Bab 2

908 Words
"Cari siapa, ya?" tanya Elina to the point. "Cari Mbak." Mendengar jawaban pria di hadapannya sontak Elina mengernyit lalu menunjuk diri sendiri dengan jari telunjuknya. "Hah? Ngapain nyari saya?" "Jadi gini ... saya dapat info dari teman saya, katanya Mbak suka kirim-kirim paket dan banyak jumlahnya." Elina semakin bingung. "Tunggu, kamu ngomong yang jelas dong. Saya nggak paham, ini maksudnya apa? Teman kamu yang mana? Salah orang kali." "Emang yang tinggal di rumah ini siapa lagi? Cuma Mbak, kan? Ya berarti saya nggak salah orang, dong." "Ya terus teman kamu siapa?" tanya Elina ketus. "Cie mulai penasaran. Hehe." Melihat ekspresi Elina yang seolah mau ngamuk, pria itu langsung meminta maaf atas candaannya. "Teman saya kurir yang biasa antar-jemput paket punya Mbak." "Terus kamu siapa? Tolong jangan buang-buang waktu saya." Elina sejujurnya makin kesal. Pria di hadapannya ini sungguh bertele-tele. "Oke, kenalin dulu. Nama saya Alexander D'Caprio." Sontak Elina melongo. Apa ia sedang berhadapan dengan pria gila? "Panggil aja Ujang. Lidah orang Indonesia suka keseleo nyebut nama saya. Kadang ada yang nyinyir juga katanya nggak pantas sama muka saya. Lantas saya peduli? Enggaklah. Palingan yang nyinyir cuma iri." "Terserah deh ya, sekarang bilang ... kamu ada urusan apa?" "Ini nggak disuruh masuk dulu?" tanya Ujang. "Enggak!" "Ya udah langsung aja deh saya jelasin duduk permasalahannya. Seperti yang saya bilang tadi, teman saya, kan, kurir yang biasa antar-jemput paket. Nah, dia cerita ke saya kalau Mbak sering kirim paket dalam jumlah banyak. Maksud saya … Mbak apa nggak tertarik pakai buble wrap buat bungkusnya?" What?! "Kamu ngomong panjang lebar cuma buat nawarin buble wrap?!" "Iya, Mbak. Nanti saya bawa ke sini jadi Mbak nggak akan repot-repot buat beli. Apalagi tahu sendiri buble wrap itu gede, bikin rempong bawanya. Emang sih ada yang eceran, tapi lebih hemat beli yang gede, kan? Serius deh, banyak yang mengakui kalau yang gede lebih nikmat loh." "Kamu buang-buang waktu saya!" Elina hampir menutup pintu sampai pria bernama Ujang itu tampak memohon. "Istri saya lagi hamil, Mbak." Oh, sudah punya istri. Untung Elina tidak tertarik. Sesaat Elina menghentikan gerakan tangannya untuk menutup pintu. Namun, Elina tidak menjawab meski dalam hati ia ingin berteriak dan berkata, terus masalahnya apa kalau hamil? "Dia ngidam pengen ngantar buble wrap ke pemesan. Cuma seminggu ini sepi, Mbak. Saya harap Mbak mau pesan, ya. Enggak ada ruginya, kok. Ini gede jadi awet. Saya diskon spesial deh buat Mbak." Elina kembali membuka pintunya. Bukan karena matanya berubah hijau mendengar kata diskon, tapi ia masih punya hati nurani terlebih pria di hadapannya itu mengatakan dengan nada yang super melas. "Ya udah berapaan?" Ujang tampak semringah. Ia langsung membuka catatan kecilnya dalam tas pinggang yang entah sejak kapan dipakai, Elina tak memperhatikan sedetail itu. "Harga satu roll-nya cuma 140 ribu, Mbak. Tapi karena diskon ... harganya jadi 139.999 rupiah aja." Mata Elina membelalak. Diskon tidak sebercanda itu! "Enggak usah diskon aja kalau gitu! Mana ada kembalian satu rupiah? Permen aja seribu dapat empat," protes Elina. "Ya sudah. Saya nggak memaksa, yang penting saya udah berbaik hati menawarkan diskon." Jujur saja Elina makin kesal. Kenapa pagi-pagi sudah berhadapan dengan orang seperti ini? "Ini nota pembeliannya, Mbak. Bayar dimuka minimal 99 persen." "Kamu jualan apa malak orang, sih? Sekalian aja nggak usah DP segala." "Ya kembali lagi, saya nggak memaksa. Kalau mau sekalian cash ... itu lebih baik." Wajah sok polos Ujang semakin membuat Elina kesal, dan lagi-lagi wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. "Sebentar, saya ambil duit dulu," ucap Elina kemudian berbalik. Tak lebih dari lima menit ia sudah kembali dengan membawa uang untuk diberikan pada Ujang. "Terima kasih, Mbak." Ujang tersenyum sembari menerima uang dari Elina. "Nanti sore ada di rumah, kan? Rencananya saya sama istri tercinta antar barangnya sore ini." "Terserah, ya udah saya masuk dulu." "Saya juga mau pulang. Saya pamit ya Mbak Elida." Elina yang sudah bergegas menutup pintu seolah kembali dibangunkan rasa kesalnya. "Kamu panggil saya apa? Seenak jidat ya ganti-ganti nama orang." "Ma-maaf, maksud saya Mbak Elika." "SALAH!" "Perempuan emang selalu benar, Mbak. Kalau gitu namanya Mbak Felinda, ya? Saya langsung permisi." Ujang mundur teratur sebelum gadis di hadapannya mengamuk. Sudah ia tebak sejak awal kalau customer barunya ini bukanlah orang yang ramah. Elina tidak merespons lagi ucapan Ujang. Terserahlah pria itu akan menyebutnya apa. Ia tidak peduli. Baru saja berbalik hendak masuk ke rumah, seseorang kembali menyapanya. "Permisi." "Mau ngapain lagi sih kamu?!" ucap Elina setengah berteriak sembari berbalik. Elina tidak menemukan sosok Ujang di hadapannya. Ya, yang barusan memanggilnya bukan Ujang, melainkan pria lain yang lagi-lagi asing bagi Elina. Bedanya pria ini lebih muda dan sedikit tampan. Entah siapa lagi yang pasti Elina malas berhadapan dengan sales lagi. Cukup sales buble wrap yang membuatnya kehilangan mood pagi ini. "Mau nawarin apa lagi? Saya nggak minat." Elina kemudian benar-benar masuk dan menutup pintunya dengan keras. Ini sungguh menyebalkan. "Ma-maaf, saya bukan...." Elina masih bisa mendengar pria itu berbicara hanya saja informasi yang disebutkan tidak bisa terdengar jelas. Elina tetap tidak peduli dan lebih memilih mengunci pintu dan bergegas ke kamar mandi. Yang terpenting sekarang Elina harus mandi. Ya, mandi adalah cara terbaik untuk menghilangkan rasa kesal, lelah, penat dan lain-lain. Sejak dulu Elina memang begitu, jika ia ingin mood-nya lebih baik maka pilihannya adalah mandi, berendam dan keramas. Guyuran air di kepala dan seluruh tubuhnya akan membantu membuatnya kembali rileks dan bersemangat. Mamanya, dan sales buble wrap bahkan mungkin bisa jadi yang terakhir adalah sales panci ... mereka bertiga benar-benar membuat Elina kesal pagi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD