Prolog

457 Words
Kata orang, definisi bekerja itu bangun pagi-pagi, dandan yang rapi, memakai pakaian formal, berangkat pagi pulang sore bahkan malam, libur saat akhir pekan, gajian setiap bulan dan lain sebagainya. Namun bagi Elina Salsabila, bekerja itu ... mengerjakan sesuatu. Ya, harus ada sesuatu yang dikerjakan. Tentunya menghasilkan uang, dalam artian halal. Sesederhana itu. Tidak peduli di mana, yang penting bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sayangnya banyak yang tidak paham dengan pendapat wanita berusia 25 tahun itu, terlebih para tetangga yang seenak jidat mengecapnya sebagai pengangguran, hidup tak punya tujuan, sarjana tak berguna, bahkan tidak jarang Elina dianggap memelihara tuyul. Betapa tidak, wanita itu tetap selalu memiliki uang meski hanya tinggal di rumah saja. Terlepas dari semua gunjingan orang-orang tentang dirinya, Elina memilih untuk tetap cuek. Toh dirinya tidak merugikan siapa pun, kan? Elina tidak peduli berapa ratus orang yang bertanya kenapa tidak bekerja? Elina sudah lelah terhadap itu semua sehingga lebih memilih menutup telinga. Kadang, bersikap masa bodoh memang perlu. Pagi itu, Elina baru selesai mandi. Ia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba bunyi ketukan pintu membuat gerakannya terhenti. Siapa yang datang? Pikirnya. "Permisi!" Di rumah tidak ada siapa-siapa selain dirinya, setengah berteriak Elina meminta tamu yang datang tersebut menunggu sebentar. Langsung saja Elina menggantung handuk kecil itu sembarangan, tidak lebih dari lima menit ia sudah membuka pintu. Ternyata yang datang adalah seorang pria yang membawa undangan. Karena sudah biasa mendapat undangan akhir-akhir ini, Elina pun menerimanya tanpa memperhatikan wajah si pembawa undangan tersebut. "Maaf, rumah Evi sebelah mana, ya?" Pertanyaannya membuat Elina kembali memutar tubuh, ia pikir orang itu sudah pergi. Nyatanya malah masih berdiri di sana. Kali ini Elina memperhatikan wajahnya dan ia tidak menyangka pria itu adalah Erik, orang yang pernah Elina kenal. Elina sempat diam selama beberapa detik, bukan karena apa-apa. Jujur saja ia terkejut setengah mati. Refleks Elina langsung melihat nama yang terpampang di undangan. Jadi Erik mau menikah? Kenapa Erik kepikiran untuk mengundang Elina di hari pernikahannya? "Oh, rumah Evi lurus aja di Gang Akasia. Rumahnya di sebelah kanan, catnya warna pink, nanti tanya aja di sekitar situ," jawab Elina. "Makasih, ya." Elina hanya mengangguk, sampai pada akhirnya Erik pamit dan suara mobil mulai terdengar, menandakan pria itu sudah benar-benar meninggalkan pekarangan rumah. Terlepas dari hubungan yang sempat memanas beberapa tahun lalu, tidak ada gunanya saling memusuhi. Ya, Elina harusnya senang Erik akhirnya menikah. Elina bahkan bisa memastikan tidak ada dendam antara mereka berdua. Tidak ada yang patut disesali karena semua memang sudah terjadi. Mau bagaimana lagi? Hidup mempunyai banyak proses, sementara takdir punya jalan sendiri. Apa pun yang terjadi di masa lalu, biar menjadi pelajaran saja. Hanya saja yang membuat Elina merasa sedikit miris adalah ... kenapa Erik harus lebih dulu menikah sementara dirinya masih menyandang status jomlo? Ya, JOMLO. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD