Bab 4. Mendadak Jadi Tunangan Orang.

1210 Words
Tara datang ke Bandung mewakili orang tuanya menghadiri acara lelang untuk amal tanpa niat sedikitpun untuk mencari kekasih, apalagi tunangan. Sama sekali tidak terpikir. Setelah kejadian 2 tahun lalu, sebagian hatinya masih belum bisa melepas dengan ikhlas. Sampai beberapa saat lalu, masih ada sedikit harapan jika suatu saat pria itu akan kembali padanya. Sebesar itu dia pernah mencintai pria sederhana, namun mempesona bernama Alfatih yang ia beri panggilan sayang Ai. Tara masih sering membayangkan suatu saat bertemu lagi dengan pria itu. Lalu, kejadian seperti di drama-drama romantis yang dulu sering ia tonton benar-benar terjadi. Ia dan Alfatih saling menatap penuh kerinduan, kemudian mereka kembali bersama. Namun, ketika malam ini dia benar-benar melihat pria itu ada di depan matanya. Di Bandung, yang merupakan salah satu kota di Indonesia—negara yang ditinggalkan oleh Alfatih dan tidak akan pernah pria injak buminya lagi, Tara justru kecewa serta marah. Terlebih ketika dia mendapati pria itu tidak sendirian. Alfatih bersama seorang wanita. Parahnya lagi, Tara mengenal perempuan itu. Apa yang bisa Tara pikirkan saat melihat pria itu bersama perempuan lain, selain penghianatan? Pria itu ternyata tidak pernah mencintainya. Pria itu membohongi dirinya dengan mengatakan tidak akan pernah kembali ke Indonesia. Ternyata itu semua hanya alasan yang pria itu gunakan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka yang baru seumur biji kacang hijau. Benar-benar br*ngsek. Dia salah menilai sosoknya yang terlihat seperti laki-laki sholeh. Ternyata pria itu bermuka dua. Sekarang Tara paham--bukan itu alasan Alfatih memutuskan hubungan mereka 2 tahun lalu. Alasan sebenarnya karena pria itu memang tidak mencintainya. Harusnya Alfatih tidak perlu berbohong sehingga hatinya tidak memiliki harapan apapun. Sehingga ia tahu jika cintanya bertepuk sebelah tangan. Sehingga ia paham pria itu tidak layak untuknya. Bukan malah membuat hatinya begitu patah memikirkan kisah cinta yang terhalang benua. Tara bahkan sempat berpikir untuk menyusul pria itu ketika hendak mengambil gelar masternya. Beruntung dia tidak jadi melakukannya. Beruntung orang tuanya meminta agar ia mengambil S2 di Jakarta saja. Dan sungguh beruntung ia mengikuti permintaan orang tuanya. Karena masih memiliki sedikit harapan tersisa, selama 2 tahun terakhir Tara tidak berkeinginan memiliki hubungan baru. Karena dia sadar, dia belum selesai dengan cinta pertamanya. Lalu, malam ini tiba-tiba saja dia berstatus sebagai tunangan pria asing bernama Argantara Mahendra. “Tara! Sayang, kemarilah.” Bola mata Tara sontak bergerak ke sana kemari. Wanita itu menahan ringisan ketika menyadari semua tatapan kini terarah padanya. Apa yang pria itu lakukan? Tara merasakan jantungnya berdegup kencang. Apa yang harus ia lakukan sekarang? “Sayang, kemarilah. Aku akan memperkenalkanmu pada semua orang.” Tara merasa ludahnya tiba-tiba terasa begitu keras, hingga ia kesulitan hanya untuk menelannya saja. “Tara, itu cepetan ... kamu dipanggil pak Arga.” Windi melepas tangan Tara kemudian mendorong pelan tubuh Tara. Tara menoleh. Hembusan napas keluar dari sedikit celah bibir yang terbuka. Tatapannya terpaut sepasang mata pria masa lalunya. “Wah, jadi ternyata ahli waris keluarga pak Mahendra sudah punya tunangan. Pestanya tertutup, ya, Pak? Kami tidak diundang.” Suara yang terdengar cukup keras lantaran yang berbicara menggunakan mic, berhasil membuat Tara mengalihkan pandangan dari Alfatih. Tara menarik pelan napasnya seraya mulai mengayun kedua kakinya. Berjalan dengan anggun di bawah tatapan banyak pasang mata. Seorang pria dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih terlihat menekan katupan rahangnya. Bayu Mahendra—ayah kandung Argantara Mahendra, menatap tajam punggung sang putra. “Apa maksud Arga dia sudah punya tunangan? Siapa perempuan itu, Pa?” Seorang wanita dengan pakaian dan dandanan ala sosialita, berbisik di telinga Bayu Mahendra. Perempuan itu menatap tak suka sosok perempuan muda yang kini sedang berjalan ke arah panggung. Beberapa kali Tara menarik pelan namun panjang napasnya, sementara sepasang kakinya bergerak menghampiri sosok pria gagah tampan yang jika semakin Tara perhatikan, pesona pria itu semakin mematikan. Pria itu memang tersenyum, tapi, Tara justru merasakan aura dingin yang terpancar dari ekspresi wajah pria tersebut. Hela napas panjang Tara lakukan begitu kakinya berhenti melangkah. Tara berdiri berhadapan dengan pria beraura dingin itu. Sepasang mata Argantara mengecil ketika dua sudut bibirnya bertambah melengkung ke atas. Dengan membawa kalung berhias berlian tersebut, Argantara menarik beberapa langkah ke depan. Menatap lekat wanita cantik yang kini berstatus sebagai tunangannya sebelum kemudian berjalan ke belakang tubuh Tara. Argantara memakaikan kalung ke leher yang sudah berhias mutiara putih. Tatapan semua orang tertuju pada keduanya. Banyak yang menatap dengan senyum di bibir, namun ada juga yang menatap tidak suka. “Beruntung sekali Tara. Memang benar. Orang kaya pasti ketemunya orang kaya. Iya, kan, Beb?” tanya Windi di ujung kalimat. Wanita itu menatap iri teman masa sekolahnya yang baru saja menerima hadiah kalung mahal dari tunangannya. Alfatih membelah sepasang bibirnya. Hembusan karbondioksida keluar dari celah bibir tersebut. Siapa sangka dia akan bertemu lagi dengan perempuan itu. Dua tahun. Gadis itu kini sudah berevolusi menjadi seorang wanita dengan penampilan yang tentunya berkelas. Wajah cantiknya terlihat semakin cantik seiring kedewasaan sang gadis yang bertambah. “Kok malah bengong, sih? Tara emang cantik. Gimana mau tidak cantik, kalau uang dia itu tidak berseri. Saking banyaknya. Zaman sekarang mau cantik gampang, tinggal punya uang berapa.” Windi menatap kesal kekasihnya. Dia melihat kemana arah tatapan Alfatih tertuju. Ke arah Mutiara. “Oh ….” “Oh? Cuma … oh?” tanya Windi sebelum berdecak pelan. Wanita itu meraup sebanyak mungkin oksigen masuk untuk mengembangkan paru-parunya yang terasa menyempit. Suara tepuk tangan terdengar menggema, memenuhi ruangan besar ballroom sebuah hotel yang menjadi tempat diadakannya acara amal para pengusaha. “Sekali lagi saya mewakili semua yang berada di sini mengucapkan selamat atas pertunangan kalian. Jangan lupa kami diundang saat pesta pernikahan kalian nantinya.” Pria yang mengatur jalannya lelang itu tersenyum. “Bagaimana kabar bapak Hutama dan ibu?” Pria itu mengalihkan perhatian pada Tara. “Katanya ibu Hutama sedang tidak enak badan, makanya yang datang putrinya.” Tara menggerakkan kepala turun naik, membenarkan apa yang pria itu katakan. “Iya. Mama sedang tidak enak badan.” “Semoga ibu Hutama segera sembuh.” “Terima kasih.” Tara menarik kedua sudut matanya. “Silahkan. Sekali lagi selamat atas pertunangan kalian. Kabar yang sangat bagus.” Pria dengan setelan jas berwarna hitam itu kemudian mempersilahkan Tara dan Argantara untuk turun. Argantara mengangkat tangan kanan sambil menoleh ke samping. Tara yang paham langsung menyelipkan tangan kiri ke siku Argantara. Keduanya berjalan menjauh. Keduanya terlihat serasi. Cantik dan tampan. “Baiklah. Sekarang kita akan lanjutkan acara lelangnya. Yang berikut ini guci yang sudah berusia 200 tahun, akan kita lelang dari harga 50 juta. Silahkan.” Sementara para tamu sedang fokus pada barang yang dilelang, Tara berjalan bersama Argantara ke belakang panggung. “Akan kukembalikan kalungnya nanti,” ucap pelan Tara, tidak berharap ada telinga lain yang mendengar, kecuali Argantara. “Hmmm ….” Argantara menggumam sama pelan. Menarik lepas tangan kiri dari Argantara, Mutiara memutar langkah—berniat untuk kembali bersama tamu undangan lainnya, ketika pergelangan tangan kanannya tertahan. Refleks Tara menoleh—menatap pria yang mencekal tangannya hingga ia tidak bisa melanjutkan langkah menjauh. “Ada apa?” tanya Tara. Drama mereka seharusnya sudah selesai, batin Tara menatap bertanya pria yang masih menahan tangannya. Bukannya mendapat jawaban, beberapa detik berikutnya Tara justru tersentak ketika Argantara tiba-tiba menarik tangannya. Beruntung kedua kakinya bisa segera menyesuaikan langkah Argantara. Tara menatap bingung Argantara. “Mau keman—” “Sekarang kamu tunanganku. Jadi, kamu harus bertemu dengan papaku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD