Bab 1

1357 Words
Seperti hari-hari biasanya, alarm di ponsel Elina berbunyi. Alarm itu sengaja ia setting enam kali dan hanya berjeda 15 menit. Dari semuanya, tidak ada yang membuat Elina terbangun. Ia masih betah bermimpi meski cahaya matahari mulai memaksa menerobos tirai kamarnya. Sampai akhirnya suara alarm berganti menjadi nada panggilan masuk. Sontak Elina langsung terkesiap. Matanya refleks terbuka, nyawanya yang belum sepenuhnya kumpul langsung dipaksa kumpul. Ia melirik ponselnya dan melihat nama seseorang yang memanggilnya. Ibu Negara. "Mampus!" gumam Elina. Secepatnya ia duduk dan mengangkat panggilan itu. "Ha—" Belum selesai kata sapaan itu terucap, Elina seolah langsung mendapat serangan bertubi-tubi. Segala omelan khas ibu-ibu terlontar dengan sangat cepat, tanpa jeda dan lancar seolah sudah terlatih. "Kamu ini lagi ngapain, sih?" tanya Ami akhirnya. "A-aku tadi di kamar mandi, Ma. Jadi agak lama. Emangnya ada apa, sih, Mama tersayang?" Kebohongan Elina barusan refleks, ia benar-benar tidak merencanakan itu semua demi posisinya aman dan terhindar dari segala omelan panjang itu. "Buka pintu!" "Hah?!" "Iya buka pintu, Mama di depan rumah kamu." "Ngapain pagi-pagi depan rumah, Ma?" "Ya mau masuklah, El. Masa minta sumbangan. Cepetan buka, Mama nggak bisa masuk. Pintu diketuk-ketuk kok kamu nggak nyahut. Mana lampu teras masih nyala. Rumah kayak nggak ada penghuninya. Mama lihat di celah ventilasi lampu ruang tamu juga masih nyala. Kamu ini sebenernya lagi ngapain, sih?" Mama ngapain sampai ngintipin ventilasi? Pikir Elina. "Maaf, Mama. Belum sempat. Ini mau aku matiin. Tunggu sebentar, ya." Tanpa menunggu balasan mamanya, Elina menutup sambungan teleponnya secara sepihak. Ia langsung membereskan apa pun yang sempat dibereskan. Kasur, tumpukan-tumpukan barang yang tidak seharusnya. Elina juga merapikan semampu yang ia bisa, jangan sampai barang-barang tidak sesuai pada tempatnya. Namun semua itu seolah sia-sia. Membereskan sesuatu di kala panik seperti ini, malah membuat semuanya makin berantakan. Ini adalah salah satu hal yang membuat Elina memilih untuk tidak tinggal di rumah orangtuanya. Ya, kepribadiannya yang pemalas dan tidak rapi membuat Elina setiap hari selalu mendengar omelan mamanya. Ditambah lagi para tetangga yang sering nyinyir terhadap kehidupannya. Ah, untung saja Elina yang kata orang 'pengangguran' ini sanggup membeli rumah sederhana untuk tinggal sendirian dan merasa bebas melakukan apa saja. Entah bangun siang, tidak membereskan semua ruangan, bisa menumpuk cucian, Elina bebas melakukan apa saja. Ah, betapa nikmatnya tinggal sendirian. Namun tetap saja, saat mamanya berkunjung terlebih tiba-tiba seperti ini, Elina terpaksa mendadak merapikan semuanya. Jujur saja ia malas mendengar omelan sang mama yang bisa membuatnya badmood seharian. "ELINA!" Suara teriakan Ami kali ini terdengar sampai kamar. Sontak Elina makin panik, ia langsung mematikan sakelar lampu semua ruangan dan membuka tirai asal lalu segera mengambil langkah seribu menuju pintu ruang tamu. "Kok lama banget, sih, El? Kamar kamu ada di Arab, ya?" omel Ami setelah pintu dibuka sembari masuk ke ruang tamu meski tanpa dipersilakan. Jika sudah seperti ini, pembelaan apa pun tak akan berpengaruh. Jadi Elina lebih memilih diam. Ya, prinsipnya adalah ... jangan pernah ngeyel pada mamanya kalau tidak mau semuanya hancur. Kalau wanita selalu benar, maka ibu-ibu seperti Ami jelas maha benar. Begitu masuk, pandangan Ami langsung tertuju ke sekeliling ruangan. "Kamu yakin nggak nyembunyiin sesuatu dari Mama?" Ami bertanya sambil menyelidik. "Emangnya aku mau nyembunyiin apa? Cowok?" "Untuk sekarang, kalau itu kayaknya nggak mungkin. Kamu, kan, jomlo. Emang mau nyembunyiin siapa?" jawab Ami, membuat Elina memberengut. Elina memang jomlo, tapi tidak harus diperjelas statusnya, kan? Kini, tatapan Ami beralih pada pegangan sofa panjang di ruang tamu. Wanita yang tahun ini menginjak kepala lima itu seolah baru menemukan harta karun. "Ini potongan lakban ngapain ada di sini?" tanya Ami sambil menunjukkan benda kecil yang menurutnya mengganggu itu. Refleks mata Elina membelalak, benda sekecil itu kelihatan? "Ah, itu ... maaf, Ma. Aku kelupaan kayaknya pas packing pesanan." "Packing ngapain di ruang tamu? Kan udah ada ruangan khusus. Mama tuh nggak pernah loh ngajarin anaknya supaya jorok." Potongan lakban doang ya ampun.... "Jangan diulangi, ya. Kalau ada tamu gimana?" Sungguh, rasanya Elina tidak perlu menyebutkan seberapa sering ada tamu. Karena faktanya hampir tidak pernah. Kalau kurir ekspedisi tidak termasuk hitungan, kan? Sayangnya kembali lagi ke pasal maha benar ibu-ibu. Lebih baik Elina diam. "Ini bantal sofa kok kebalik-kebalik. Nggak enak banget dilihatnya, El. Begini doang masa Mama harus marah-marah dulu, sih? Lantai juga pasti belum disapu, ya? Ya ampun." Tuhan, kapan penderitaan ini berakhir? Dosa apa hamba semalam…. "Ya ampun, Elina! Ini noda apa?" Ami menunjukkan noda yang sangat kecil. Noda di bantal sofa itu hampir tidak terlihat kalau tidak jeli. "Kamu ini perempuan loh, suatu saat bakal jadi istri. Masa makan es krim aja sampai kena bantal sofa? Belajar steril dong, El. Mau sampai kapan begini terus? Mama sampai capek bilangin kalau bersih itu penting, bersih itu sehat, rezeki juga pada deket. Mbok ya ini punya anak perempuan gini banget. Mama waktu muda nggak gini loh, El." Terus saja, Elina memang sudah biasa mendengar omelan Ami. Tapi tetap saja rasanya risi kalau mendengar ini terus menerus. Elina sekarang dalam posisi serba salah. Ya, kalau menjawab salah, diam saja apalagi. Semuanya percuma. Kadang Elina berpikir, apa semua orang di seluruh dunia bernasib sepertinya? Apa semua ibu-ibu senang mengkritik kebiasaan anaknya? Ah, entahlah. Elina merasa takaran kebawelan mamanya jauh di atas rata-rata dari semua ibu kebanyakan. Kalau anaknya bukan Elina, mungkin sudah stres. "El, ingat ... kamu ini perempuan. Mama izinin kamu beli rumah supaya mandiri, bukan malah urakan kayak gini. Suatu saat kamu jadi istri. Apa kata suami kamu kelak dapet istri kayak begini?" "Iya, Mama. Iya." "Terus itu rak sepatu di depan loakin aja kalau nggak dipakai. Hadeuh, rak sepatu bukan pajangan. Ngapain sandal sama sepatu berantakan nggak karu-karuan di depan sementara rak sepatu dianggurin gitu?!" Ya Tuhan, ternyata masih berlanjut. "Iya, maaf, Ma. Aku bakal lebih baik lagi," ucap Elina akhirnya. Tentu saja raut wajahnya menunjukkan penyesalan. "Udah hafal, pasti kamu jawab kayak gitu. Buktinya? Ah, sekarang Mama mau bukti aja. Lain kali Mama ke sini lagi jangan sampai bikin Mama emosi, ya. Segini Mama baru sampai ruang tamu. Apa kabar kamar, dapur, kamar mandi? Bisa makin stres." Tuhkan, salah lagi. Tapi memang benar, omelan Ami mungkin akan makin menjadi-jadi saat melihat lebih jauh. Elina bahkan lupa kapan terakhir mencuci piring. Ya Tuhan, ia berharap mamanya segera pulang. "Ya udah, Mama ke sini buat minta kamu cancel semua acara buat besok pagi." Rasa lega langsung terbit saat Elina sudah mendengar Ami membahas hal lain. Itu artinya penderitaan segera usai. "Emangnya mau ke mana, Ma?" "Antar Mama ke acara teman Mama. Dia mau hajatan, jadi Mama mesti hadir. Enggak enak kalau nggak datang pagi, dia lumayan akrab sama Mama. Kamu nggak sibuk, kan?" "I-iya, Ma. Bisa, bisa." Faktanya tidak ada opsi lain selain mengatakan bisa. Jika tidak, Elina akan siap terkena serangan omelan seperti tadi. Menuruti permintaan Ami ikut ke acara hajatan seperti itu rasanya tidak terlalu menjadi beban Elina. "Awas, ya. Jangan sampai kesiangan dan belum rapi. Jam 9 harus udah jemput Mama." Ami memperingatkan. "Tadinya mau lewat telepon aja bilang ini, cuma kebetulan sekalian lewat aja. Kamu tahu nggak, El?" "Enggak, Ma," jawab Elina polos, membuat Ami menghela napas kesal. Faktanya memang Elina bukan cenayang, kan? Wajar saja ia tidak tahu. "Adik laki-laki kamu satu-satunya dapat penghargaan jadi siswa teladan dan Mama diundang. Ah, bahagia banget rasanya anak bungsu Mama membanggakan banget." Baiklah, Elina harus siap dibanding-bandingkan dengan Danu, adik Elina satu-satunya. Ya, mereka adalah dua bersaudara dan Elina anak sulung. Sikap mereka sangat berbanding terbalik. Danu sangat rajin, disiplin dan taat pada aturan, hidupnya juga terarah. Sementara Elina, pemalas dan mageran. "Ya udah, Ma. Terus kapan ke sekolahnya? Nanti telat loh." Elina berusaha mengalihkan perhatian Ami. "Kamu ngusir Mama?" "Bu-bukan. Aku cuma takut Mama terlambat." "Ya udah, tapi kamu dengar ya kata-kata Mama hari ini. Awas aja kalau Mama ke sini dan keadaan masih kacau." Elina semakin merasa lega saat Mamanya sudah meninggalkan rumah ini. Mimpi apa semalam, pagi-pagi sudah terkena semburan. Ya ampun. Padahal tujuan Elina pindah dan tinggal sendiri adalah untuk merasa bebas. Dengan malas, Elina kembali menutup pintu rumahnya. Namun, saat pintu belum tertutup sepenuhnya, tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depan rumahnya. Tampak seorang pria tengah membuka helm lalu turun dari motor dan berjalan menghampiri Elina. Tunggu ... siapa dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD