Kembali di hari Senin di mana semua orang sibuk dengan segala rutinitas sehari-hari yang menjemukan. Tak berbeda dengan Agastya yang pagi itu sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor.
“Sayang, coba pilih ....”
Agastya yang baru saja memasang dasinya dengan sempurna, lantas menoleh ke arah belakangnya pada sang istri yang membawa dua stel pakaian warna dan model yang berbeda.
“Menurut kamu bagus mana?” tanya Marisa lagi pada suaminya memegang setelan yang akan dipakainya hari itu.
Agastya mengusap dagunya seolah berpikir pakaian mana yang menurutnya bagus dan cocok untuk dipakai oleh istrinya. Padahal, ini sudah sering terjadi, Marisa akan bertanya pakaian mana yang lebih bagus untuk dipakai. Namun, setelah dia memberi pendapat, istrinya itu akan memilih model yang lainnya sehingga hasil pemikirannya tentang mana yang harus dipilih menjadi sia-sia.
“Dua-duanya bagus, Sayang,” kata Agastya tidak mau ambil pusing dengan yang mana pilihannya.
Wajah Marisa tampak cemberut. “Masa sih?" tanyanya tak percaya.
“Benaran. Kamu mau ada acara apa? Kamu gak kasih tau aku kalau mau pergi."
“Ada acara pertemuan di sekolah Farel, semua wali murid harus datang. Ya, sudah aku pakai yang kuning aja, deh." Marisa segera masuk ke dalam ruang pakaian dan kembali lagi setelah meletakkan dua pakaian tadi.
Agastya berdecak mendengar ucapan istrinya yang sama sekali tidak memilih kedua baju yang dipakainya dan memilih pakaian yang lain. “Dasar wanita!"
“Sudah selesai?" Tanya Marisa pada sang suami saat kembali keluar dari ruang pakaian.
Agastya mengangguk, kemudian dia melingkarkan tangannya pada pinggang sang istri dan mengajaknya keluar kamar.
Usai sarapan, Marisa akan mengantar Agastya hingga ke teras rumah. Sebelum pergi pria itu menyapa putranya lebih dulu dan mengajaknya untuk mengobrol sebentar.
“Nanti pulang telat?” tanya Marisa yang saat ini tengah bergelayut manja di lengan suaminya. Keduanya tengah berjalan menuju teras.
“Nanti aku kabari, ya. Aku gak tau, kayaknya Ronny minta diantar ke satu tempat nanti sore.”
“Tapi, gak aneh-aneh kan?" Marisa memicingkan matanya pada sang suami. Dia sangat tahu dari ketiga sahabat suaminya, hanya Ronny yang memiliki riwayat selingkuh paling parah. Dan, untungnya dia belum menemukan indikasi “selingkuh” dari suaminya sendiri.
“Gak, Sayang. Takut banget sih, kamu." Agastya mencuri kecupan di puncak hidung istrinya yang mancung. “Aku berangkat ya. Dah, sayang!"
Marisa melepaskan dekapan tangannya pada lengan sang suami dan melepasnya pergi seraya melambaikan tangannya.
***
“Leena!"
Aleena menghentikan langkahnya ketika mendengar suara yang memanggilnya. Kemudian dia menoleh ke arah belakang dan mendapati sahabatnya tengah berjalan cepat menuju ke arahnya.
“Kenapa buru-buru?" tanya gadis itu pada Gaby yang sudah sampai di tempatnya berdiri dengan napas tersengal-sengal.
“Gue boleh pinjam uang Lo gak? Gope aja, nanti akhir bulan gue ganti. Please!”
“Astaga, Gaby. Aku aja boleh pinjam sama Tante aku, masa kamu malah mau pinjam ke aku.” Aleena bersungut-sungut. Masalahnya sisa uang tabungan dia hanya tujuh ratus ribu, dari sisa bayar semesternya. Karena sebagian sudah dia belanjakan barang yang akan dia jual online.
“Please, Leena, tolongin gue.” Gaby masih memohon padanya.
Aleena menggigit bibirnya. Bila dia meminjamkan uangnya pada Gaby, otomatis uang tabungannya akan tersisa dua ratus ribu, sedangkan dia juga tidak tahu kapan ayahnya akan mengirim uang padanya. Sementara dia juga harus membayar sewa kos yang tenggat waktunya satu Minggu lagi. Leena pusing harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya di Jakarta.
“Len.” Gaby tampak tidak sabaran. “Lo kan bisa pinjem uang sama Tante Lo lagi, Leen.”
Aleena mengembuskan napas panjang. Demi persahabatan mereka. “Oke, tapi beneran ya, akhir bulan ini kamu bayar?"
“Siap! Thanks banget, Leena. Lo memang teman paling terbaik.”
Aleena hanya memutar bola matanya mendengar pujian basi dari Gaby. Dia harus memikirkan cara bagaimana bertahan dengan uang dua ratus ribunya sampai akhir bulan. Tidak mungkin dia harus kembali meminjam pada Tantenya lagi, sedangkan yang kemarin belum dia bayar.
Siang harinya saat kelas selesai, Aleena memilih menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Dia mencari lowongan pekerjaan sampingan demi mendapatkan penghasilan tambahan. Dia belum pernah berada di posisi semiskin ini setelah sembilan belas tahun hidupnya selalu terpenuhi. Orang tuanya selalu memberi yang terbaik untuk anak-anaknya, pakaian yang layak, makanan yang bergizi, dan kebutuhan lainnya dengan serba yang berkualitas. Namun, untuk sekarang ini sepertinya roda kehidupan mereka sedang berada di posisi paling bawah, yang artinya mereka harus bisa melewatinya. Sebenarnya Aleena ingin berhenti kuliah tapi ayahnya melarang dan memintanya untuk tetap kuliah.
“Papa akan mengusahakan agar kamu bisa lanjut kuliah, Leena. Jangan khawatir papa tidak akan diam saja dan melihat anak-anak papa putus sekolah.”
“Leen."
Aleena tersentak dari lamunannya mendengar seseorang memanggil namanya. Gaby menyusul Aleena yang berada di perpustakaan.
“Lo mau kerjaan ‘kan?" tanya Gaby dengan suara pelan.
Aleena lantas menatap ke arah Gaby dengan raut wajah serius. “Ada?" tanyanya memastikan ucapan Gaby.
Kepala Gaby mengangguk. “Tapi malam, Len. Dan, cuma buat Lo, nanti gue anterin ke sana.”
“Kerja apa?” tanya Leena lagi yang tidak mau asal mendapat kerjaan saja. Dia harus lihat-lihat apakah itu pekerjaan yang baik untuknya atau tidak.
“Nanti malam gue antar ke sana, ya."
Aleena mengangguk saja. Dia memang sangat membutuhkan pekerjaan sampingan, apa saja akan dia lakukan demi mendapatkan penghasilan tambahan agar dia tidak merepotkan orang-orang disekitarnya.
***
Agastya bertemu dengan Ronny di salah satu bar yang bukan langganan mereka nongkrong, tapi Ronny lebih suka di tempat ini yang lumayan bebas. Ini memang bukan kali pertama Agastya datang ke bar tersebut dan dia lebih suka di tempat favorit mereka di Glass House ketimbang di tempat ini yang tidak terlalu bersih tempatnya.
“Kenapa di sini?” tanya Agastya begitu dia baru sampai dan menemukan Ronny yang sudah lebih dulu minum.
“Cari suasana baru lah, Ga. Bosen di sana terus.”
“Ah, gak percaya gue, Ron. Pasti Lo lagi kangen mantan Lo, ‘kan! Ngaku aja loh, buaya!”
Ronny tertawa terbahak-bahak. “Ketauan gue.”
Agastya meraih minumannya dan menghabiskannya hanya sekali teguk.
“Lo gak cari selingan, Ga? Apa lo gak bosen sama Icha setelah enam tahun kalian nikah?” tanya Ronny yang mulai membahas tentang kehidupan rumah tangganya.
“Ya, Ron, kalau gue bilang jenuh ya, jenuh, tapi gimana ya ... gue udah cinta sama Icha, dia juga udah kasih gue anak yang ganteng. Apa lagi yang gue cari?”
“Lo gak ada niat buat nakal sedikit?” tanya Ronny memancing sahabatnya yang dinilai tidak pernah neko-neko meski di masa lalu Agastya adalah seorang playboy yang hobi gonta-ganti pasangan sebelum akhirnya berlabuh pada Marisa. “Lo gak penasaran sama gadis-gadis muda itu, mereka keliatan masih baru mekar, Ga. Pasti gurih banget.”
Agastya melihat ke arah para gadis muda yang baru saja masuk ke dalam bar. Kemudian pria itu berdecak.
“Mereka pasti anak-anak es-em-a yang udah kenal dunia beginian. Zaman udah rusak rupanya," ucap Agastya dengan nada miris.
“Lo baru nyadar Agastya. Astaga kemana aja Lo selama ini, Bro?!”
Agastya tertawa seraya menggelengkan kepalanya. Kemudian dia memandang ke lantai bawah di mana ada dua gadis yang baru saja masuk ke dalam bar. Meskipun hanya bertemu satu kali, sepertinya Agastya mengenali salah satu gadis itu.
“Ngapain dia di sini?” Agastya mulai berpikir negatif tentang gadis itu yang kata istrinya meminjam uang untuk membayar biaya semester, tapi nyatanya gadis itu malah berada di tempat laknat ini. “Sialan, ternyata dia cewek nakal.”
Agastya akan memberitahu Marisa mengenai sepupunya yang berada di bar dan melarangnya untuk meminjamkan uang lagi.
“Ron, gue turun bentar ya!" katanya pamit pada sahabatnya itu.
“Lo mau kemana, Ga?” tanya Ronny yang tidak mendapat jawaban dari Aga. “Oy, Agastya!” Namun, sayang Agastya sudah turun ke bawah bergabung dengan pengunjung yang memenuhi tempat itu.
Sementara itu, Aleena terkejut ketika Gaby membawanya ke sebuah kelab malam. Dia sempat menahan tangan Gaby dan menolak untuk masuk.
“Kita ngapain di sini?” tanyanya dengan napas memburu.
“Tenang aja, Len, ada gue. Gue bakal nemenin lo.”
Aleena mulai tidak nyaman. Dia tidak suka tempat itu. “Sebenarnya kita ngapain ke sini?”
“Kerja. Kan katanya Lo mau kerja, Leena.”
“Tapi ya gak di tempat begini juga, Gaby.”
Gaby tampak lelah menghadapi Aleena yang menurutnya sok suci.
“Len, Lo mau kerja di mana lagi? Nyari kerja tuh susah Lo gak akan dapat. Kecuali Lo kerja di tempat beginian, selain gampang Lo juga bakal dapat tip besar," ucap Gaby yang sok menggurui.
Aleena tersenyum sinis pada Gaby, temannya yang baru dia ketahui sifat aslinya setelah mereka berteman kurang lebih enam bulan.
“Gue gak Sudi, Gab.” Aleena memutar tubuhnya meninggalkan tempat itu dengan perasaan marah. Dia sungguh kecewa pada Gaby.
“Leena!"
Tiba-tiba saja dua orang menghadang Aleena yang hendak keluar. Tentu saja gadis itu terkejut.
“Ini orangnya?" Tanya salah satu pria itu pada seseorang di belakangnya.
Aleena terkejut lantas menoleh ke arah belakangnya dan melihat Gaby mengangguk. “Sial! Sepertinya aku dijebak,” pikirnya kesal.
“Gaby! Kamu jual aku?!” tanyanya marah.
“Sorry, Len." Gaby menggigit bibirnya menyesal.
“Kurang ajar kamu, Gaby!"
Kedua tangan Leena berhasil dicekal oleh dua pria itu dan membawanya masuk ke dalam salah satu ruangan di bar tersebut.
“Tolong!”
Tidak ada yang bisa mendengar suara teriakan Aleena karena suara musik DJ yang menghentak memekakkan telinga.