Bab 9

1167 Words
“Hey, nggak usah cemburu gitu kali,” ujar Aya sambil menyikut ringan perut Aldo, matanya melotot tajam ke arah pria itu. Aldo tetap berdiri mematung, tatapannya masih terpaku ke arah lift khusus yang baru saja membawa Bara pergi bersama Kaia. Meski mulutnya mencoba menyangkal, perasaan tak nyaman terus menggumpal di dadanya. “Hmm, nggak. Siapa juga yang cemburu?” elaknya cepat, meskipun nada suaranya terdengar kurang meyakinkan. Aya menghela napas berat sambil bersedekap, memandang Aldo. “Lah itu, mata kamu nggak kedip banget dari tadi ngelihatin mereka. Jangan ngeles, Mas Aldo!” tegur Aya dengan nada sedikit kesal. Aldo menoleh sejenak, mencoba menyembunyikan ekspresinya yang sebenarnya, lalu tersenyum kecil yang lebih terlihat seperti seringai. “Cuma... penasaran aja,” gumamnya pelan. “Penasaran?” Aya memiringkan kepala, semakin tidak sabar. “Do, denger ya. Kamu lupa kalau Pak Bara itu adiknya Pak Reynar? Dan Kaia itu adiknya Mbak Salsa, istrinya Pak Reynar?” Aya menyudutkan Aldo dengan tatapan tegas, satu alisnya terangkat. Aldo hanya mengangguk kecil. “Tahu kok,” jawabnya singkat, berusaha terlihat santai, meskipun jelas pikirannya berkecamuk. “Nah, kalau tahu, artinya apa, coba? Pak Bara jadi siapa buat Kaia?” Aya melanjutkan, kini dengan nada seperti seorang guru yang sedang menguji muridnya. “Saudara ipar, iya kan?” sahut Aldo pendek, nada suaranya terdengar datar, seolah-olah topik ini tak penting baginya. “Betul banget! Jadi, stop tuh drama cemburu nggak jelas kamu, oke?” tutup Aya dengan nada setengah bercanda, meski raut wajahnya masih menunjukkan rasa tidak suka. Aldo mendengus ringan, lalu mengusap tengkuknya. “Iya, iya. Udah, ayo masuk. Lift-nya kosong,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian dengan menarik tangan Aya menuju lift yang terbuka. Di dalam lift, mereka berdiri berdampingan. Aya tampak sibuk dengan ponselnya, sementara Aldo bersandar di dinding lift. Meskipun wajahnya terlihat santai, pikirannya masih berkutat dengan apa yang baru saja dia lihat. Cara Bara menggenggam tangan Kaia, tatapan pria itu yang intens, dan Kaia yang—meski terlihat canggung—tidak sepenuhnya menolak. “Kenapa kayak ada sesuatu yang disembunyikan?” pikir Aldo sambil melirik sekilas ke Aya, memastikan wanita itu tidak memperhatikan ekspresi wajahnya. Aya, di sisi lain, tampak lebih santai, meski ada sedikit ketidaksukaan yang ia sembunyikan. Baginya, sikap Aldo yang berlebihan tadi cukup mengganggu. Tapi dia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Ketika lift berdenting dan pintu terbuka di lantai tujuan mereka, Aya melangkah keluar lebih dulu, diikuti Aldo yang masih tenggelam dalam pikirannya. Dia tahu, ada sesuatu yang tidak biasa di antara Kaia dan Bara, tapi dia memilih untuk menyimpannya sendiri—setidaknya untuk saat ini. ***** Di dalam ruangan besar Bara yang bernuansa elegan dan modern, suasana mendadak terasa canggung. Bara, dengan sikapnya yang dingin, tetap fokus pada layar monitor di depannya. Kaia berdiri di ambang pintu, bersiap untuk keluar, ketika suara tegas Bara menghentikan langkahnya. “Mau ke mana kamu?” tanyanya tanpa menoleh sedikit pun. Kaia menoleh dengan kikuk, mencoba bersikap santai. “Mau nyari Pak Kana, Mas. Katanya pihak HRD aku disuruh ketemu beliau.” Suaranya terdengar ceria, meski raut wajahnya menyiratkan sedikit kebingungan. “Nggak usah dicari. Dia nanti ke sini,” jawab Bara singkat, masih terpaku pada pekerjaannya. Kaia mengernyitkan dahi. “Jangan gitu dong, mas.. eh Pak.. Nggak enak sama aku sendiri. Kayak nggak profesional banget,” gumamnya pelan, setengah menggerutu. Bara mendesah panjang, membuka laci mejanya, lalu melemparkan sebuah name tag karyawan ke meja di depan Kaia. “Apa ini, Pak?” Kaia bertanya sambil memungut name tag itu, wajahnya penuh penasaran. “Kamu lupa cara baca?” Kaia mendengus, kesal. “Ih, gitu banget sih, Pak.” Dia menggerutu sambil membaca tulisan pada name tag tersebut. Matanya membulat. “Pak, ini beneran? Saya jadi sekretaris Bapak?” Bara akhirnya melepaskan pandangannya dari layar, menatap Kaia sebentar sebelum menyandarkan tubuh ke kursi. “Ada masalah?” tanyanya, suaranya tetap dingin. Kaia langsung duduk di kursi depan meja Bara, mencoba mencari celah untuk bernegosiasi. “Mas eh Pak., bisa nggak saya di divisi lain aja? Masa saya jadi sekretaris Bapak? Nggak enak sama yang lain.” “Semua posisi di divisi lain sudah diisi kandidat lain,” jawab Bara singkat tanpa basa-basi. “Tapi, Pak, saya nggak enak. Orang-orang pasti berpikir macam-macam karena saya langsung diterima. Apalagi sekarang jadi sekretaris,” keluh Kaia sambil memanyunkan bibirnya. Bara menatapnya dengan tajam, namun ada kelembutan samar di sudut matanya. “Kamu jadi sekretaris bukan karena kamu kenal aku. Itu hasil penilaian wawancara. Kalau ada yang protes, biarkan kerja kerasmu yang bicara,” ucapnya dengan nada tegas. “Tapi, Pak…” Kaia mencoba membantah, namun suara Bara langsung memotongnya. “Kana, masuk,” perintah Bara setelah mengangkat telepon di mejanya. Beberapa saat kemudian, Kana muncul dengan langkah sigap. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Bara?” “Antar Kaia ke ruangannya,” titah Bara tanpa memandang Kaia. “Baik, Pak. Nona Kaia, silakan ikut saya,” ujar Kana dengan sopan. Kaia mendesah panjang, merasa tak punya pilihan lain. “Ck, siap-siap kena cibiran orang deh,” batinnya pasrah sambil berdiri. “Kaia,” panggil Bara tiba-tiba. Kaia menoleh cepat, matanya berbinar penuh harapan. “Iya, Pak? Berubah pikiran?” tanyanya penuh semangat. “Ini,” Bara menunjuk tumpukan berkas di mejanya. “Bawa ini ke ruanganmu dan segera periksa.” Kaia mendengus kesal. “Pak, kok maksa banget sih.” Meski sebal, dia tetap mengambil berkas-berkas itu. Saat hendak pergi, Bara berdiri dan mengacak rambut Kaia dengan tangan besarnya. “Kerja yang bener,” bisiknya dengan nada dingin namun terdengar gemas. Kaia mencebik, bibirnya maju. “Iya, iya.” Setelah Kaia pergi, Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pintu yang tertutup dengan senyum kecil di wajahnya. “Dia nggak berubah sama sekali,” gumamnya pelan. --- Di ruangannya, Kaia menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk. Meski ruangan itu nyaman, pikirannya penuh dengan keraguan. Posisi sekretaris Bara bukanlah hal yang ia harapkan. “Aku nggak siap mental buat ini. Apalagi kalau nanti orang-orang ngomongin aku,” keluh Kaia sambil memainkan name tag-nya. Matanya melirik tumpukan berkas di mejanya. “Aduh, gimana sih ini? Apa aku minta bantuan Pak Kana aja ya?” Setelah merenung beberapa saat, dia akhirnya berdiri, mencoba memberanikan diri. “Pak Kana pasti bisa bantu aku,” gumamnya sambil berjalan ke ruangan sebelah. Namun, ketika pintu ruangan Kana terbuka, Kaia merasa canggung. Dia menyapanya dengan formalitas baru. “Pak Kana, maaf mengganggu.” Kana menoleh, mengangguk sopan. “Ada yang bisa saya bantu, Nona Kaia?” Kaia menghela napas, merasa kikuk dengan formalitas itu. “Ehm, sebenarnya, saya mau bicara soal posisi ini. Bisa nggak saya pindah divisi lain?” tanyanya ragu. Kana menatapnya sebentar sebelum menjawab dengan tegas. “Maaf, Nona, itu keputusan Pak Bara. Saya hanya menjalankan tugas.” Kaia mendesah panjang. “Tolong Pak, bantuin saya bilang ke mas, eh Pak Bara.,” Kaia menangkupkan kedua tangannya. "Maaf nona, saya tidak bisa" Akhirnya, Kaia kembali ke ruangannya, setelah memohon kepada asiaten dari Bara dan hasilnya... nihil. Kaia pun mencoba menerima keadaan yang ada meski hatinya masih gelisah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD