Aleena tidak akan nekat datang ke rumah tantenya jika dia tidak membutuhkan bantuan. Ibunya meminta dirinya untuk menemui Marisa, agar bisa memberikan pinjaman untuk membayar biaya semesternya yang sudah hampir terlambat. Sang ibu mengatakan jika Marisa adalah satu-satunya orang yang dapat membantunya. Itulah sebabnya dengan sangat terpaksa dia mendatangi rumah Tantenya itu.
Sebenarnya bukan hanya dirinya saja yang membutuhkan biaya, Aleena masih memiliki dua adik yang bersekolah dan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga ayah dan ibunya tidak bisa menyisakan dana untuk membayar semesternya kali ini. Pada akhirnya inilah jalan satu-satunya yang harus dia lakukan.
Usaha ayahnya yang belum lama ini mengalami kebangkrutan, menyebabkan finansial keluarga mereka menjadi tersendat. Semua terjadi begitu saja, andai saja dia tahu apa yang akan terjadi pada usaha ayahnya, mungkin Aleena tidak akan memilih berkuliah di Jakarta, jauh dari orangtuanya. Bisa saja dia akan membantu keluarganya untuk bekerja, mengingat jika dirinya adalah anak tertua di keluarganya.
“Leena sudah di sini, Tante, itu juga harus dipaksa dulu. Kalau gak dipaksa, dia gak akan mau datang. Malu katanya.” Marisa sedang berbicara di telepon dengan, Sekar, ibunda Aleena.
Aleena hanya menyimak percakapan Tante dan ibunya yang tengah membahas tentang pinjaman uang untuk membayar biaya kuliahnya. Aleena tahu bahwa Tantenya termasuk keluarga yang berada, suami wanita itu adalah seorang CEO di perusahaan keluarganya. Dia sedikit mencari tahu tentang perusahaan tersebut pun dengan CEO yang merupakan suami Tantenya, Agastya Dewandaru.
Marisa tertawa kecil saat berbicara dengan ibunya, meski dia tidak begitu tahu apa yang sedang dua orang itu bicarakan karena Marisa tidak menyalakan loud speakernya.
“Gak apa-apa tante, aku mau bantu kok, berapa aja pasti aku bantu. Iya, nanti aku sampein ke Leena-nya.”
Setelah mengatakan itu Marisa mematikan sambungan teleponnya dan menoleh pada Aleena yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang berada di dapur setelah tadi Aleena sempat bertemu dengan Agastya yang sekarang sudah kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan tidurnya.
“Berapa biaya semesternya, Len?” tanya Marisa tanpa basa-basi lagi pada gadis itu.
“Delapan juta, Tan. Lalu, ada biaya tambahan juga lima ratus ribu, jadi delapan juta lima ratus.” Aleena menggigit bibirnya saat mengatakan semua itu. Dia yakin itu bukan nominal yang sedikit dan dia cukup malu untuk meminjam pada Tante yang tidak begitu akrab sepanjang hidupnya ini. Hubungan mereka memang tidak terlalu dekat, mereka jarang sekali bertemu dan berkumpul, atau berkomunikasi. Mungkin hanya di hari-hari besar saja mereka bertemu itu pun jika mereka sempat bertegur sapa. Karena itulah, Aleena merasa sangat sungkan ketika sang ibu memintanya untuk datang ke rumah Marisa dengan maksud tertentu.
“Mana nomor rekening kamu, biar Tante transfer aja.”
Aleena segera membuka ponselnya dan memberikan nomor rekeningnya pada Marisa. Tidak berapa lama notifikasi m-banking masuk ke ponselnya memberitahu bahwa dana sebesar sepuluh juta masuk ke rekeningnya.
“Tan, kok, sepuluh juta?” tanya Aleena bingung disertai dengan ekspresi terkejut saat saldo rekeningnya menjadi dua digit.
“Sekalian buat makan kamu juga di kosan.” Marisa tau kalau Aleena ngekos sendirian di dekat kampusnya. Tapi, Marisa tidak akan meminta gadis itu untuk ikut serta tinggal di rumahnya mengingat ada suaminya. Dia tidak mau sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi di keluarganya, dan itu adalah pesan yang selalu diingatkan oleh ibunya untuk tidak membawa masuk wanita entah itu saudara atau teman ke dalam rumahnya yang memungkinkan bergesekan dengan suaminya, meski secara tidak langsung.
“Makasih, Tan. Tapi, papa pasti bayarnya agak lama karena ....”
“Gak apa-apa, Len. Kapan-kapan aja dibayarnya. Tante gak akan nagih kok.” Marisa tersenyum tipis.
Aleena tidak tahu harus berkata apa lagi, Marisa sudah sangat baik padanya dan dia merasa sangat berutang banyak pada wanita itu.
“Leena juga akan cari kerjaan Tan, biar gak terus-terusan ngrepotin, Tante,” katanya mengungkapkan rencananya.
“Kerja apa, Len? Memang kamu punya cukup waktu buat kerja? Lalu, kuliah kamu bagaimana?” tanya Marisa memberondong gadis itu.
“Punya, Tan. Setiap habis kelas Leena ada waktu kosong kan lumayan kalo gak dipakai buat yang penting. Mungkin Leena bakal cari di dekat-dekat kosan atau kampus aja, biar simpel.”
Marisa hanya manggut-manggut saja dan enggan berkomentar banyak. Dia tahu kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarga sepupunya saat ini, dan dia hanya bisa membantu semampunya saja.
Kemudian Aleena pamit undur diri karena dia harus masuk kelas pagi. Marisa mengantar gadis itu hingga ke halaman rumah dan kebetulan taksi online yang dipesan Aleena sudah datang.
“Kalau ada apa-apa hubungi Tante, ya!”
Aleena mengangguk, lalu kembali mengucapkan terima kasih pada wanita itu.
Ketika Marisa masuk ke dalam rumah dia bertemu dengan suaminya yang baru saja bangun tidur tengah mengambil minum di dapur.
“Pagi-pagi banget dia bertamu. Gak sopan.” Agastya mengungkapkan ketidaknyamanannya ketika tadi bertemu dengan gadis yang merupakan sepupu istrinya.
“Dia ada kelas nanti jam sepuluh makanya nyempetin datang pagi.” Marisa memberi penjelasan pada suaminya, mengapa Aleena datang lagi ke rumah mereka.
“Kayak gak punya waktu lain aja.” Agastya masih kesal tentang kejadian tadi. Dia memang tidak menyukai adanya orang lain di rumahnya di pagi hari, apa lagi di waktu weekend. Dia sangat tahu benar itikad bertamu yang baik dan benar.
“Iya-iya, nanti aku kasih tau dia untuk gak datang pagi-pagi banget. Lagian dia juga lagi butuh bantuan, makanya dia nekat ke sini.”
“Kamu pinjemin dia uang?” tanya Aga menyelidik. Tanpa bertanya pun dia sudah bisa menebak apa tujuan gadis itu datang dengan sangat mendadak.
“Buat bayar semesternya, udah telat banget, kasihan.”
Agastya berdecak. Sebenarnya dia sama sekali tidak masalah bila istrinya meminjamkan uang pada saudara yang membutuhkan, tapi dia hanya sedikit kesal dengan sikap pengutang yang kebanyakan tidak tahu diri setelah dipinjami. Tapi memang dasar istrinya yang kelewat baik sehingga dia tidak bisa mencegahnya. Lagi pula mereka bukan keluarga yang tidak mampu.
Marisa memeluk suaminya dari belakang dan menciumi punggungnya.
“Bagaimana tadi malam? Seru?” tanyanya mengalihkan percakapan mereka.
Agastya memutar tubuhnya menjadi menghadap pada sang istri.
“Seru. Kami harus antar Ronny pulang yang udah teler berat dan gak bisa bawa mobil sendiri.”
“Pasti dia bakal kena amukan Anita.” Marisa tertawa kecil membayangkan pria itu mendapat Omelan dari istrinya.
“Weekend ini kita mau kemana, Sayang?” tanya Aga yang tidak ingin kembali membahas tentang temannya.
Marisa tampak berpikir sejenak. “Gimana kalau kita ajak Farel ke wahana bermain? Sudah lama lho, kita gak ajak dia ke sana karena kamu sibuk terus,” katanya dengan bibir yang mencebik.
“Oke. Ayo, kita ajak Farel ke sana," ujarnya seraya mencuri kecupan pada bibir tebal istrinya.
***
Aleena baru saja menyelesaikan kelas paginya dan bersiap untuk menemui temannya di kantin. Mereka sudah janjian untuk mencari pekerjaan paruh waktu bersama. Dia dan Gaby, temannya sama-sama membutuhkan uang banyak.
“Gue udah cari di cafe-cafe tapi mereka lagi gak buka lowongan, Len. Sudah penuh katanya.” Beritahu Gaby, teman yang satu rumah kosan dengan gadis itu.
“Aku mesti dapat kerjaan, Gab. Butuh banget.”
“Iya, gue tau, Len. Nanti gue bantu cariin lagi. Di mana aja, ya, yang penting ada kerjaan.”
“Asal bukan LC aja, ya!”celetuk Aleena mengingatkan temannya.
“Leena, Lo itu good looking dan punya body yang aduhai sayang kalo gak dimanfaatin, minimal Lo jadi sugar baby, biar bisa dapat jatah bulanan dari sugar Daddy Lo dan gue kecipratan uang sakunya.”
“Gaby, mulutnya!” Aleena melotot tajam pada sahabatnya yang satu itu. Benar-benar tidak tahu malu berbicara seenaknya saja.
“Kalau Lo mau, gue bisa ngenalin Lo ke mucikari yang punya kenalan banyak g***n-g***n super kaya.” Gaby berbisik lagi menawarkan pada Aleena untuk menjadi simpanan g***n.
“Gak, ya, makasih.” Aleena segera mendorong tubuh Gaby yang menyender padanya.
“Lihat, Lo tau gak kalau dia itu ani-ani?" Gaby menunjuk ke arah seorang gadis yang tengah berjalan seorang diri dengan mengenakan pakaian yang sangat modis.
“Kelihatannya.”Aleena bergumam.
“Lo gak mau kayak dia aja, Len. Cuma ngangkang doang dapat duit puluhan juta.”
Aleena segera menepuk lengan Gaby kencang saling kesalnya.
“Aw! Sakit tau, Len.” Gaby meringis mendapat tamparan di lengannya dari Aleena.
“Kenapa gak kamu aja yang jadi simpanan g***n, malah nyuruh aku!” semburnya kesal.
Gaby tertawa terbahak-bahak. “Kan Lo yang pantes, Leena. Lo tuh cantik, mirip cindo, dan gak kurus banget. Lu tuh tipe-tipe yang diinginkan para g***n itu tau gak sih?!"
“Stres kamu, Gab!”