9. Fuckk You

2414 Words
Ibarat mawar, kamu sedang berusaha dipetik. Dipatahkan agar kamu terpisah dengan yang membuatmu hidup, agar kamu layu mengering, agar aromamu tak sedap lagi, agar kamu tak cantik lagi. Namun, bagiku ... mawar tetap cantik walau telah menghitam. . . Rapat usai, Daaron langsung melenggang ke ruangan. Namun, saat langkahnya kian dekat dengan ruang tersebut, melintasi lorong, Daaron mendengar suara sengit dari sosok yang dia kenal. Dinda. So, langkah Daaron memelan. Mendengarkan. Hingga dia memutuskan untuk berhenti, detik di mana terdengar suara perlawanan dari Dikara. Daaron urung melanjutkan, memilih bersandar pada dinding dengan tangan bersedekap. Dikara adalah Dikara. Tutur katanya setenang raut yang tak ada riak emosi, dapat Daaron bayangkan bagaimana wajah Dikara ketika mengatakan ragam kalimatnya untuk Dinda di sana. "Tahu wine, kan? Semakin lama masa simpannya, semakin mahal. Kira-kira seperti itu, semakin basi ... semakin hancur kamu nanti. Bukannya selama sepuluh tahun aku diam, kamu gelisah?" Diucap dengan nada rendah, tidak ada intonasi menanjak, tetapi jantung Daaron berdetak-detak laksana ada terjangan ombak. "Hati-hati. Bukan aku, bisa jadi kamu yang merusak diri sendiri. Lagi pula ... untuk apa aku menggoda pria yang sejak awal, bukannya kamu tahu setergila-gila apa dia sama aku?" Astaga .... Bibir Daaron terkulum, gemas sendiri mendengar tutur kata Dikara. Jadi, seperti itu sudut pandangnya terhadap diri ini? Sialan. Sungguh sialan. Karena sialannya, Dikara benar dan Daaron tidak kuasa mempersalahkan. Senyatanya memang begitu. Tergila-gila pada ketenangan Dikara, ingin Daaron buat porak-poranda. Bila sudah seperti itu, lalu apa? "Kali ini aku nggak akan membiarkan siapa pun melukaiku." Itu poinnya. Daaron mengangguk-angguk pelan dengan sudut bibir yang samar terangkat. "Tergila-gila kamu bilang? Najis, percaya diri banget! Daaron harus tahu kelakuanmu yang naudzubillah!" Dinda salah. Karena sesungguhnya, jauh sebelum hari ini, Daaron sudah tahu se-naudzubillah apa kelakuan Dikara, tetapi anehnya ... Daaron suka. Dia menyukai tutur kata Dikara yang sekali keluar seringnya langsung jleb ke hati, itu mencerminkan betapa jujur Dikara hingga tidak mencipta kebohongan yang manis. Di samping sifatnya yang merupakan pembohong sempurna, tetapi kebohongan Dikara bukan yang melukai orang lain, lebih kepada menutupi ketidak baik-baik sajaannya. Dia hanya tidak mau merepotkan, tidak mau orang lain khawatir, dan malas menghadapi kerumitan bertikai. Memang sering membuat Daaron geram sendiri, frustrasi sendiri, hingga uring-uringan, tetapi ... hatinya tidak pernah berpaling. Tidak, bahkan saat di mana kini Dikara melihatnya yang berdiri bersandar pada dinding. Kemudian sosok itu menghentikan langkah walau tak lama. Sepersekian detik kemudian lanjut berjalan dan begitu melintas di depannya ... Dikara melayangkan acungan jari tengah. Hei! Apa-apaan itu? Fuckk you? Daaron sampai berdiri tegak dan tak lagi bersedekap, menatap langkah Dikara bak model di atas catwalk. Lihat sendiri, kan? Dia memang naudzubillah atau katakanlah 'amit-amit', tetapi ... jantung Daaron malah semakin berdentum menggila karenanya. Argh! Daaron menggigit bibir. Lenggak-lenggok Dikara seakan sedang menantangnya, setelah tadi mengibarkan jari tengah. Well, kemeja bagian punggung Dikara basah. Itu pasti hasil Dinda berulah. Baiklah. Daaron pun lanjutkan perjalanan semula, yakni memasuki area ruangannya. "Sayang!" Benar, Dinda datang dengan tanpa pemberitahuan. Daaron juga tidak meminta sang tunangan untuk bertandang. "Niatku mau ngasih kejutan, lho. Tapi, ya, kok, aku yang kaget!" Sambil menggandeng lengan Daaron. Dia merajuk. "Kenapa nggak bilang kalau sekretaris kamu itu Dikara?" Bersama-sama memasuki ruangannya, Daaron mempersilakan Dinda untuk duduk di sofa. "Penting memang?" "Ish, kamu! Iyalah ... biar gimanapun Kara itu perempuan. Dan dia sosok yang pernah kamu cintai secara gila-gilaan." Agak tidak terima mengatakannya, tetapi itu fakta. Dinda mencebik kemudian. Yang Daaron sodorkan minuman kaleng dari showcase mini di sini, Dinda menerimanya. Namun, dia serahkan lagi kepada Daaron, meminta dibukakan tutupnya. "Tapi dia adikku, Din." "Adik-adikan doang. Kan, udah janji nggak bakal deket-deketan dia lagi." Sambil Dinda terima minuman isotonik tersebut, lalu dia tenggak. "Nggak ada sedotan, ya?" "Adanya gelas. Mau?" "Nggak, deh. Nggak pa-pa, ini aja." "Jadi, ada apa, nih, datang tanpa ngabarin dulu?" Dinda menghela napas. "Surprise!" Lalu bibirnya mengerucut. "Tapi gagal." Daaron terkekeh. "Tau gitu aku ngasih kejutannya di apartemen aja, ya? Ah, tapi nanti aku nggak tau, dong, ada Dikara di sini." "Maaf, ya. Aku lupa belum cerita," tanggap Daaron. Di mana saat itu ekor matanya menangkap pergerakan sosok lain di luar dari dinding kaca. Adalah Dikara. Sudah kembali ke tempat asal rupanya. Daaron pun menjulurkan tangan, menyentuh sudut bibir Dinda. Yang disentuh terkesiap, tersenyum mesem-mesem. Dikara melihat, kan? "Memang harusnya pakai sedotan, ya? Tunggu," ucap Daaron. Dinda tersenyum lagi. Ditekannya tombol untuk menghubungi telepon di meja sekretaris, yang Daaron lihat Dikara mengangkatnya selepas tadi meletakkan ponsel. "Ya, Pak?" "Tolong ambilkan sedotan, ya, di pantry. Kalau nggak ada, beli. Cari sampai dapat." "Oh, baik." "Kamu yang gerak, jangan minta OB. Nanti lama. Saya tunggu di ruangan sekarang." "Baik." Menyadari sesuatu, Dinda mengulum senyum kemenangan. Lihat, kan? Mampuslah Dikara kalau Daaron tahu perdebatan tadi dengannya, tetapi minus soal siraman air teh. "Makasih." Daaron kembali duduk setelah melempar senyum menanggapi ucapan terima kasih dari Dinda. "Kamu ke sini sendiri?" "Sama sopir." "Oh ... kirain." "Tapi aku minta ditinggal, biar nanti kamu yang antar aku pulang. Nggak pa-pa, kan? Besok hari libur juga, kamu pasti mau ke rumah mama, dong?" Benar. Daaron mengangguk. "Tapi aku sama Dikara. Kamu nggak pa-pa?" "Tuh, kan ...." "Din, walau aku udah bilang nggak bakal deket-deketan sama Kara, tapi kamu juga udah janji bakal nerima keberadaan dia sebagai adikku, lho. Dan lagi, eksistensi dia di sini pun aku sama sekali nggak tahu-menahu. Coba kamu tanya Papa Rei nanti. Aku aja kaget." Bukankah aksi Daaron sempurna? Membuat Dinda merasa dicintai dan tenggelam di dalamnya. Teruslah begitu. Semakin dalam semakin bagus. Mengingat .... Dulu. Ada kisah di mana Daaron mendengar pengakuan Dinda, hal yang sebetulnya sudah Daaron tahu, tetapi dia ingin Dinda mengaku. Dengan bujuk rayu, akhirnya Dinda mengungkapkan semua tentang kejadian di vila. Saat itu .... "Tapi kamu janji nggak bakal ninggalin aku, kan, setelah aku jujur?" Daaron meminta agar Dinda tidak menutupi apa pun baik tentang masa yang sudah lewat, saat ini, maupun rencana ke depan. Soalnya, Daaron menawarkan pernikahan dan dia tidak mau nanti ada kejutan di rumah tangganya. Dia mau jujur-jujuran sejak awal, di situlah Dinda mengatakan, "Sebenernya ... kejadian Dikara di vila waktu itu ... ulahku. Plis, dengerin dulu penjelasanku, Ren." Sambil memegang tangan Daaron. "Aku ngelakuin itu karena cinta sama kamu, aku cemburu sama Dikara ... aku tau ini salah. Tapi dulu kupikir dengan cara itu, kamu bisa melepas pandangan sukamu terhadap Dikara, lalu muncul kesempatan buatku menarik perhatian kamu. Maaf ... aku bener-bener cemburu buta waktu itu. Tapi, sumpah! Dikara nggak diapa-apain. Dia masih perawan, kok. Aku cuma bikin kesan ... maaf, supaya citra dia rusak di mata kamu." Hal yang Daaron dengarkan, dulu .... Antara kesal dan lega. Lega bahwa Dikara sungguh tidak sampai disenggama. "Siapa yang nelanjangin? Dia nggak pake baju waktu itu." "Temenku ... cewek, kok. Aku nggak sejahat itu." "Yang cowok?" "Dia ... lepas sendiri." "Artinya dia sadar pas Dikara udah telanjang di kasur?" "Maaf." "Kamu bisa jamin cowok itu nggak lihat tubuh telanjang Dikara? Bisa jamin dia nggak nyentuh barang seujung rambutnya?" "Ren, please!" "Aku kecewa, Din." "Maaf ...." "Oke, terus orang-orang yang nodong kamera waktu aku sama temen-temen ngegerebek kamar itu ... orang-orangmu?" "Maaf, Ren. Maaf!" "Jadi, bener?" "Maaf ...." "Bener apa nggak?" "I-iya ...." Sambil terisak. "Kamu keterlaluan." "Aku tau. Plis, jangan tinggalin aku. Aku bener-bener kemakan cemburu buta waktu itu. Aku salah. Padahal dengan ngelakuin itu, nyatanya kamu nggak ngelirik. Malah di masa sekarang pas aku nggak ngelakuin apa-apa, kamu mendekat. Maaf, Ren. Aku salah. Dan justru sekarang soal sepuluh tahun lalu itu jadi duri buat hubungan kita ... harusnya aku nggak kayak gitu. Aku nyesel. Ren—" "Minta maaf sama Dikara, bukan sama aku." Saat itu .... "Dan aku butuh waktu buat sendiri dulu." Daaron berlalu bersama ponsel yang dia atur mode rekaman. Namun, lain lagi dengan sudut pandang Dinda atas kejadian yang membuat Daaron mengetahui ulahnya di vila terhadap Dikara. Dulu .... "Ren! Daaron!" Dinda tak kuasa mengejarnya. Sampai Daaron sendiri yang akhirnya kembali, setelah berkali-kali Dinda berusaha menemui. Hari di mana Daaron berucap, "Kumaafkan, tapi nanti kamu minta maaf juga ke Kara. Akui semuanya—" "Dia udah tau, kok." Daaron tampak terkejut, lebih daripada saat mendengar pengakuan Dinda. "Dan aku akan minta maaf, kamu tenang aja. Tapi ini kita ... lanjut, kan?" Dengan mata berkaca, penuh harapan. Masalahnya, Dinda sangat mencintai Daaron. Katakanlah sebagaimana Daaron terhadap Dikara di masa remaja. Pernah mencoba untuk melepas, tetapi saat itu Daaron datang dengan sangat alami laksana takdir Tuhan. Hingga perasaan cinta Dinda terpupuk lagi, lebih-lebih saat ini. Merasa tak boleh dia kehilangan Daaron yang sudah dimiliki. Dikara bahkan belum melihat bagaimana dirinya dan Daaron menjalin hubungan. Muncul perasaan seperti itu. Seolah yang Dinda rasakan bukan sepenuhnya cinta terhadap Daaron, tetapi hasrat untuk mengungguli Dikara, membuatnya kalah dengan hati yang patah, dan raut angkuh menyebalkannya itu dilibas derai air mata. "Ya." Daaron bilang, "Akur-akur sama Dikara. Bagaimanapun dia adikku walau nggak seayah dan seibu." "Aaa! Makasih!" Memeluk Daaron. "Aku cinta sama kamu, Ren. Tapi kamu janji jangan deket-deket dia lagi, aku juga janji akan nerima keberadaan dia. Kalau soal akur, tergantung, ya? Coba gimana kalo dia berulah. Godain kamu, misal?" Yang sudah berlalu .... "Aku cinta kamu, Ren." "Aku juga. Makanya itu kumaafkan." Demikian, makanya Dinda tidak takut bila Dikara mengungkit soal kejadian sepuluh tahun lalu kepada Daaron. Toh, sudah beres. Daaron sudah tahu, sudah memaafkan, dan menerimanya dengan segala problema di masa lalu. Waktu berjalan sejauh Daaron yang tidak lagi tergila-gila kepada Dikara di mata Dinda, jadi ... tenang saja. Daaron sedang tergila-gila kepadanya. Lihatlah. Perkara sedotan pun sampai sebegininya. Dinda menatap Dikara yang menyerahkan sedotan itu, lalu Daaron terima. Dinda senang. Dunia Daaron tak lagi berpusat di Dikara. Dia merasa Daaron jauh berada di pihaknya. Dinda bahagia. Dan Dikara salah besar telah menilai sepuluh tahunnya penuh gelisah. Maaf, ya. Dinda bahagia, tuh! Dia merasa beberapa tingkat di atas Dikara. Tinggal melewati satu anak tangga lagi, yakni pernikahan, Dikara telak Dinda kalahkan. Meski, yeah ... agak kepikiran saat melihat Dikara di tempat sekretaris tadi. Membuatnya geram dan emosi. Namun, Dinda hanya perlu membujuk Daaron untuk lekas menikahinya saja, bukan? Lalu tinggal bersama. Ya, benar. Sedang asyik memikirkan itu, Dinda mendengar Daaron berucap, "Bajumu basah, Ra." Oh. Tunggu! Detik di mana Dikara berbalik. Dinda juga melihat jejak basah di sana. Yang lalu Daaron meraih jas di kursi kerjanya, dia pasangkan ke tubuh Dikara sambil bilang, "Pakai ini dulu. Kelihatan tali branya pas kamu gerak tadi." Dinda menggigit bibir bagian dalam. "Minta tolong OB aja buat beliin baju gantinya, Yang." Kepada Daaron. Dikara yang jawab, "Nggak perlu." Seraya dia melepas jas itu, lalu dikembalikannya kepada sang empu. "Terima kasih atas perhatiannya. Saya ada jaket di motor, sedang OB ambilkan. Harusnya, sih, datang sekarang." Lalu pamit undur diri setelahnya. Baguslah! Namun, sebelum benar-benar hengkang, Dikara meraih minuman kaleng di meja yang telah diberi sedotan. Dinda belum sempat terpikir apa-apa, pun dengan Daaron. Sampai ketika Dikara tumpahkan cairan isotonik itu di atas kepala Dinda. Kejadiannya sangat cepat. Tanpa terkira. Daaron sendiri melongo untuk sesaat dibuatnya, sedangkan Dinda memekik. Hei! Dikara benar-benar menumpahkan isi minuman kaleng itu ke kepala Dinda yang posisinya sedang duduk di sofa. "Wah ... malah sepertinya tamu Anda, Pak, yang butuh pakaian ganti." Sambil Dikara serahkan kaleng minuman isotonik itu ke tangan Bang Daaron. "Atau mungkin jas tadi." Dikara akhiri dengan permisi. Daaron masih geming memandang mawar berduri itu, mawarnya ... Amerta Dikara Budiman. "Dikara!" Melangkah dengan pasti, disebut namanya pun Dikara tidak menoleh, apalagi berbalik. Tentu, yang tadi pekikan Dinda. Tunangan Bang Daaron. Yeah ... kalau bukan Dinda, mana mungkin Dikara melakukan hal seperti tadi. Di depan Bang Daaron. Laki-laki yang membuatnya repot perkara sedotan. Lihat, kan? Bagaimana saat Dikara bergerak. Di sini ... Dikara duduk dengan tenang, yang dia lirik dari dinding kaca ruangan sang atasan. Bang Daaron sedang sibuk menangani rajukan Dinda. Lalu tampak membalas tatapannya, bertepatan dengan datangnya sang OB. Dikara ulas senyuman, menerima jaket dari office boy, gegas saja dia melenggang tanpa menoleh lagi ke ruang di mana Bang Daaron berada. Arahnya menuju toilet. Tak perlu menuliskan notes hendak ke mana dirinya. Oh, ya ampun. Hari ini benar-benar merepotkan, ya? Sekian energi Dikara terkuras dari yang biasanya dia diam saja. Dan di kamar mandi itu, Dikara melepas pakaian, dia bungkus tubuhnya dengan jaket. Sekadar informasi, Dikara dibelikan motor oleh pipi di sini. Dikara yang minta, menolak mobil. Kalau mobil, sih, naik taksi online saja. Begitu caranya berpikir. Malas menyetir mobil yang rawan macet, malas juga kalau tiba-tiba Bang Daaron menumpang di mobilnya. Lain dengan motor, dia bisa nyalip, bisa pula menolak tebengan Bang Daaron dengan alasan sudah membonceng rekan. Meski risikonya harus berpanas-panasan di jalan. Syukurnya, tempat tinggal Dikara dekat dengan kantor ini. Ngomong-ngomong, di mana Dinda? Saat Dikara kembali ke ruangan, wanita itu tidak ada. Bang Daaron juga. Yang ada ternyata secarik kertas notes di komputer Dikara, dia meraih dan membacanya. [Let's fuckk.] Dibubuhi gambar acungan jari tengah yang asal dibuat, mengingatkan Dikara pada acungan jari tengahnya. Tulisan Bang Daaron, Dikara ingat. Persis begini. Dibolak-baliknya kertas kecil itu. Oh, ada tulisan lagi di bagian belakang. [Tapi nanti, nganter musuhmu dulu.] Musuh? Dinda? Sendirinya juga sama, kok. Musuh bagi Dikara. Bang Daaron juga musuh sejak pembicaraan di halaman belakang rumah mimi. Yang Dikara remas-remas kertas notes tersebut, lalu dia buang ke dalam tong sampah. Melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Oh, sial. Dikara sampai lupa gara-gara huru-hara yang Dinda perbuat, Bang Daaron sendiri sepertinya sama sekali tidak ingat. Ada agenda bertemu dengan klien utama. Diteleponnya kontak tersebut. Tiga kali panggilan tak diangkat. Sekali lagi Dikara hubungi atasan laknatnya. "Udah nggak sabar, hm?" Kalau bukan karena misi, Dikara ogah berada di sini. "Ya, setengah jam lagi ada jadwal ketemu sama klien utama Luxe cabang Bekasi." "Kok, baru bilang sekarang?" "Silakan ingat-ingat lagi saya melakukan apa saja tadi, termasuk Bapak saat ini." "Tetep harusnya kamu inget, dong. Di kondisi apa pun dalam gangguan yang bagaimanapun. Padahal kamu orang yang dipilih langsung sama kakek, mestinya—" "Dua puluh lima menitan lagi, mau terus ngomel apa langsung aksi dateng ke sana? Aku share alamatnya." "Oke, kirim." Nah, begitu dong dari tadi! Dikara mengirim alamat janjian, lengkap dengan informasi soal kliennya. Disadari atau tidak, tentang siapa yang lebih galak dari siapa di sini. Dan siapa yang seharusnya lebih patuh kepada siapa. Daaron dan Dikara. Mereka komposisi sialan yang sama-sama mencinta dengan cara saling menyerang. Sesaat melupakan kejadian semalam, tentang hangatnya sebuah pelukan dari dini hari hingga fajar menyapa. Terbangun dalam selimut yang sama, dengan bekas kiss mark di d**a satu sama lainnya. Eh, benar juga. Semalam .... "Can you see the 'f**k you' in my smile?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD