When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Tahu? Ini yang ketiga kali tingkahku dipergoki. Dua sebelumnya, aku aman. Kita bahkan, kita aman. Namun, apa kabar dengan yang ini? . . "Siapa? Jawab jujur, Din, biar Papa tahu harus apa." Mata Dinda berkaca-kaca. Adalah hari di mana dia mendapat interogasi dari kedua orang tuanya. Ada mama juga di sana. Sudah pindah ke kamar, bukan lagi di ruang makan. "Pada intinya, Daaron atau bukan?" Mama bicara, menatap Dinda. "Jawab aja, nggak usah takut." Begitu kata papa. So, Dinda geleng-geleng kepala seraya menjawab, "Bukan ...." Dengan sangat lirih. Dan, ya, tangisnya pecah. Adapun hati mereka selaku orang tua Dinda mencelus mendengarnya. Kalau bukan Daaron, berarti pria lain. Kali ini bukan soal siapa, tetapi bagaimana kejadiannya? "Kamu ... diperkosa?" Terdengar kelat dan berat su