Chapter: 03

946 Words
Lauren berdiri tegak, kedua tangannya terlipat rapi di depan tubuh. Wajahnya tampak tenang, tapi dari sorot matanya terlihat ia memilih kata-kata dengan sangat hati-hati. Ia menundukkan kepala sedikit, lalu berkata pelan, “Tuan Vale masih belum memberikan izin. Dia tetap menolak kunjungan, bahkan dari Anda.” Damien tidak langsung merespons. Rahangnya mengencang. Ia menutup mata sebentar, seperti menahan sesuatu yang hendak pecah dari dalam. Sebuah napas berat keluar perlahan dari hidungnya, menggema pelan di ruang kerja yang sepi dan terlampau rapi itu. Udara menjadi lebih berat. Diam yang melingkup terasa seperti lapisan es tipis yang sewaktu-waktu bisa retak. Lalu, tanpa sepatah kata pun, Damien menarik kursinya dan duduk. Tangan panjangnya terlipat di atas meja. Tatapannya menusuk lurus ke arah Lauren. “Katakan pada mereka…” ucapnya akhirnya. “…aku sudah mendapatkan donor yang cocok.” Lauren membatu sejenak. Matanya membesar sedikit, tidak percaya atas yang baru saja ia dengar. Ia mencoba menjaga posturnya tetap profesional, meski bibirnya sempat terbuka, ragu untuk bicara. “Tapi... Tuan,” ucapnya pelan, “Hasil pemeriksaan Nona Seraphina belum sepenuhnya stabil. Masih ada beberapa,” “Aku tidak menyuruhmu untuk mempertanyakan,” potong Damien cepat. Nada suaranya tajam, seperti baja yang baru diasah. Ia sudah berdiri dari kursinya sebelum Lauren sempat menyelesaikan kalimatnya. Gerakannya masih tenang, tapi ada tekanan dalam caranya berdiri. Tegas, dan dominan. Seolah satu kata darinya cukup untuk mengakhiri semua perdebatan. Lauren menelan ludah diam-diam. Untuk sesaat, tidak ada suara selain detak jarum jam dan dengungan samar dari lampu gantung di atas mereka. Dan atmosfer di ruangan itu berubah. Lebih sunyi, dan lebih berbahaya. Tanpa aba-aba, tangan Damien terangkat dan mencengkeram dagu Lauren. Gerakannya tidak kasar, namun cukup kuat untuk membuat wanita itu membeku di tempatnya. Kepalanya terangkat sedikit oleh sentuhan itu, memaksa matanya bertemu dengan tatapan pria di depannya. Lauren menegang. Napasnya memburu, terjebak di tenggorokan. “Saya minta maaf, Tuan…” suaranya pelan, nyaris bergetar. Ada nada panik yang ditekan. “Saya... saya tidak bermaksud meragukan Anda...” Damien tidak menjawab. Dan ia pun tidak melepaskannya. Sebaliknya, tangan kirinya ikut bergerak, dengan tenang namun penuh kendali melingkari pinggang Lauren, gerakan yang membuat tubuh mereka terhimpit tanpa celah. d**a Lauren menyentuh perut rata nan kekar milik Damien. Nafasnya tersangkut, dan seketika suhu tubuhnya terasa melonjak, meski ruangan itu dingin. Jarak di antara mereka menjadi nyaris tidak ada. Damien mendekat. Sangat dekat. Wajahnya meluncur perlahan, lalu berhenti hanya beberapa sentimeter dari telinga Lauren. Napasnya hangat dan stabil, mengusap lembut kulit di dekat leher wanita itu. Ia menyibak helaian rambut yang jatuh ke pipi Lauren. “Jangan pernah ragukan aku lagi, Lauren,” bisiknya. “Bahkan dalam pikiranmu.” Lauren memejamkan mata sejenak. Tubuhnya tidak bergerak, tapi seluruh indranya terasa siaga. Ia bisa mencium aroma Damien, paduan maskulin, sedikit antiseptik, dan entah kenapa memabukkan. Cengkeraman Damien di dagunya mulai melonggar, namun tidak demikian dengan lengannya di pinggang. Ia tetap menahannya di sana, menjaga tubuh Lauren tetap rapat padanya. Seolah ia ingin memastikan pesan itu tidak hanya tertanam di kepala Lauren, tapi juga tubuhnya. Namun sesuatu berubah. BRAK! Keduanya menoleh refleks ke arah pintu. Lauren langsung menjauh dengan cepat, seolah baru sadar seberapa dekat jarak mereka barusan. Damien tidak bergerak, hanya matanya yang tajam menatap sosok di balik ambang pintu. Seraphina berdiri mematung di lorong. Wajahnya pucat, mata membelalak. Satu tangannya masih menggenggam setengah bingkai foto kecil yang entah bagaimana jatuh dari meja samping lorong. Jantungnya berdetak terlalu kencang, hingga rasanya bisa terdengar oleh siapa saja. Ia tidak mendengar percakapan apapun. Tapi ia melihat. Dan yang dilihatnya cukup untuk membuat napas tercekat dan pikirannya disergap tanya, sekaligus ketakutan samar yang belum berani diakui. Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba. Lauren keluar dengan langkah cepat, wajahnya masih tegang. Seraphina spontan bersuara, tergagap, “Maaf... aku tidak sengaja...” Lauren menghentikan langkahnya. Matanya menatap lurus ke arah Seraphina. “Kau mendengar sesuatu?” tanyanya akhirnya. Suaranya tidak keras. Tapi dingin, datar, dan mengandung nada yang membuat bulu kuduk berdiri. Seraphina menggeleng cepat. “Tidak! Aku... aku cuma ingin mengucapkan terima kasih kepada Dokter Damien. Itu saja. Aku tidak bermaksud mengganggu atau, atau melihat yang aneh-aneh. Aku bahkan... aku bahkan akan melupakan semuanya. Aku bersumpah.” Lauren menyipitkan mata, ekspresinya berubah menjadi lebih waspada. “Melupakan apa, tepatnya?” tanyanya tajam. “Kau bilang tidak melihat atau mendengar apapun, tapi kau bersumpah akan melupakannya. Kedengarannya bertentangan.” Seraphina membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Hanya udara dan kegugupan. “Aku hanya, aku hanya melihat kalian… dekat,” ucapnya akhirnya. “Tapi aku tidak tahu apa-apa. Sumpah.” Lauren melipat tangan di depan d**a, menatap gadis itu seperti sedang menilai apakah Seraphina berbohong atau tidak. “Dengar baik-baik,” katanya pelan. “Apapun yang kau lihat atau pikir kau lihat, tidak ada hubungannya denganmu. Dan akan lebih baik jika kau tidak mengulangnya kepada siapa pun.” Seraphina mengangguk panik. “Iya. Aku tidak akan bilang ke siapa-siapa. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku, aku cuma mau bilang terima kasih. Itu saja. Aku tidak sengaja lewat sini.” “Tapi kau lewat sini,” potong Lauren, nadanya menusuk. “Padahal koridor ini seharusnya tidak kau lewati. Rumah ini besar, Nona Seraphina. Tapi tempatmu, bukan di dekat ruang kerja Tuan Damien.” Seraphina menunduk, merasa dirinya sekecil debu. Lauren mendekat satu langkah, cukup untuk membuat Seraphina mundur refleks. “Jangan berkeliaran sembarangan di rumah ini,” ucapnya datar. “Kecuali kau ingin menyesal. Rumah ini mungkin tampak tenang. Tapi percayalah, tidak semua pintu di sini aman untuk dibuka.” Seraphina membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Tanpa menunggu tanggapan, Lauren berbalik, langkah sepatunya bergema tajam di lantai marmer koridor. Dan Seraphina hanya berdiri di sana, sendiri, sambil memegang bingkai foto rusak di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD