Rasa dingin dari lantai marmer belum juga hilang saat Seraphina akhirnya kembali ke kamarnya malam itu. Ia memeluk dirinya sendiri, bingkai foto yang retak masih tertinggal di sudut meja. Ancaman samar dari Lauren terus berputar di kepalanya.
‘Tidak semua pintu di sini aman untuk dibuka.’
Kalimat itu menancap dalam, bukan hanya sebagai peringatan, tapi juga sebagai isyarat bahwa rumah ini menyimpan rahasia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Malam itu, ia mencoba tidur. Tapi matanya tak mau terpejam.
Bayangan wajah Damien… sentuhan yang seharusnya tak terjadi… dan tatapan Lauren yang dingin, semuanya menumpuk jadi satu dalam pikirannya yang tak bisa tenang.
Keesokan paginya, suara ketukan pelan membangunkannya.
“Nona Seraphina, sarapan sudah disiapkan,” ucap salah satu staf dari balik pintu.
Seraphina menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Meski tubuhnya terasa berat, ia tidak ingin terlihat lemah, terutama di rumah yang tampak seperti istana namun menyimpan begitu banyak kegelapan.
Tangga marmer masih sunyi saat ia menuruni satu per satu anak tangganya. Tapi saat sampai di ruang makan, jantungnya seolah melompat ke tenggorokan.
Damien sudah duduk di sana.
Rambutnya rapi, wajahnya tenang. Ia tampak seperti pria yang tak terpengaruh apapun, membaca koran pagi di tangan kanan sambil menyesap kopi dengan tangan kiri. Tidak ada tanda-tanda kekacauan emosi, tidak juga rasa bersalah. Hanya ketenangan yang membuat Seraphina makin gugup.
Ia mendekat dengan hati-hati. “Dokter Damien… maaf soal kejadian tadi malam, saya, ”
Kalimatnya dipotong.
“Duduk,” ucap Damien datar, bahkan tanpa menoleh. “Mulai hari ini dengarkan semua instruksi dari para staf. Termasuk Lauren.”
Seraphina menggigit bibir bawahnya. Ingin menjelaskan, tapi tak ada celah.
Damien menurunkan berkas dan akhirnya menatapnya.
“Makanlah,” ucapnya singkat.
Namun Seraphina menahan napas dan memberanikan diri berbicara, meski suaranya nyaris tenggelam oleh denting peralatan makan.
“Aku… aku minta maaf atas kejadian semalam. Aku tidak bermaksud lancang atau membuat masalah,” katanya pelan. “Aku janji tidak akan mengulangi hal seperti itu lagi.”
Damien tak langsung menjawab. Tatapannya tetap menusuk, seolah menilai apakah kata-kata itu tulus atau hanya kepanikan.
Akhirnya, ia mengalihkan pandangan kembali ke berkas di tangannya. “Pastikan kau menepatinya.”
Tak ada nada ancaman, tapi dinginnya cukup untuk membuat Seraphina merasa seperti es yang mencair perlahan.
Meja makan itu terasa terlalu panjang dan terlalu sunyi. Hanya denting sendok dan piring yang menjadi suara.
Setelah menyelesaikan makan dengan canggung, Seraphina meremas jemarinya di pangkuan. Rasa mual di perutnya bukan berasal dari makanan, melainkan dari tekanan suasana yang menggantung berat sejak ia duduk di meja itu.
Ia melirik Damien yang masih fokus pada berkas-berkasnya, ekspresi wajahnya nyaris tak berubah sejak awal, dingin, profesional, dan tak memberi ruang untuk kedekatan.
Seraphina menarik napas pelan, berusaha mengumpulkan keberanian. “Ada satu proyek freelance…” Suaranya sedikit bergetar. “Saya perlu menyerahkan revisi ilustrasi ke klien hari ini. Hanya sebentar, saya janji akan langsung kembali.”
Damien tidak langsung menoleh. Ia tetap membalik halaman di tangannya, seolah menimbang sesuatu di pikirannya. Kemudian, tanpa mengangkat kepala, ia menjawab
“Kau boleh pergi. Tapi gunakan sopir dari rumah. Jangan pergi sendirian.”
Suara itu tenang, tapi tidak memberi ruang untuk negosiasi.
Seraphina mengangguk kecil. “Baik.” Ia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.
Namun dalam hatinya, ada satu kenyataan yang terasa mengeras seperti batu:
Ia memang diperbolehkan pergi, tapi hanya dengan syarat. Hanya dengan pengawasan.
Geraknya diatur. Kepergiannya harus dilaporkan. Keputusannya harus disetujui. Bahkan urusan sederhana seperti menyerahkan hasil kerja, sesuatu yang dulu menjadi sumber kebanggaannya, kini terasa seperti permohonan izin di hadapan penjaga.
Ia bukan tawanan. Tapi ia juga bukan orang bebas.
Kebebasannya tinggal nama. Yang tersisa hanyalah formalitas yang dibungkus dalam kesopanan.
Dan Seraphina mulai menyadari, rumah ini, sebesar dan semewah apapun, bukanlah tempat yang bisa ia anggap aman. Ia hidup dalam batas, diawasi, dan ditahan oleh sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
*****
Sore harinya, rumah sakit berjalan seperti biasa, penuh dengan langkah tergesa staf medis, suara mesin monitor yang berdetak ritmis, dan aroma antiseptik yang tajam memenuhi udara.
Namun di lantai paling atas, di balik pintu berlabel Dr. Damien Thorne, atmosfer terasa berbeda.
Hening. Padat. Tegang.
Damien berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Dari sana, ia bisa melihat langit Virelia yang mulai berubah warna, senja perlahan merambat, menyelimuti kota dengan cahaya tembaga yang pucat.
Di tangannya tergenggam selembar laporan pasien, tapi isi tulisan tak lagi terbaca. Pikirannya melayang, bukan pada pasien, bukan pada rumah sakit. Tapi pada sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Ponselnya bergetar pelan.
Ia melihat nama di layar dan menjawab tanpa ekspresi. “Ya.”
Dari seberang, suara pria tua terdengar, datar, tapi penuh tekanan. “Lauren bilang kau sudah menemukan calon donor. Apa dia bisa dipercaya?”
Damien diam sejenak sebelum menjawab. “Itu bukan urusan Lauren,” katanya pelan. “Pertemukan aku dengan Celine dulu.”
“Jangan coba-coba mengatur kami, Damien,” sahut Tuan Vale, suaranya meninggi. “Kau di posisi ini karena perjanjian. Jangan lupakan siapa yang…”
“Justru karena itu aku ingin melihatnya,” potong Damien dingin. “Sudah cukup lama aku bermain dengan data medis dan janji-janji kosong. Aku ingin bertemu langsung. Aku ingin melihat sendiri.”
Suara di seberang hening beberapa detik.
Lalu terdengar dengusan tajam. “Kau tahu konsekuensi dari sikapmu sekarang?”
Damien tak goyah. Matanya menatap lurus ke arah jendela.
“Setelah aku bertemu Celine, baru kita bicara soal kesepakatan. Bukan sebelumnya.”
Dan tanpa menunggu tanggapan, ia menekan tombol merah di ponsel. Sambungan terputus.
Damien tetap berdiri di tempatnya, membiarkan keheningan mengambil alih ruangan. Di balik kaca jendela, kota Virelia tampak sibuk dan cepat, tapi di dalam ruang itu, waktu seolah membeku.
Ia mengepalkan tangan, menahan segala amarah dan kekecewaan yang nyaris meledak.
Malam itu bukan sekadar insiden. Itu adalah titik balik. Satu kesalahan kecil yang menguak celah dalam skema yang telah lama ia jalani, dan coba ia pertahankan.
Permainan ini jauh dari selesai.
Dan untuk pertama kalinya, Damien menyadari satu hal penting: ia bukan lagi sekadar pion dalam permainan keluarga Vale.
Ia sudah mulai menolak perintah.
Dan itu… berarti perang.
*****
“Terima kasih sudah mengantar,” ucapnya kepada sopir.
Pria paruh baya itu hanya mengangguk singkat, lalu kembali ke balik kemudi.
Langit Virelia mulai menggelap saat mobil hitam yang ditumpangi Seraphina berhenti di depan gerbang rumah. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung rendah, mengisyaratkan badai yang belum tiba, baik di langit maupun di dalam pikirannya.
Seraphina menatap fasad rumah yang megah di depannya. Dinding-dinding tinggi, jendela-jendela kaca lebar, dan keheningan yang terlalu sempurna, rumah ini indah, tapi terasa seperti museum atau penjara.
Ia melangkah masuk ke dalam. Hening. Hanya suara langkah sepatunya di atas lantai marmer.
Di lorong menuju ruang tengah, ia melihat salah satu staf rumah berjalan sambil membawa baki teh. Perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun, wajahnya bersih, seragamnya rapi.
Seraphina mencoba tersenyum dan menyapa. “Selamat sore, Nona.”
Staf itu hanya berhenti sejenak, menunduk sedikit tanpa menatap, lalu berjalan lagi. Tidak satu kata pun keluar dari bibirnya.
Seraphina menoleh, menatap punggung staf itu yang menjauh. Senyumnya menghilang, berganti dengan tarikan napas pelan.
“Ada apa… ” gumamnya lirih, seolah menanggapi keheningan yang menjawabnya.
Lorong terasa lebih dingin dari biasanya. Entah karena AC yang terlalu dingin, atau karena suasana yang memang sudah mengeras sejak pagi tadi.
Di ruang kerjanya, Damien duduk di balik meja dan matanya menatap laporan, namun pikirannya melayang. Ketukan di pintu memecah keheningan. Lauren masuk, membawa map tebal berisi hasil pemeriksaan tambahan.
“Ini data terbaru dari laboratorium,” ucap Lauren sambil meletakkan map berstempel rahasia di atas meja kayu gelap. “Semua indikator cocok. Kondisi fisik Seraphina cukup stabil untuk prosedur lanjutan.”
Damien tidak langsung menjawab. Ia mengambil map itu, membuka halaman demi halaman dengan cekatan. Suara kertas bergesekan jadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.
Lauren berdiri tegak, menunggu, tangannya menyatu di depan tubuh.
Setelah beberapa saat, Damien bertanya tanpa menoleh, “Dia sudah kembali?”
“Baru saja. Beberapa menit lalu,” jawab Lauren. “Sopir tidak melaporkan hal mencurigakan. Katanya, Seraphina hanya singgah sebentar di studio klien untuk menyerahkan ilustrasi.”
Damien menutup map dengan satu tangan. “Dia bicara dengan siapa saja?”
“Tidak. Hanya klien tetap. Ruangannya terbuka, tidak ada percakapan panjang. Saya sudah pastikan dari laporan CCTV dan rekaman suara.”
Damien mengangguk tipis. Lalu mendengus pelan, tak jelas apakah itu ekspresi puas atau tanda bahwa pikirannya justru makin waspada.
“Terus pantau dia,” katanya akhirnya. “Tapi jangan terlalu menekan. Jangan buat dia merasa seperti tahanan.”
Lauren menahan napas sejenak, lalu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Ia berbalik untuk pergi, tapi sebelum pintu ditutup sepenuhnya, suara Damien kembali terdengar.
“Dan Lauren… jika ada perubahan sekecil apa pun, aku ingin jadi orang pertama yang tahu.”
Lauren menoleh. “Tentu, Tuan Thorne. Tidak akan ada yang luput.”
Pintu menutup pelan di belakangnya. Dan Damien kembali sendiri, memandangi berkas di tangannya, bukan lagi sebagai Dokter, tapi sebagai seseorang yang tahu ia sedang bermain di atas medan berbahaya, di mana nyawa bisa jadi alat tukar.