Bab 5. Tiba-tiba Jadi Calon Istri.

1421 Words
Argantara Mahendra. Satu-satunya penerus kerajaan bisnis di bidang kesehatan milik keluarga Mahendra. Pria berusia 28 tahun, yang selama 15 tahun hidupnya dihabiskan di luar negeri. Kini ketika waktunya tiba untuk mengambil alih bisnis keluarga, ia kembali ke Indonesia untuk selamanya. Tepatnya tiga bulan yang lalu ia kembali dan menjabat sebagai direktur rumah sakit swasta terbesar di Jakarta, serta di beberapa kota besar lain di Indonesia. Argantara jelas lahir di keluarga kaya raya, namun hidupnya tidak semudah dan seindah yang orang-orang pikirkan. Orang tuanya bercerai sejak dia berusia 8 tahun. Sejak saat itu dia kehilangan sosok seorang ayah kandung. Beruntung dia masih memiliki kakek dari mamanya. Pria yang akhirnya mendidik Argantara secara militer. Karena dia memang seorang anggota militer di negaranya. Argantara tumbuh menjadi sosok yang tegas. Pria itu memiliki aura dingin namun memabukkan. Memiliki wajah perpaduan indonesia dan Inggris, membuat pesona pria itu tak terelakkan. Banyak wanita yang jatuh pada pesona Argantara. Namun, Argantara muda hanya mencintai satu perempuan. Teman masa kecilnya, yang kemudian bertemu kembali lima tahun lalu. Namira adalah wanita beruntung tersebut. Wanita yang kini berusia 27 tahun itu berhasil menjadi pemilik hati pria dengan sejuta pesona tersebut. Namira dan Argantara menjalin kisah asmara tiga tahun lalu. Mereka berencana untuk membawa hubungan tersebut ke jenjang pernikahan. Namun sayang, satu tahun yang lalu—ketika Argantara mengenalkan Namira pada keluarga papanya, pria itu dengan tidak punya hati menolak langsung di depan Namira. Membuat Namira tidak hanya sakit hati, namun juga membenci keluarga Argantara. Hubungan Namira dan Argantara menjadi renggang. Bayu Mahendra, pria tua kaya raya dengan arogansi tinggi itu sudah mempersiapkan calon istri untuk penerusnya. Perempuan itu tidak lain adalah keponakan istrinya--Ibu tiri Argantara, yang bernama Ayudia Bunga. Perempuan cantik yang baru saja menyelesaikan kuliah S1 nya. Dengan keegoisannya, Bayu Mahendra berencana untuk menikahkan sang putra dengan Ayu beberapa bulan lagi. Mereka sudah mulai menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan pesta pernikahan satu-satunya penerus keluarga Mahendra. Akan tetapi, sang putra tiba-tiba saja mengumumkan pertunangan dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. Di depan banyak orang, hingga membuatnya tidak bisa berkutik. Bayu Mahendra menekan-nekan keras katupan rahangnya. Pria itu menatap tajam sang putra, sementara tangannya sudah terkepal kuat. Amarah sudah menguasai d*da pria tua tersebut. Namun, situasi dan kondisi membuatnya harus menahan diri sekuat tenaga. Padahal dia sudah ingin meledakkan kemarahannya. “Di mana Arga mengenal perempuan itu? bagaimana dengan Ayu, Pa?” Istri Bayu Mahendra bertanya. Khawatir dengan nasib keponakannya. Dia tidak memiliki keturunan dengan Bayu Mahendra. Lebih tepatnya, pria yang menikahinya 15 tahun lalu itu tidak menginginkan keturunan darinya. Maka, satu-satunya jalan untuk mengamankan posisinya adalah dengan memasukkan salah satu keponakannya ke dalam keluarga Mahendra. 15 tahun bukanlah waktu yang singkat. Pada saat Bayu memberikan syarat itu sebelum mereka menikah, Sintya pikir tidak masalah. Dia yakin akan bisa membuat Bayu bertekuk lutut padanya, dan memohon keturunan darinya seiring berjalannya waktu. Karena anak pria itu tidak tinggal bersamanya. Namun, waktu terus berjalan dan Bayu tidak pernah merubah keputusannya untuk tidak lagi memiliki anak. Sekarang Sintya tidak lagi berharap. Apalagi usianya juga sudah semakin tua. Bayu tidak menjawab pertanyaan istrinya. Pria itu sedang berusaha mengatur emosi. Sepasang mata tajamnya mengikuti pergerakan sang putra yang kini berjalan ke arahnya dengan menggandeng tangan perempuan asing itu. Bayu Mahendra menekan lebih kuat sepasang gerahamnya, hingga kedutan terlihat di sekitar rahang yang ditumbuhi bulu-bulu yang cukup lebat, yang sebagian sudah berwarna putih. Tara berhenti mengayun kaki ketika tiba di depan sepasang pria dan wanita yang bisa langsung ia tebak adalah orang tua Argantara. Wanita itu melirik Argantara tidak lebih dari dua detik, lalu kembali meluruskan pandangan matanya. Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang menurutnya terpaut cukup banyak usianya dari sang laki-laki. Lipatan halus muncul di kening bungsu Hutama. “Sayang, perkenalkan. Ini papaku, Bayu Mahendra, dan istrinya.” Arga memperkenalkan dua orang yang berdiri di depannya, tanpa menyebut nama istri kedua papanya. Dia tidak memiliki hubungan baik dengan perempuan itu. Baginya perempuan itu adalah perempuan asing. Tara mengedip. Bola mata wanita itu sempat bergerak ke samping sebelum menatap pria tua di depannya lalu tersenyum tipis sambil mengulurkan tangan kanan. “Halo, Om … Tante. Saya, Mutiara Hutama. Papa saya tidak bisa datang karena mama sedang tidak enak badan. Saya datang mewakili mereka.” Bayu Mahendra terdiam. Pria itu tidak sama sekali menyambut tangan Tara yang menggantung di depannya. Bola mata pria itu bergerak hingga akhirnya bertemu dengan netra perempuan muda yang diperkenalkan sebagai tunangan oleh sang putra. “Mutiara Hutama? Aku belum pernah mendengar namamu. Siapa orang tuamu?” Bukan papa Argantara yang bertanya, melainkan … mama tiri Arga. Tara menarik turun tangannya. Sepasang bibir wanita itu berkerut. Tara menoleh ke arah wanita yang baru saja bersuara. “Ah … tentu saja. Saya juga merasa asing melihat Tante, dan Om.” Tara tersenyum. Wanita itu mengedarkan pandangan matanya. “Semua yang ada di ruangan ini terlihat asing, kecuali beberapa orang yang beberapa kali saya temui saat menemani orang tua saya ke acara seperti ini.” “Aku hanya bertanya siapa orang tuamu.” “Ya … benar. Saya hanya ingin sedikit berbasa-basi. Tapi sepertinya Tante tidak suka basa-basi.” Tara menoleh ke samping, menatap mendongak Argantara yang tingginya mungkin terpaut 20 cm dengannya. Sementara itu Argantara menatap tak suka istri papanya. “Saya putri bungsu Malaka Hutama. Mama saya bernama Kanaya Putri. Mama sering datang ke acara seperti ini. Seharusnya Tante mengenalnya jika Tante juga sering datang ke acara amal.” Tara meluruskan pandangan matanya. Wanita itu tersenyum sekali lagi. “Malaka Hutama?” Kali ini suara papa Argantara yang terdengar. Tara refleks menoleh. “Benar, Om. Saya tidak tahu apa Om mengenal papa saya. Tapi setidaknya orang-orang itu mengenalnya.” Tara mengedik ke arah beberapa pria yang berdiri bergerombol, terlihat sedang asyik berbincang. Tara menarik napas pelan. Sepasang mata wanita itu menelisik wajah dua orang di depannya yang kini diam. Dalam hati Tara mendesah. Merasakan aroma-aroma hubungan tidak harmonis antara anak dan orang tua. Beberapa saat hening hingga Argantara membuka sepasang bibirnya. “Aku akan segera menikahi Tara.” Kalimat yang meluncur dari bibir Argantara membuat tiga orang yang berdiri bersamanya terkejut. “Apa?!’ ‘UHUK! UHUk! Tara mendelik beberapa detik sambil terbatuk. Apa lagi itu tadi? Apa mungkin dia salah mendengar. Tara menepuk-nepuk pelan d*danya. Dia ingin salah mendengar, namun melihat reaksi dua orang di depannya, jelas sekali jika pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Aku akan segera menikahi Tara. Aku datang untuk memberitahu Papa. Tidak untuk meminta izin.” Argantara memperjelas kalimatnya. Tara menoleh—menatap Argantara yang masih meluruskan pandangan mata ke depan. Mulut Tara setengah terbuka. Beberapa detik yang Tara lakukan hanya menatap tak percaya pria asing di sampingnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sekarang jadi pernikahan? Setelah tadi pertunangan? Sebenarnya Tara tidak mengharapkan drama sampai sejauh ini. Dia hanya ingin terlihat bahagia di depan mantan. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan lantaran masih sendiri sementara pria bangs*t itu sudah menggandeng perempuan lain. Akan tetapi, Tara juga tidak bisa langsung menyanggah Arga setelah menyadari ada yang tidak beres dengan hubungan Arga dan dua orang di depannya. Tara mendesah dalam hati. Mengingat Alfatih, Tara memutar kepala. Sepasang mata wanita itu mengedar—mencari keberadaan cinta pertamanya, sementara telinganya mendengarkan perdebatan Arga dan orang tuanya. “Apa kamu sudah gila? Pernikahanmu dengan Ayu sudah diurus. Kamu—” “Siapa yang ingin menikahi keponakanmu itu? Mungkin papa. Suruh saja papa yang menikahi keponakanmu.” “Kamu—” Bayu Mahendra menggeram. D*da pria yang sudah tidak lagi muda itu bergerak kentara ke atas, lalu berhenti beberapa detik sebelum kembali bergerak turun. “Aku sudah lebih dari dewasa untuk menentukan pilihanku. Tara dari keluarga terpandang. Papa tidak akan malu memiliki menantu seperti dia.” Argantara membalas tatapan mata sang papa. Jika dulu papanya menolak Namira karena dia berasal dari keluarga biasa, apa sekarang papanya masih akan menolak perempuan yang berasal dari keluarga terpandang? Bagaimana Argantara tahu jika Tara berasal dari keluarga terpandang? Padahal dia tidak mengenal Tara sebelumnya. Mudah saja. Semua yang datang ke tempat ini sudah pasti bukan dari keluarga biasa. Apalagi melihat semua barang yang melekat di tubuh Tara. Pakaian, perhiasan, sepatu, tas. Semuanya jelas barang branded. Original, bukan kw. Intinya, hanya orang kaya—yang sudah bebas ekonomi yang akan mendatangi acara-acara amal seperti ini. Mereka yang tidak lagi memikirkan bagaimana besok makan jika menggunakan uangnya untuk membeli barang mewah dengan harga selangit yang hanya bisa dibuat pajangan. Saat ini Argantara hanya membutuhkan istri untuk mengamankan posisinya. Dan kebetulan sekali Tuhan mengirim perempuan yang kini berdiri di sampingnya. Perempuan cantik, anggun, yang tidak akan membuatnya malu saat berada di setiap acara penting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD