bc

My Annoying Lecturer

book_age16+
165
FOLLOW
1.9K
READ
HE
age gap
heir/heiress
bxg
lighthearted
mystery
bold
genius
loser
lucky dog
campus
professor
wild
like
intro-logo
Blurb

“Asia?” ucap Shankara dengan sebelah alis terangkat.

Tidak mungkin Shankara mengenalinya!

Dengan panik kini Asia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana bisa Asia sepercaya diri itu jika Shankara tidak bisa mengenalinya dengan make up tebal seperti ini? Asia mana punya muka untuk berhadapan dengan Shankara dengan dandanan badut seperti ini. Sungguh memalukan!

“Papa kenal sama Miss Asia?” tanya Lavanya terdengar senang.

“Jadi, benar Asia?” kata Shankara lagi.

Asia tidak berani membalas. Ia hanya bisa mengintip Shankara dari balik celah-celah jarinya yang berada di depan wajahnya.

***

Shankara adalah dosen yang terkenal galak dan juga dingin. Namun, wajah Shankara yang tampan dan pembawaannya yang keren membuat hampir semua mahasiswi terpesona olehnya. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Asia. Asia tidak terlalu mempedulikan Shankara karena bagi Asia, Shankara itu menyebalkan. Shankara sering mengomeli Asia karena terlambat datang ke kelas ataupun terlambat mengumpukan tugas. Hingga, tanpa Asia sadari, ia sudah menjadi guru les anak Shankara yang bernama Lavanya.

Bagaimana nasib Asia setelah Shankara tahu jika Asia lah yang menjadi guru les anaknya? Apakah Asia akan baik-baik saja? Ataukah, hal itu akan membuat dunia Asia jadi jungkir balik?

Oh ya, dengar-dengar Shankara itu duda!

Image by freepik

chap-preview
Free preview
Bab 1
“Pa!” seru Lavanya seraya memukul lengan pria yang saat ini masih tampak terlelap. “Papa! Bangun!” “Hmm….” “Papa, udah jam tujuh!” Lavanya menggoyangkan lengan pria itu untuk membuatnya terbangun. Ucapan bocah berumur delapan tahun itu sontak membuat pria itu membuka mata dengan jantung hampir copot. Jika benar sudah jam tujuh, artinya ia sudah terlambat untuk pergi mengajar. Sontak saja pria bernama Shankara Dipta Abian itu bangkit duduk lalu menoleh ke arah jam di atas nakas. Saat ini jarum jam tengah menunjukkan pukul lima pagi lebih sepuluh. “Jam tujuh?” tanya Shankara kepada Lavanya dengan sebelah alis terangkat. Lavanya terkikik geli. “Tapi, bohong!” ucapnya seraya berlari keluar kamar Shankara dengan tawa kecil yang membuat Shankara geleng-geleng kepala. Shankara beranjak dari Kasur lalu berjalan ke arah kamar mandi. Sebaiknya Shankara segera mandi dan bersiap-siap. Hari ini ia ada jadwal mengajar kelas pagi. Selain itu, Shankara juga harus mengantar Lavanya ke sekolahannya. Ya, jadwal harian Shankara cukup padat. Shankara adalah seorang dosen di universitas swasta. Ia sudah aktif mengajar di kampus itu sejak lima tahun yang lalu. Setelah Shankara selesai mandi dan bersiap-siap, ia segera pergi ke kamar putri kecilnya untuk mengecek apakah Lavanya juga sudah mandi dan bersiap-siap. Shankara mendapati Lavanya tengah duduk di atas kasurnya dengan rambut hitam panjangnya yang agak berantakan. Pakaian tidurnya tadi kini sudah berganti dengan seragam merah dan putih. “Kenapa rambutnya masih berantakan?” tanya Shankara seraya mendekat ke arah Lavanya. Lavanya tersenyum lebar seraya mengulurkan sisir ke arah Shankara. “Aku mau dikuncir dua kayak Boo,” katanya. Boo adalah karakter anak perempuan di film Monsters, Inc. Lavanya sendiri memang sangat menyukai film itu. Katanya, karakter Boo itu menggemaskan. Tapi, bagi Shankara, Lavanya jauh lebih menggemaskan daripada karakter animasi apa pun. “Kenapa nggak minta dikuncir sama Bibi?” tanya Shankara seraya mengambil sisir dari tangan Lavanya. “Bibi nggak tahu siapa Boo. Papa kan tahu,” jawab Lavanya. Kini ia sudah berlari kecil ke arah meja rias dan duduk di kursi. “Bibi tahunya kuncir dua kayak tanduk kerbau. Lavanya kan nggak mau kayak tanduk kerbau, Pa,” lanjutnya. Shankara tersenyum mendengar perkataan Lavanya. “Mungkin kapan-kapan Papa akan ngasih tahu Bibi siapa itu Boo, biar Bibi juga bisa nguncir rambut kamu kayak Boo,” ucap Shankara. “Iya!” balas Lavanya semangat. “Padahal Lavanya udah pernah bilang ke bibi tahu, Pa. Tapi, Bibi nggak ingat.” “Iya, nanti biar Papa bilang lagi ke Bibi. Dan, Papa bakal memastikan kalau bibi ingat.” “Kalau tetap nggak ingat?” tanya Lavanya menatap Shankara dari cermin. “Ya nanti Papa tinggal mengulangi lagi bilang ke Bibi,” jawab Shankara enteng seraya menyisir rambut putrinya dan membaginya dua untuk nantinya dikuncir. “Oke,” kata Lavanya menganggukkan kepala. “Oh ya, Pa, masak kemarin Keysha bilang kalau minggu besok papa sama mamanya ngajak dia jalan-jalan. Kan Lavanya jadi pengen, Pa.” “Kamu pengen juga jalan-jalan?” tanya Shankara. “Iya, Pa,” jawab Lavanya. “Lavanya pengen jalan-jalan sama Papa aja.” “Sama Papa aja?” tanya Shankara menatap putrinya dengan sebelah alis terangkat. Lavanya mengangguk mantap. “Hanya sama Papa,” jawabnya. “Tapi, Bibi diajak juga boleh. Jadi, Papa sama Bibi aja yang ikut.” Shankara tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Oke, kalau nggak ada halangan, Papa akan ajak kamu ke mal gimana? Kita bisa main capit boneka. Terus habis itu kita bisa makan ayam goreng kesukaan kamu.” “Oke, asal sama Papa, ke mal juga nggak apa-apa,” jawab Lavanya tersenyum lebar. Shankara menganggukkan kepala seraya mengelus rambut Lavanya dengan sayang. “Oke, siap,” balasnya. *** “Gawat!” ucap Asia ketika menatap ke arah jam yang ada di atas nakas. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Asia harus segera berangkat ke kampus karena ia ada jadwal kuliah pukul delapan lebih empat puluh menit. Buru-buru Asia menyambar map plastik di atas meja belajarnya yang berisi tugas yang harus ia kumpulkan nanti. Setelah itu ia bergegas keluar dari kamarnya untuk turun ke bawah. Di ruang makan ia mendapati papa, mama tiri serta saudari tirinya tengah menyanyap sarapan mereka. “Pa, Asia berangkat dulu,” kata Asia tanpa berniat untuk bergabung sarapan dengan mereka. “Asia, sarapan dulu,” balas Papanya. “Asia buru-buru, Pa. Ada kuliah pagi,” ucap Asia lagi. “Sarapan dulu,” kata Papanya. “Nanti bisa berangkat bareng sama Clara. Kalian kan satu arah,” tambahnya. Sontak saja Asia melirik ke arah Clara, saudari tirinya yang juga tengah melirik ke arahnya. Dari tatapannya, tampak sekali Clara keberatan dengan permintaan papanya. Asia pun rasanya enggan untuk ikut bersama dengan Clara. Kalau boleh dibilang, meskipun sudah menjadi saudari tiri selama hampir lima tahun, mereka berdua saling tidak menyukai satu sama lain. Mereka lebih seperti musuh daripada saudara. “Clara nggak keberatan kan?” tanya papanya menoleh ke arah Clara. Spontan Clara tersenyum lebar. “Tentu aja nggak, Pa,” jawab. “Bareng aja Asia.” Kini Clara menyunggingkan senyum palsu sambil menatap ke arah Asia. “Ayo, Asia. Sarapan dulu,” kata mama tirinya. Dengan helaan napas dalam, akhirnya Asia duduk di kursi yang berhadapan dengan Clara. Sejujurnya, berkumpul bersama dengan keluarganya adalah hal yang lebih ingin Asia hindari. Asia tidak menyukai obrolan yang terjadi di antara papa, mama tirinya dan juga Clara. Karena apa pun obrolannya, Asia pasti tampak begitu kecil di hadapan mereka. “Seharusnya dulu kamu kuliah ambil hukum kayak Clara,” kata mama tiri Asia. “Jadi kan, berangkatnya bisa bareng terus.” Asia hanya tersenyum menanggapi ucapan mama tirinya itu. Bagi Asia, mending dirinya tidak kuliah sekalian daripada harus satu kampus dan satu jurusan dengan Clara. Sudah cukup bagi Asia bersekolah di SMA yang sama dengan Clara. Asia tidak ingin mengulanginya lagi ketika masuk kuliah. Semua pengalaman bersama dengan Clara itu tidak menyenangkan. “Nilai Asia kan nggak setinggi nilai Clara, Ma. Bakal susah masuk fakultas hukum. Apalagi, masuk kampus Clara,” timpal Clara dengan nada ramah. Tapi, Asia tahu betul jika saat ini Clara tengah meremehkannya. “Clara kan kuliah di kampus favorit, Ma.” “Mama beneran bangga sama kamu, Cla,” kata mamanya tersenyum bahagia menatap mamanya. “Udah cantik, pintar.” “Kan cantiknya turunan dari mama, iya kan, Pa?” sahut Clara menoleh ke arah papa Asia. Papa Asia terkekeh. “Iya,” jawabnya. “Kamu itu, bisa aja kalau muji Mama,” kata mamanya tampak senang. Dengan susah payah Asia mencoba untuk tidak memutar bola matanya dengan bosan. Setiap hari bahasan mereka selalu sama. Kalau tidak soal Clara, pasti soal mamanya. Atau, mungkin soal mereka berdua. Asia selalu saja menjadi penonton di antara mereka. Bukan hanya sekadar penonton, Asia pun selalu jadi bahan pembanding bagi Clara si sempurna bagi mamanya. Asia yakin, jika mama kandungnya masih hidup, mamanya tidak akan pernah mengatakan hal tidak mengenakan seperti mamanya Clara. Mama Asia tidak akan membuat orang lain tersakiti hanya untuk membuat anaknya sendiri tampak menonjol. Setelah obrolan yang menyiksa dan sarapan yang tidak mengenakkan, akhirnya Clara pamit untuk berangkat ke kampus. Secara otomatis Asia pun ikut pamit. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil merah milik Clara. “Buruan cari tumpangan, gue turunin lo di jalan raya depan,” kata Clara seraya mengendarai mobilnya meninggalkan halaman rumah. Ya, memang seperti itu lah hubungan Asia dan Clara. Saudara tiri rasa musuh.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.4M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
458.9K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
489.4K
bc

The Perfect Luna

read
4.0M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
596.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
460.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook