aduh, bukan repot, Nduk. Saka itu malah bikin rumah ramai dan ceria. Kamu sama Reynar kapan ke sini? Ibu kangen kalian,” keluh Bu Ana, terdengar manja seperti biasa. “Insya Allah, Bu. Kalau Mas Reynar nggak sibuk, kita sempatkan pulang ke sana. Saya juga kangen, kok,” jawab Salsa dengan lembut, matanya sedikit berkaca-kaca karena rindu. “Janji ya, Nduk. Jangan kelamaan di sana. Ibu nunggu kalian.” “Iya, Bu. Janji. Nanti kalau ada waktu, kami pasti ke sana,” jawab Salsa, meyakinkan. Pembicaraan itu terus mengalir dengan hangat, penuh kasih sayang dan canda ringan antara seorang ibu dan putrinya. Di sisi lain, Reynar memperhatikan Salsa dari kursinya, merasa bersyukur memiliki istri yang selalu ceria dan penuh perhatian terhadap keluarganya. Tanpa disadari, senyum kecil terukir di wajah Reynar, menikmati setiap detik keberadaan Salsa di sisinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD