Chapter: 08

1106 Words
Damien menatap layar ponselnya yang gelap, rahangnya mengeras. Di balik raut wajahnya yang selalu tenang, pikirannya berpacu. Ancaman itu bukan hanya gertakan. Tuan Vale tahu sesuatu, atau setidaknya mencurigainya. Jika ayah Celine sampai menemukan keberadaan Seraphina, segalanya akan hancur. Termasuk rencananya untuk membalikkan situasi. Damien membuka laci di ruang kerjanya dan menarik keluar map hitam bertuliskan inisial C.L.V. map yang semalam berpindah tempat. Ia menyadarinya segera. “Dia sudah tahu cukup banyak.” Damien memejamkan mata sejenak, lalu membuka layar komputer dan memasukkan kata sandi. Beberapa berkas terbuka, data transplantasi, riwayat donor, dan laporan hasil observasi terbaru tentang kondisi Celine. Semua sudah diubah oleh Marcus. “Permainan ini tidak akan bertahan lama.” Sementara itu, Seraphina duduk sendiri di taman belakang yang ada di rumah saki, tempat kecil yang biasanya membuatnya tenang. Tapi hari ini, udara terasa berat. Ia kembali ke rumah sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan tambahan. Dokumen medis dengan nama dan organ tubuhnya masih membekas jelas dalam ingatannya. Dan ucapan Lauren malam tadi terus menggaung di kepalanya. “Kalau kau banyak bertanya, seseorang bisa menggantikanmu. Jangan lupa itu.” Di sisi lain, Seraphina kembali ke rumah sakit, untuk melakukan prosedur lanjutan atau pemeriksaan kesehatannya, itu yang dijelaskan Damien kepada dirinya. Tangannya mencengkeram sandaran kursi. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa seperti bukan manusia, melainkan sesuatu yang bisa ditukar kapan saja. Ia bersandar di kursi yang ada di taman, seolah menerka akan jadi seperti apa hidupnya di tangan Damien. Langkah pelan mendekat, lalu berhenti di sampingnya. Suara pria terdengar tenang, penuh kehati-hatian. “Tempat ini memang sering jadi pelarian mereka yang sedang ingin bernapas.” Seraphina menoleh perlahan. Seorang pria dengan jas dokter berdiri di sana, sorot matanya teduh. “Maaf, aku belum sempat memperkenalkan diri,” katanya sambil duduk di bangku sebelah, menjaga jarak sopan. “Aku Marcus. Salah satu dokter senior di sini. Kadang juga asisten Damien kalau dia sedang kewalahan.” Seraphina mengangguk pelan. “Seraphina…” “Ya, aku tahu.” Marcus tersenyum hangat. “Kami semua tahu. Kau pasien yang... sangat penting.” Nada itu membuat Seraphina semakin tidak tenang, meski Marcus terdengar tulus. Ia menatap taman di depannya, menimbang kata-kata. “Apa tempat ini selalu seperti ini?” tanyanya pelan. “Tenang di luar, tapi... tidak bisa dipercaya di dalam?” Marcus tertawa kecil, bukan mengejek, tapi penuh pengertian. “Kau bukan yang pertama merasa begitu. Dunia medis, kadang, menyimpan banyak rahasia, terutama ketika nyawa seseorang dipertaruhkan.” Ia menatapnya lebih lembut. “Kau menemukan sesuatu, bukan?” Seraphina ragu, tapi akhirnya berkata, “Dokumen. Tentang prosedur yang tak pernah dijelaskan padaku. Dan orang-orang di sini tidak memberi jawaban yang jelas.” Marcus mengangguk perlahan, seolah ia sudah menduganya. “Aku tidak bisa banyak bicara, Seraphina,” ujarnya, nada suaranya menurun menjadi bisikan yang nyaris rahasia. “Tapi kau berhak tahu satu hal: Damien bukan pria yang terlihat di permukaan. Ia pintar, sangat berkuasa dan tahu cara membuat orang percaya padanya.” Seraphina menoleh. “Maksud Anda?” Marcus menatap matanya. “Berhati-hatilah. Dia bisa sangat meyakinkan. Tapi itu bagian dari permainannya.” Ia kemudian bangkit, menepuk bahunya dengan perlahan. “Kalau kau butuh bantuan atau hanya seseorang yang jujur, kau bisa datang padaku.” Dengan itu, Marcus pergi, langkahnya tenang, seolah tak meninggalkan luka. Tapi kata-katanya yang lembut namun ambigu telah membekas. Dan di balik tirai lantai dua, Damien berdiri kaku, menyaksikan adegan itu dari balik jendela. Tatapannya tajam. Diam. Seseorang baru saja menyentuh apa yang paling ingin ia lindungi. *** Malam menjelang, jam menunjukkan pukul sebelas lewat saat pintu kamar kerja Damien terbuka tanpa ketukan. Lauren melangkah masuk, sepatu hak tingginya menjejak marmer dengan irama pasti. Gaun hitamnya pas membalut tubuh, formal, tapi berani, dengan belahan tinggi di paha dan potongan leher yang sedikit lebih rendah dari batas protokol seorang asisten pribadi. Damien sedang berdiri membelakangi pintu, menyesap wine dari gelas kristal, memandangi taman kosong dari balik jendela. “Dokumen dari Tuan Vale,” ucap Lauren dingin, meletakkan map di meja tanpa menunggu persetujuan. Damien tidak menoleh, tapi suaranya terdengar pelan dan dalam, dengan nada menggoda yang samar. “Kau selalu datang di saat yang paling tepat, Lauren.” Lauren tak menjawab. Hanya berdiri tegak di dekat meja, memeluk tubuh dengan satu tangan, sambil menatap punggung tegap pria itu, angkuh, dan terlalu tenang untuk seseorang yang sedang diburu waktu. Damien akhirnya berbalik, menatap Lauren dari atas ke bawah. Sekilas senyum terbit di sudut bibirnya, bukan karena dokumen, tapi karena wanita di hadapannya. “Gaun itu, bukan seragam yang biasanya kau pakai,” gumamnya sambil melangkah perlahan ke arah meja, lalu duduk santai di kursinya. “Kau berharap aku tidak fokus malam ini?” Lauren mengangkat alis sedikit. “Kalau Tuan tidak fokus hanya karena sedikit belahan leher, mungkin kita semua memang sudah tamat.” Damien tertawa kecil. “Touché.” Ia membuka map, membaca cepat. Ekspresinya berubah dingin seiring matanya menelusuri isi surat. “Tuan Vale memberimu waktu tiga minggu,” Lauren mengulang dengan nada serius. “Kalau Seraphina masih ada di rumah ini setelah itu, kita semua selesai.” Damien menyandarkan punggung, menyatukan ujung jari-jarinya seperti seorang pria yang tengah merencanakan sesuatu. “Biarkan aku yang urus semuanya.” Lauren tidak segera menjawab. Ia melangkah mendekat, duduk di pinggir meja, menyilangkan kaki, sengaja membiarkan sedikit bagian pahanya terlihat. Tapi nadanya tetap profesional. “Jangan main api, Tuan. Aku tahu bagaimana kau suka menyentuh masalah dengan caramu sendiri. Tapi kali ini... ini bukan hanya tentangmu.” Tatapan mereka bertemu. Tegang, tapi mengandung sesuatu yang lebih. Damien mencondongkan tubuh, tangannya menyentuh ringan pergelangan tangan Lauren. “Aku selalu menghargai peringatan dari orang yang pintar. Tapi kau tahu, Lauren... terkadang, bahaya adalah satu-satunya alasan yang membuat malam terasa hidup.” Lauren menahan napas sejenak. Bukan karena sentuhannya, tapi karena dia tahu, di balik senyum Damien, selalu tersembunyi niat lain yang lebih dalam, dan lebih gelap. “Bahaya bisa menyenangkan, Tuan,” katanya pelan. “Sampai ia membunuhmu.” Damien kembali bersandar, melepaskan genggaman tangannya. Ia menatap ke jendela, pada taman yang masih diselimuti malam. “Jangan khawatir,” katanya tenang. “Aku tidak akan mati sebelum tahu apa sebenarnya yang ada di dalam tubuh gadis itu.” Lauren berdiri, meluruskan gaunnya. “Dan setelah kau tahu?” “Setelah itu,” ujar Damien dengan nada datar, “kau tahu sebaik apa aku menutup semua cerita.” Lauren menatapnya satu detik lebih lama daripada yang seharusnya, lalu berjalan keluar ruangan. Saat pintu tertutup, Damien kembali memandangi kegelapan. Dalam pikirannya, satu nama terus berputar: Seraphina. Ia bukan siapa-siapa. Bukan kekasih. Bukan korban. Hanya sebuah puzzle, sebuah komponen kecil dalam misteri besar yang bisa menyelamatkan satu-satunya wanita yang pernah benar-benar mengikatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD