8. Revenge

2557 Words
Aku yang terluka, aku yang merasakan, maka aku pula yang menentukan ... dengan cara apa 'luka' itu kubereskan. Entah dengan obat atau ... kamu paham, kan? . . "Yakin nggak jadi kerja di kantor Pipi?" Dikara duduk menatap Pipi Wili yang meletakkan buku bacaan ke rak. Tersusun rapi buku-buku beliau di ruang baca ini. "Hm." "Tawaran dari Luxe menggiurkan sepertinya, ya?" "Ya ...." "Ya sudah." Pipi berbalik, menatap Dikara yang lantas turut menatapnya. "Titip salam untuk abang kalau kalian ketemu nanti." "Baik ...." Pipi Wili pun mengangguk dan membiarkan Dikara pamit. Tercatat, ini hari-hari di sebelum Dikara pergi ke Bekasi. Dia mendapat email atas nama Luxe Group. Meminta bertemu untuk bicara secara langsung, yang juga disertakan kontak w******p-nya bilamana Dikara menyetujui. Dia hanya perlu balas menghubungi. Sebelum itu, Dikara menyampaikan kepada pipi perihal dirinya yang urung bekerja di kantor edukasi beliau. Ada hal yang ingin Dikara lakukan dan kali ini dia mengikuti arus emosi. Pipi mempersilakan. Dikara pun meraih ponsel dan menghubungi kontak Luxe Group, seseorang mengangkatnya di seberang. By the way, email itu datang sejak tiga hari lalu. Sudah Dikara buka, tetapi belum membalas. Mulanya akan ditolak selepas tiba hari di mana dirinya masuk ke kantor pipi. Namun, secuil emosi menuntunnya ke arah sini. Yakni menerima tawaran tersebut. Tepatnya, setelah kejadian di halaman belakang rumah bersama Bang Daaron. "Ya, baik. Terima kasih kembali." Pembicaraan di telepon bersama pihak Luxe pun disudahi. Dikara melihat tanggal dan jam di ponsel, besok adalah janji temu dengan pihak Luxe untuk membahas tawaran mereka, juga kontrak kerjanya barangkali. Ngomong-ngomong, katanya ini tawaran langsung dari sang pendiri. Bapak Atmaja. Dikara menuju walk in closet untuk melihat pakaiannya, perlukah dia membeli baju baru? Dilihat-lihat lagi, pakaian yang termuat dalam lemari ini adalah style Niskala. Mungkin ketika Dikara di sana, pada saat Niska beli baju, dia juga membelikan untuknya. Atau ini mimi yang mengisi? Membuatnya seolah tumbuh dari remaja ke dewasa di Tanah Air, padahal di sini Dikara berakhir di usia lima belasan tahun. Oh, pintu kamarnya diketuk. Dikara melihat mimi di sana. "Makan dulu, Sayang." Baru Dikara sadari, sepuluh tahun benar-benar waktu yang memberi perubahan pada segala hal, termasuk raut mimi yang tak lagi semuda dulu. Yeah, apalagi pipi. Dikara mengangguk. Ditinggalkannya kamar itu. "Nis, makan." "Mi, maaf. Nis makan di luar. Udah ada janji." Adalah hari di mana Niskala menemui Bang Daaron sehingga tentang kejadian di vila sekaligus obat tidur di kamarnya, Niskala ketahui. Benar, kan? Hari-hari yang sudah berlalu. Dikara telah menandatangani kontrak kerja dengan Luxe Group. Telah diberikan berkas untuk dirinya pelajari, lalu mendengarkan penjelasan dari tangan kanan Pak Atma. Rupanya nama Dikara harum di sini walau dia menghabiskan massa sepuluh tahunnya di Rusia. Email yang masuk pun sebetulnya bukan cuma dari PT. Graha Gemilang Atmaja. "Lho, nggak jadi kerja di kantor pipi?" Mimi baru tahu ketika di meja makan pipi me-notice soal keberangkatan Dikara ke Bekasi. Dia dapat tugas sebagai sekretaris kepala cabang baru di sana. Sepertinya pipi tidak cerita kepada mimi sehingga agak terkejut malam ini, mendekati hari H keberangkatannya. "Kara jadinya kerja di Luxe, Mi." "Luxe? Itu kantornya Bang Daaron, kan, Ra?" Niskala yang menanggapi. "Benar." Dikara menyuap nasi beserta jajaran lauknya, mengunyah perlahan, tampak sangat elegan. "Kara nggak cerita-cerita sama Mimi." "Mi, emang kapan Kara pernah cerita? Dia mah mendem terooos!" sindir Niskala. Dikara tanggapi dengan ulasan senyum tipis. Mimi dan Niska secara kompak mencebik. Mereka mirip. Dikara sampai terkekeh. "Nggak lucu, ya, Sayang! Mimi lagi marah, lho, ini." Pipi lantas berdeham. Mimi pun diam. Di mana malam itu adalah malam sebelum Niskala menuding soal obat tidurnya. Pantas saja Niskala agak sensitif di detik tatapan matanya berpapasan dengan Dikara. Hingga tiba hari ini. Hari keberangkatannya ke Bekasi. Setelah kemarin saat berkemas diseruduk oleh emosi Niskala yang sudah tahu tentang masalah sepuluh tahun lalu di vila. Masalah yang bisa dituntaskan dalam sekali penghabisan, tetapi Dikara memilih membiarkan. Ada hal yang tidak Dikara inginkan kalau-kalau kejadian itu segera diusut pihak berwajib. Ya, bayangkan saja. Bila dulu Dikara memenjarakan Dinda beserta semua yang terlibat, mungkin hari ini sudah bebas walau pernah tinggal di lapas. Dikara tidak menginginkan hal tersebut. Tidak, karena rasanya terlalu ringan. Sedangkan dirinya, Dikara harus menanggung beban psikis yang tidak sebentar setelah hari itu. Sampai sini ... paham, kan? Dikara menatap pantulan dirinya di cermin. Ada pipi di belakang, sosok yang selama ini mendukungnya di garis terdepan. "Segini aja barangmu, Ra?" "Iya, Pi." Pipi lalu mempersilakan asisten pribadinya untuk memboyong koper Dikara ke mobil, asisten pipi pula yang nanti menyetir. Meski demikian, pipi ikut mengantar. Tentu saja, bersama mimi yang tak mau tidak dilibatkan. Mimi marah gara-gara pipi tidak cerita soal pergantian tujuan Dikara mengenai kerja di Luxe, alih-alih di kantor pipi seperti rencana semula. Omelan mimi kepada pipi persis seperti omelan Niskala saat membahas tentang obat tidur. Wah ... apa kabar kalau mimi tahu segala yang Dikara tutupi, ya? Yang sudah Niskala ketahui itu. Sepertinya lebih dahsyat lagi. Untunglah sampai detik ini Niskala bisa diajak kompromi, dengan tidak melaporkannya kepada mimi. Kalau pipi, sih, Dikara tidak keberatan. Kan, pipi sudah tahu jauh sebelum Bang Daaron menemukan fakta soal Dinda si pelaku asli penjebakan. Pipi tahu .... Hanya soal obat tidur saja yang tidak. Paling itu yang Dikara rasa sebaiknya Niskala tidak melapor. Ah, sudahlah. Sekarang Dikara harus pergi dulu. Dia berpamitan kepada Niskala, sosok yang memeluknya dengan sangat erat. Pasti mata Niska berkaca-kaca. Tuh, kan .... Dikara alih kepada adik-adiknya. Auriga dan si bungsu. Mereka tidak begitu dekat dengannya. Apalagi yang paling kecil itu. Wajar, Dikara tumbuh mendewasa di Rusia. "Nis, jaga adik-adik, ya? Mimi sama Pipi antar Kara dulu. Nggak lama, nggak nginap juga." "Iya, Mi. Aman." Lalu meminta pak sopir agar hati-hati di jalan. Niskala melambaikan tangan saat pak sopir membunyikan klakson. Tenang saja, di rumah ada bibi dan pekerja yang lain. Lantas, di sini ... di dalam mobil. Dikara duduk di sebelah mimi, sedangkan pipi di sisi kemudi. "Kamu milih kerja di Luxe bukan karena ngincar Bang Daaron, kan?" Well .... Dikara menoleh. "Jangan, ya, Sayang? Dia udah tunangan. Mimi nggak mau kamu dicap pelakor." Seraya menyelipkan helai rambut Dikara ke belakang telinga. "Lagi pula ada banyak laki-laki available, jadi kenapa harus sama yang udah official, kan?" *** Daaron Edzhar Reinaldi, sosok yang bukannya fokus bekerja malah memandang lurus pada meja sekretarisnya. Ya, bagaimana tidak? Dikara yang sedang duduk di bangku tersebut. Dikara. Daaron ulangi namanya dalam hati. Benar, Dikara. Tampak serius menatap PC, lalu sesekali menunduk melihat dokumen. Rambutnya dikucir kuda menunjukkan leher jenjang yang pernah Daaron singgahi kecupan. Terbayang aroma Dikara .... Sialan. Detak jantung Daaron tak pernah tenang bila soal gadis itu. Dan sialannya hanya Daaron yang merasakan, Dikara tidak pernah. Ya, kan? Oh, Dikara menoleh, saat itulah Daaron melengos menatap dokumen. Namun, notifikasi pesan masuk di macbook-nya mengalihkan atensi. Rupanya itu pesan dari Dinda. [Kangen.] Pada saat jam kerja. Dinda: [Biasanya kita makan siang bareng.] Dinda: [Hari ini aku sendiri ....] Daaron tidak lekas membalas, memilih nanti saja dibalas saat jam istirahat. Bukannya apa, tetapi pasti chat-nya jadi panjang kalau dengan Dinda. Detik waktu terus berjalan sampai dering telepon ruangannya berbunyi, Daaron mengangkat panggilan tersebut yang ternyata sambungan dari sang sekretaris. Gadis itu bicara, demikian Daaron menggigit bibir bagian dalamnya, menahan debar yang masih serupa laksana sepuluh tahun lalu. "Ulangi," kata Daaron. "Katakan langsung saja, masuk ke ruangan saya." Meski itu persoalan yang sewajarnya dapat dikabarkan lewat telepon, Daaron memilih meminta Dikara mendatanginya di sini. Oke, sekarang Daaron terpikir rencana baru. Yang dia tatap sosok Dikara dari dinding kaca. Tampak mulai beranjak setelah bilang, "Baik, Pak." Astaga. Menggemaskan sekali putri Pipi Wili. Pintu ruangan Daaron diketuk, dia persilakan masuk. Benar. Karena sudah di sini, datang sendiri ke tempatnya, jadi kenapa harus pusing-pusing memikirkan rencana porak-poranda yang terancam gagal? Kan, Daaron tinggal ubah strategi, dengan tujuan yang masih sama. Memorak-poranda kembaran Niskala. Lihatlah .... Di sini Daaron menatap Dikara yang membawa langkahnya mendekat, dari kaki hingga kepala, Daaron menatap amat lekat. *** Sepeninggal Dikara hingga hari ini, pikiran Niskala tidak pernah tenang soal apa yang Bang Daaron kabarkan. Memikirkan, haruskah dia tetap bungkam atau melapor kepada orang tua? Khususnya pipi. Itu kejadian yang sangat besar walau sudah berlalu jauh sepuluh tahun, bahkan Dikara sampai mengonsumsi obat tidur. Kata Bang Daaron, "Waktu acara reuni selesai, yang Abang kira Kara udah pulang bareng kamu ... ternyata dia masih di vila. Di dalam kamar bahkan, dengan kondisi nggak berpakaian." Niskala tercekat. "Bareng laki-laki di sebelahnya." Makin dirampas oksigen yang Niska hirup, membuatnya sesak. "A-apa?" "Tapi dia dijebak." Rongga d**a Niskala terasa menyempit, bahkan di saat kini ucapan Bang Daaron sekadar melintas. Rasanya masih sama menyakitkan ketika mendengar kabar itu tempo lalu. Teringat hari di mana Dikara tiba di rumah uyut untuk acara keluarga—selepas reuni di vila, dengan sama sekali tidak menunjukkan kejanggalan. Tidak tampak sedang terluka, tidak tampak pula sedang tak baik-baik saja. Dikara menghampiri dengan senyum dan ucapan maafnya yang hadir terlambat, membawa kue di tangan. Dia bilang, "Tadi habis diajak keliling dulu sama abang." Bang Daaron. Ditanya, "Terus mana abangnya?" "Pulang. Buru-buru. Cuma titip salam untuk semua." "Ciee!" Niskala malah bilang begitu. Dia berdeham-deham penuh godaan. "Tumben mau diajak keliling sama abang?" Sambil mencolak-colek pipi Dikara. "Ya, mau bagaimana lagi, Nis? Aku, kan, penumpang." Seperti itu. Dengan rautnya yang tak sekali pun terlihat ada ekspresi resah, sedih, marah, atau apalah normalnya orang habis dijebak tidur seranjang tanpa sehelai benang dengan lawan jenis. Oh, tidak. Tidak bisa. Niskala tak tahan untuk diam menyimpan kisah tersebut sendirian, tak seperti Dikara. Niskala gegas mencari pipi dengan langkah penuh emosi. Pipi harus tahu! Pipi harus mendengar kabar soal kejadian di sepuluh tahun lalu, yang makanya itu Dikara sampai minta lanjut sekolah di Rusia. Dia mengalami hal buruk, sampai-sampai katanya disaksikan beberapa orang dengan memotret Dikara yang bangun berbalut selimut, sedang pakaiannya berserak di lantai. So, Niskala muntahkan semua yang diketahuinya itu kepada pipi. Saat kini berhadapan. Di ruang baca, pipi meletakkan kacamatanya di meja, menatap Niskala yang bercerita dengan menggebu-gebu. Tahu? Mata Niskala sampai berair, tetapi tetes airnya sampai berhenti untuk terus mengalir di detik Pipi Wili bilang, "Oh ... itu. Kamu dengar ceritanya dari siapa?" W-what? Respons pipi begitu tenang, tak ada raut terkejut, minimal alisnya menukik. Ini tidak. Seolah berita yang Niskala bawa telah diketahuinya. Jangan bilang .... "Pipi tau?" Niskala berdebar. Pipi mengangguk. Tuhan .... "Pipi tau ... tapi diam?" Air matanya eksis kembali, kali ini lebih banyak dari sebelumnya. "Pi, Dikara dijebak sampe dibuat telanjang!" Oh, ada yang berapi-api di sana. Niskala berteriak, tak peduli dengan siapa dia bicara. "A-apa?" Hening tercipta. "Si-siapa tadi yang dijebak sampe dibikin telanjang?" Adalah mimi yang mematung di ambang pintu ruangan. Niskala sontak terdiam, tetapi tidak dengan air matanya yang deras mengalir. Sudah terlambat menangisi kisah sepuluh tahun lalu memang, tetapi tak bisa dipungkiri ... mimi bahkan lebih histeris dari tangis Niskala saat ini. Lantas, apa kabar yang di sana? Apa kabar yang sedang ditangisi oleh ibu dan saudara kembarnya? Di Bekasi, Dikara menatap seorang wanita datang menuju ruangan Bang Daaron. Namun, sebelum itu tentu harus melewati meja sekretarisnya dulu. Tahu, kan? Dia tunangan Bang Daaron, matanya sampai mendelik mendapati Dikara di situ. Kenapa? Oh ... terkejut, ya? "Bapak sedang meeting, silakan menunggu di sana." Yang Dikara tunjuk dengan sopan area tunggu sang atasan. Meski begitu, meski statusnya di bawah Bang Daaron dan Dinda sekali pun, tetapi Dikara merasa selangkah lebih tinggi daripada mereka. See! Rahang Dinda kelihatan mengetat, padahal ... memangnya Dikara melakukan apa? Tidak ada. Dikara tidak melakukan apa-apa. Dengan diamnya saja Dinda sudah seperti itu, lantas bagaimana kalau Dikara bergerak? Saat dia meletakkan secangkir teh untuk teman menunggu Dinda, di mana teh itu justru Dinda gunakan untuk melibas punggung Dikara. Ya, Dinda menyiram tubuh Dikara yang sudah berbalik dengan secangkir teh tersebut. Sontak, langkah Dikara terhenti. Dia pernah bilang untuk tidak mengusik 'diamnya', bukan? Karena diamnya Dikara adalah sebuah masa dirinya mempertimbangkan, kelak benar-benar diam sampai akhir dalam arti mengampuni atau ... memutuskan hal lain. "Panas?" Air tehnya. Dinda menatap punggung Dikara. Suara cangkir yang diletakkan di meja kaca pun terdengar seiring Dikara berbalik. Mereka lalu bersitatap. Bagusnya, ruangan Daaron di kantor ini agak terpelosok dari tempat para karyawan. Area yang agak privat di sini. Tak akan ada yang melihat, kecuali pengawas CCTV. Desainnya dibuat demikian. "Itu teh hangat, sama sekali nggak panas," ucap Dikara. Dinda terkekeh mengejek. "Hati kamu." Dia melangkah maju. "Panas, kan, dengan kenyataan pertunangan kami?" Dinda menunjuk bahu Dikara, mendorongnya dengan jari tersebut seraya berucap, "Kamu itu ... nggak terima, ya? Sampe ngejar Daaron ke sini. Mau godain dia? Oh, apa mau balas dendam atas kejadian yang dulu itu? Dengan cara merebutnya, terus kamu merasa menang, deh. Padahal udah sok-sokan jadi manusia suci, dengan nggak ngelakuin apa-apa atas perlakuan aku dulu. Duh, Dikara ... Dikara." Bertatapan. "Topeng kamu itu ... basi." Alis Dikara sampai naik sebelah mendengarnya. "Tau, kok. Kamu nyesel, kan, udah memilih diam aja pas tau siapa dalang di balik kejadian di vila dulu? Makin nyesel karena nggak nyangka rupanya sosok itu malah jadi tunangan Daaron." Masih rapat bibir Dikara. Dinda mendesis, "Tapi gimana, ya? Terlambat banget buat bertingkah sekarang." Seraya mendorong bahu Dikara sekali lagi dengan jari telunjuknya. "Coba aja ... goda dia. Kalau perlu pake kejadian—" "Sepuluh tahun itu lama, kan?" Memangkas kalimat Dinda, pun Dikara mencekal lengan gadis itu yang sejak tadi jari telunjuknya mendorong-dorong bahu. "Dan aku sanggup tanpa melakukan apa-apa terhadapmu. Tapi, ya, Kak ... diamnya aku itu nggak 'diam', lho." Kening Dinda mengernyit, alisnya sampai menukik. Merasa tutur kata Dikara tidak nyambung dengan apa yang dia ucapkan tadi. Jadi, Dinda perlu mencernanya dulu. Saat itu ... Dikara maju selangkah, hal yang menyentak kewaspadaan Dinda. Tatapan Dikara masihlah setenang air tanpa arus, tetapi dalam menenggelamkan. "Aku bisa kapan pun mengungkit ... memberikan sanksi atas perbuatan kamu dulu, tapi itu tergantung dari sikapmu." Oh, oke. Dinda tahu ke mana arahnya. Dikara sedang menekan agar dirinya ini merasa tersudutkan? Takut? Menciut? Dinda menyungging sebelah bibir. "Wow. Apa nggak basi?" Senjata penekanan Dikara terlalu remeh, Astaga! Dikara lantas menjulurkan tangan, menyentuh helai rambut Dinda dengan gerakan perlahan seraya bilang, "Tahu wine, kan? Semakin lama masa simpannya, semakin mahal. Kira-kira seperti itu, semakin basi ... semakin hancur kamu nanti. Bukannya selama sepuluh tahun aku diam, kamu gelisah?" Dinda tercenung. Apa maksud? Sentuhan di rambut itu Dikara sudahi, dia menatap jemari bekas menyentuh rambut Dinda sambil lanjut berucap, "Hati-hati. Bukan aku, bisa jadi kamu yang merusak diri sendiri. Lagi pula ... untuk apa aku menggoda pria yang sejak awal, bukannya kamu tahu setergila-gila apa dia sama aku?" Dinda geram di tempat, siap melayangkan tangan untuk mencakar wajah Dikara yang menyebalkan, tetapi lengannya ditahan. Tentu, oleh Dikara yang bilang, "Kali ini aku nggak akan membiarkan siapa pun melukaiku." Dan dihempaskannya pergelangan tangan Dinda. Dikara lantas mengambil langkah pasti meninggalkan tunangan Bang Daaron yang mengepal tangan di tempat. "Tergila-gila kamu bilang? Najis, percaya diri banget! Daaron harus tahu kelakuanmu yang naudzubillah!" Dikara melambaikan tangan dengan gerakan ke belakang, jadi bukan ke kiri dan ke kanan lambaiannya, tanda bahwa dia tidak peduli. Dan Dikara sudah melenggang sejak tadi. Well ... najis, ya? Najis teriak najis. Langkah Dikara pun terus melaju hingga mencipta suara detak heels di tempat sunyi, meninggalkan Dinda yang mungkin termakan kesal di belakang, sampai Dikara berbelok ke arah lorong dan di situ ... langkahnya terhenti. Ada pria yang tengah berdiri bersandar di dinding sambil bersedekap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD