Bertemu Keluarga Ghazanvar

1056 Words
Setelah delapan kali gonta-ganti pakaian, akhirnya Naraya menyerah dan menggunakan pakaian yang dia pilih pertama untuk dipakai ke acara makan malam keluarga Ghazanvar. Bukan hanya dihadiri oleh keluarga inti Ghazanvar saja yang terdiri dari kedua orang tua dan keempat adiknya melainkan kakek nenek beserta kakak dan adik dari papi Arkana juga menghadiri acara yang sengaja diadakan untuk memperkenalkan Naraya kepada seluruh keluarga Ghazanvar. Informasi yang Ghazanvar dan mami Zara sampaikan mengenai acara ini terlalu mendadak sehingga Naraya tidak memiliki waktu untuk membeli pakaian yang menurutnya pantas menghadiri acara keluarga Gunadhya yang Konglomerat itu. Entah kenapa Naraya memiliki perasaan harus dinilai baik oleh keluarga Ghazanvar padahal bukan dia yang pertama kali menginginkan pernikahan ini. Naraya menatap dirinya di cermin meja rias, bertanya-tanya apakah dia pantas menjadi menantu sang Konglomerat, menjadi istri Ghazanvar Nawasena Gunadhya-salah satu pewaris kerajaan bisnis terbesar di Negaranya? Tok … Tok … Suara ketukan di pintu ruang tamu membawa Naraya kembali pada dunia nyata sementara pertanyaan yang benaknya gaungkan belum sempat terjawab. Naraya sendiri tidak tahu jawabannya dan malam ini dia akan mencari tahu dengan menghadiri acara keluarga Ghazanvar. Bila semua orang ramah padanya berarti dia pantas menjadi menantu Gunadhya tapi bila ada yang tidak menyukainya berarti dia sebenarnya tidak pantas, yang lain hanya berbaik hati saja menghargai keinginan mami Zara. Naraya tahu siapa yang mengetuk pintu, dia bisa pastikan kalau itu kekasihnya. Dan benar saja, begitu membuka pintu—ketampanan Ghazanvar langsung memenuhi pandangan matanya. “Selamat sore, pacar.” Ghazanvar menyapa bersama senyum manis yang membuat Naraya diabetes. “Selamat sore Abang ….” Naraya balas menyapa. “Udah siap?” Pria itu bertanya dan satu anggukan kepala Naraya berikan untuk menjawab pertanyaannya. “Nay ambil tas dulu ya.” Naraya masuk ke dalam rumah usai berkata demikian, membiarkan Ghazanvar menunggu di teras. Tidak lama Naraya keluar membawa tas, tidak lupa menutup pintu dan menguncinya. Setelah itu Ghazanvar langsung menggenggam tangan Naraya, mereka berjalan bersisian menyusuri gang menuju jalan besar di depan. “Sore Pak … Bu ….” Naraya menyapa pasangan paruh baya tetangganya yang sedang duduk di teras rumah. “Sore Nay.” Sang istri yang menyahut. “Jangan pulang malem-malem, Nay.” Si suami berpesan yang dibalas Naraya dengan senyum lebar. “Kamu kenal mereka?” Ghazanvar bertanya basa-basi. “Kenal donk, mereka ‘kan tetangga Nay.” “Oooh ….” Ghazanvar membentuk mulutnya seperti huruf O. “Kamu mau ke mana sih, Nay?” Ghazanvar menoleh sekilas menunjukkan tampang tidak suka yang dibuat-buat. Mulut Naraya sudah terbuka dengan wajah pucat namun urung bersuara lantaran Ghazanvar menyerobotnya. “Cantik banget.” Pria itu lalu tersenyum. Raut wajah Naraya yang tadinya tegang dan pucat seketika melembut dan merona, dia juga tersenyum. “Padahal tadi Nay bingung banget mau pake baju apa, Nay enggak punya baju yang pantes untuk menghadiri acara keluarga Konglomerat.” Suara Naraya mengecil diakhir kalimat. “Kamu pake apa aja cantik, Nay ….” Dan pipi Naraya semakin bersemu karena pujian Ghazanvar tersebut. Mereka pun tiba di samping mobil Ghazanvar yang terparkir di pinggir jalan. Seperti biasa, Ghazanvar membuka pintu mobil untuk Naraya. Sikap manis pria itu tentu saja membuat hati Naraya meleleh, Naraya percaya kalau Ghazanvar melakukannya dari hati karena tidak pernah lupa membukakan pintu untuknya setiap kali hendak menaiki mobil. “Acaranya di rumah kakek, jadi kita sekarang ke rumah kakek ya,” kata Ghazanvar memberi tahu tujuan mereka setelah mobil yang dikemudikannya melaju dengan kecepatan sedang. Naraya menganggukan kepala. “Apa kakek dan nenek udah tahu siapa aku, Bang?” “Udah… semua keluarga aku udah tahu siapa kamu dan mereka ingin bertemu kamu.” Naraya mengangguk saja tanpa suara, dia menunduk menatap kedua tangannya yang saling meremat karena gugup di atas pangkuan. Dia terhenyak saat Ghazanvar meraih tangannya untuk kemudian pria itu genggam. Tangan Naraya kini berpindah ke paha Ghazanvar, seperti biasa Ghazanvar akan memainkan tangannya dalam genggaman itu dan kali ini Naraya membalas. Ghazanvar menoleh sebentar memperlihatkan senyumnya kemudian fokus kembali pada jalanan di depan. Ponsel Ghazanvar yang berada di antara jok mobil bergetar pendek menandakan sebuah pesan masuk. Dengan cepat tangan yang memegang stir meraih ponsel tersebut sebelum akhirnya kembali pada stir. Tingkah Ghazanvar selalu mampu membuat hati Naraya jumpalitan, seperti saat ini—alih-alih melepaskan genggaman tangan dengan Naraya—Ghazanvar malah memegang ponsel membalas pesan menggunakan satu tangan yang juga memegang stir. Naraya berusaha melepaskan genggaman tangan Ghazanvar namun pria itu malah mengeratkan genggaman tersebut. “Abang bales dulu chat-nya.” “Ini lagi bales,” katanya sembari sesekali melirik pada ponsel. Keren sekali, bukan? Bagaimana wanita tidak jatuh hati dengan mudah kepada Ghazanvar? Beberapa saat kemudian mereka tiba di komplek perumahan elit, mobil Ghazanvar pun melambat setelah beberapa kali belok sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah gerbang besar dan mewah. Detik berikutnya gerbang besar itu terbuka, Naraya seketika menganga melihat betapa megah rumah kakeknya Ghazanvar. Halaman rumahnya saja bukan menggunakan paving blok melainkan keramik. Ghazanvar memarkirkan mobilnya di garasi yang dapat menampung sepuluh mobil. Naraya berhasil menghitung mobil yang terparkir di sana tapi masih banyak tempat untuk sekitar lima mobil lagi. Layaknya sepasang kekasih, Ghazanvar menggandeng tangan Naraya menuju pintu utama. “Mereka udah kumpul, tinggal kita kayanya.” Pria itu berujar. Belum sempat Naraya menanggapi, dia dibuat kembali ternganga saat melihat pintu utama rumah itu yang dua kali tinggi Ghazanvar. Ghazanvar sendiri memiliki tinggi hampir dua meter dan pintu itu setinggi dua kali tinggi Ghazanvar. Pintu berbahan jati kualitas nomor satu itu memiliki handle pintu tinggi dengan detail klasik dan ukiran yang halus begitu juga ukiran pada pintunya. Begitu pintu dibuka, mata Naraya langsung membulat karena terkesima. Setiap marmer yang menjadi list pada dinding dan lantai adalah marmer Italy yang asli dan tidak memiliki sambungan. Ghazanvar menuntun Naraya masuk lebih jauh ke dalam rumah. Saat memasuki ruang tamunya saja Naraya merasa sangat kecil saking luasnya ruangan tersebut apalagi ketika mereka lanjut masuk ke ruang keluarga dengan televisi besar sebesar layar di bioskop tergantung di dinding. “Mereka kayanya di ruang makan luar,” kata Ghazanvar setelah mendengar suara tawa dari arah luar. Jantung Naraya berdetak kencang sekali, kakinya melemas, dia rasanya ingin pulang saat ini juga. Naraya ingin menyerah dan mengundurkan diri saja dari calon istri Ghazanvar. “Naaay.” Sebuah suara lembut dan hangat membuat kepala Naraya mendongak. Ternyata mereka sudah berada di luar ruangan tepatnya di depan sebuah kolam renang yang besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD