Damien sulit ditebak. Ia tak pernah kasar, tapi juga tak hangat. Tidak pernah meninggikan suara, tapi ucapannya bisa menekan orang lain tanpa perlu nada tinggi. Semua orang seperti menyesuaikan ritme napas saat ia lewat.
Belakangan, ada perubahan kecil yang membuat Seraphina curiga. Ia tetap pendiam dan tegas, tapi beberapa tindakannya tak sejalan dengan wajah datarnya.
Seperti pagi itu.
Saat Seraphina sedang di ruang data rumah sakit, mengarsipkan dokumen hasil uji donor organ. Ia berdiri terlalu lama, tubuhnya lelah dan kepala berdenyut. Ia menyandarkan tangan ke meja, berusaha tetap fokus, tapi pandangannya mulai kabur.
“Duduk.”
Suara itu datang tiba-tiba dari belakang. Tenang, datar, tapi memberi kesan bahwa itu bukan permintaan.
Seraphina menoleh, dan mendapati Damien berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan jas lab putih yang tidak pernah tampak kusut, satu tangan menyodorkan botol air, tangan lainnya memegang blister tablet kecil.
Seraphina mengerjap kaget. “Aku... aku tidak apa-apa.”
“Tidak terlihat begitu,” katanya pelan.
Seraphina ragu, tapi akhirnya mengambil air dan obat itu. “Terima kasih.”
Ia duduk perlahan di kursi terdekat. Jantungnya masih berdebar, entah karena rasa pusing atau karena kehadiran Damien yang terlalu dekat.
Damien kembali ke meja, membuka laptop, dan mulai mengetik tanpa sepatah kata pun. Tapi bagi Seraphina, momen itu terasa berbeda.
Ia melirik Damien. Wajahnya dingin, rahang tegas, mata fokus ke layar. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Melainkan detik tadi, saat Damien memperhatikannya lebih dulu daripada siapa pun di ruangan itu.
Ia bukan pria yang suka basa-basi. Bahkan, mungkin tak tahu cara melakukannya. Tapi ia memperhatikan.
Saat mata mereka akhirnya bertemu, hanya sepersekian detik, Damien langsung mengalihkan pandangannya. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, seolah keheningan tadi tidak pernah terjadi.
Seraphina menatapnya dalam diam.
Ada sesuatu yang salah. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang manusiawi di balik kedinginannya. Sebuah retakan kecil yang mungkin sengaja tidak ia perbaiki.
***
Malam itu, rasa curiga yang terus menggantung di kepala Seraphina akhirnya mendorongnya untuk bertindak.
Damien belum pulang sejak sore. Lauren juga tak terlihat. Rumah terasa sunyi, hanya suara jam dinding dan dengung lembut pendingin udara yang terdengar samar dari lorong.
“Kalau memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa rasanya seperti ada yang ditutup-tutupi?” pikir Seraphina.
Ia berdiri di ambang tangga, menatap ke bawah, ke lantai satu, tempat ruang kerja Damien berada. Biasanya ruangan itu selalu tertutup rapat. Tapi malam ini, saat ia berjalan mendekat dengan langkah pelan, ia melihat hal yang jarang terjadi, pintunya tidak terkunci.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya dingin.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada siapa pun, lalu mendorong pintu perlahan. Derit engselnya membuat bulu kuduknya berdiri.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja di pojok ruangan. Cahaya hangat memantul di permukaan meja kayu mahoni yang bersih dan tersusun rapi. Tapi satu hal menarik perhatiannya, salah satu laci terbuka sebagian.
Ia menutup pintu di belakangnya. Lalu melangkah ke meja itu. Laci yang terbuka memamerkan sudut berkas putih dengan namanya tercetak jelas:
Seraphina Rivers.
Tangannya gemetar saat menarik berkas itu keluar. Lembar demi lembar dokumen medis tersusun rapi, hasil pemeriksaan darah, MRI, laporan uji kecocokan organ. Semua diberi stabilo merah dan catatan tangan dengan tulisan Damien.
“Apa semua ini sudah disiapkan jauh sebelum aku tahu apa-apa?”
Ia membalik ke halaman terakhir. Sebuah diagram ginjal. Dan di bawahnya, sebuah lingkaran tebal dengan tulisan “100% compatible.”
Napasnya tercekat.
Matanya membeku pada satu halaman lain. Foto dirinya saat masih dirawat di rumah sakit, tampak lemah, pucat, dengan alat bantu napas. Tapi foto itu bukan dari sudut pandang medis. Sudutnya seperti seseorang yang berdiri di balik tirai.
“A-apa maksudnya ini?”
Tangannya mulai berkeringat.
Lalu ia melihat sebuah map hitam di bawah tumpukan dokumen. Tertera inisial kecil di pojok kanan atas.
C.L.V.
Tangannya baru hendak membuka, namun suara langkah kaki terdengar dari lorong.
“Jangan pernah menyebut nama itu di rumah ini.” Terdengar sayup suara perempuan, datar, dingin. Seraphina tak yakin itu nyata, atau hanya gema dari pikirannya yang kalut.
Refleks, Seraphina menutup berkas dan menyelipkannya ke dalam laci. Tapi map hitam masih di tangannya.
Gagang pintu bergerak.
Ia langsung menyelinap ke sisi lemari buku tinggi di dekat jendela. Cahaya lampu meja redup, cukup memberi celah bayangan untuk bersembunyi.
Pintu terbuka.
Langkah seseorang masuk. Tapi hanya setengah tubuh yang terlihat dari celah.
Itu bukan Damien.
Itu Lauren.
Ia melangkah masuk. Matanya menyisir ruangan. Mengernyit sesaat ke arah meja, lalu menghampiri laci Damien yang baru saja ditutup Seraphina.
Seraphina membeku. Nafasnya tertahan di tenggorokan.
Lauren menyentuh laci itu. Diam. Tapi tidak membukanya. Ia hanya berdiri di sana selama beberapa detik, lalu menghela napas pelan.
“Bodoh,” gumamnya. “Jangan ceroboh seperti ini, Damien.”
Kemudian ia berbalik, berjalan keluar, dan menutup pintu.
Butuh waktu hampir semenit sebelum Seraphina berani bergerak. Ia meletakkan map C.L.V. ke tempat semula, merapikan posisi kertas seadanya, lalu melangkah keluar dengan hati-hati.