Bab 10

862 Words
Di ruangan Kaia yang masih terasa baru baginya, dia sedang mencoba fokus pada tumpukan berkas yang diberikan Bara. Namun, pikirannya terus melayang pada kekhawatiran tentang reaksi orang-orang di kantor. Ketukan pintu tiba-tiba terdengar, membuat Kaia mengangkat kepalanya. “Masuk,” ucapnya sedikit ragu. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Aldo yang melangkah masuk dengan wajah penuh tanda tanya. “Kaia, bener kamu sekarang jadi sekretarisnya Pak Bara?” tanyanya langsung tanpa basa-basi, suaranya setengah berbisik namun penuh nada tak percaya. Kaia menghela napas panjang. “Iya Mas, ada apa? Aku jadi sekretaris Pak Bara disini, sebenarnya aku nggak yakin sih?” Aldo melangkah mendekat, menatap Kaia dengan pandangan serius. “Jika kamu tidak yakin, kenapa kamu tidak menolaknya? Kamu yakin ini bukan karena dia kenal kamu? Kok tiba-tiba kamu yang dipilih, sementara masih ada tes lanjutan buat kandidat lain?” Kaia menatap Aldo, merasa tersudut. “Mas, aku nggak tahu juga kenapa. Tapi kata Pak Bara, aku dipilih berdasarkan hasil wawancara. Jadi, ini murni karena kemampuan aku. Terus kenapa seakan-akan kamu berfikir jika aku menyalagunakan hubunganku dengan Pak Bara?” Aldo mengerutkan dahi, raut wajahnya menunjukkan ketegangan. Namun, sebelum dia bisa mengatakan apa-apa lagi, suara langkah berat terdengar dari luar. Pintu ruangan terbuka lebar tanpa ketukan lebih dulu, memperlihatkan sosok Bara dengan ekspresi dingin dan tajam. Dia membawa beberapa berkas di tangannya, tampak tidak senang melihat kehadiran Aldo. “Kaia, ini data para investor yang perlu kamu pelajari,” ujar Bara sambil meletakkan berkas itu di meja Kaia tanpa melirik Aldo sedikit pun. Aldo, yang merasa terabaikan, akhirnya angkat bicara. “Pak Bara, maaf, tapi saya ingin memastikan sesuatu. Kaia apa benar jadi sekretaris Bapak?” Bara mengalihkan pandangannya dengan dingin, menatap Aldo dari atas ke bawah sejenak sebelum menjawab. “Sepertinya sudah jelas, bukan? Dia ada di ruangan ini, dengan tugas di mejanya.” Nada suaranya penuh ketegasan, membuat suasana semakin tegang. Aldo, yang biasanya santai, merasakan tekanan dari aura Bara. “Tapi, Pak, saya hanya ingin tahu apakah ini keputusan yang benar-benar objektif,” lanjut Aldo, mencoba tetap tenang meski suaranya sedikit bergetar. Bara menyipitkan matanya, lalu mendekat ke arah Aldo. “Aldo, ya? Sebagai staf saya, sebaiknya kamu fokus pada pekerjaanmu, bukan mengurusi hal yang tidak ada hubungannya denganmu,” ucapnya dengan nada dingin. Kaia yang menyaksikan interaksi itu mulai merasa tidak nyaman. “Mas Aldo, udah dong. Aku udah jelasin tadi. Nggak usah diperpanjang lagi, ya,” pintanya dengan suara lembut, mencoba meredakan situasi. Aldo menatap Kaia sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baik, Kaia. Kalau itu maumu,” ucapnya dengan nada sedikit terluka. Dia berbalik dan keluar dari ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi pada Bara, sementara Kaia hanya bisa menunduk, merasa bersalah atas situasi itu. Setelah Aldo pergi, Bara menatap Kaia dengan tajam. “Pastikan semua orang tahu kalau kamu di sini bukan karena hubungan personal, tapi karena kemampuanmu. Aku nggak suka ada drama seperti ini di kantor,” ucapnya dingin sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban dari Kaia. Kaia hanya bisa memandangi punggung Bara yang menghilang di balik pintu, merasa semakin tertekan. "Kenapa semuanya jadi rumit begini?" batinnya. Kaia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan wajah penuh sesal. Tangannya memijit kepalanya, menarik rambutnya sedikit, mencoba mencerna semua yang terjadi. Pertengkaran singkat dengan Aldo, sikap dingin Bara, semuanya terasa berat di pikirannya. Dia memejamkan mata, memikirkan bagaimana semua ini terjadi. Bara. Pria yang sejak awal begitu dingin namun selalu memastikan dirinya tetap berada di orbit kehidupannya. Kaia mulai merasa bahwa keberadaannya di sini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang Bara rencanakan. "Kenapa harus aku?" bisiknya pelan, perasaan bersalah dan bingung bercampur aduk di hatinya. Sementara itu, di ruangan lain, Bara berdiri di depan jendela besar ruangannya. Tangan kirinya mengepal erat, sementara tangan kanannya memegang gelas kopi yang sejak tadi tak disentuh. Dia menatap ke luar, tetapi pikirannya tertuju pada satu nama: Kaia. Bara mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang meletup di dadanya. "Kenapa harus ada Aldo di tengah-tengah kita Kaia?" gumamnya pelan, suaranya sarat dengan nada tidak puas. Kaia adalah sesuatu yang tidak bisa dia biarkan pergi. Sejak pertama kali gadis itu datang, Bara tahu bahwa dia menginginkan Kaia ada di sisinya. Tidak sekadar sebagai sekretaris, tapi lebih. Kaia adalah seseorang yang, entah bagaimana, membuatnya merasa hidup di tengah rutinitas dingin dan kosong. Dia berjalan perlahan menuju meja kerjanya, mengambil berkas yang tadi hendak dia serahkan ke Kaia. Pandangannya jatuh pada nama gadis itu yang tertulis di sudut laporan. Jarinya menyentuh huruf-huruf itu, seolah itu bisa membuatnya merasa lebih dekat dengan Kaia. "Bukan kebetulan aku memilihmu, Kaia," desisnya pelan. Obsesinya pada gadis itu semakin kuat setiap harinya. Bara merasa bahwa Kaia adalah miliknya, meski gadis itu belum menyadarinya. Namun, Bara sadar, ada satu penghalang besar: Aldo. Hubungan Kaia dengan pria itu membuatnya gusar. Bara merasa harus mengambil kendali, memastikan bahwa Kaia tidak akan pernah lepas darinya. Dia mengepalkan tangannya lagi, memutuskan sesuatu di dalam hati. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutmu dariku, Kaia. Termasuk Aldo," ujarnya dengan nada pelan namun penuh tekad. Di saat yang sama, Kaia masih bergumul dengan perasaannya di ruangan sebelah. Tidak menyadari bahwa di ruangan lain, seseorang tengah merencanakan langkah-langkah besar untuk menjadikannya miliknya, tanpa memedulikan apa yang harus dikorbankan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD