BAB 3

2054 Words
"Jika diibaratkan, putus itu seperti asteroid yang keluar dari orbitnya. Pilihannya cuma dua, mencari cara untuk kembali pada orbit yang lama atau membiasakan diri di orbit yang baru." - Alamsyah Tomas Wijaya - "Busyet dah, ini apaan?" dengusku sambil menatap soal-soal Fisika yang tengah coba aku cerna. Deretan rumus-rumus dari Torsi dan keseimbangan benda Tegar telah sukses membuat otakku yang sempit ini makin sesak napas. Rasanya aku perlu mengeluarkan beberapa ingatan di otakku untuk membuat spasi agar otakku mau setidaknya mengingat dua atau tiga rumus yang mungkin akan berguna untuk ulangan besok. "Udah ah," kataku menyerah lantas merebahkan diriku di kasur. Menatap langit-langit kamarku sama sekali nggak membantu dalam memperluas rongga otakku. Aku tiba-tiba jadi teringat tentang kak Pascal, maybe dia bisa membantuku untuk setidaknya, berdamai dengan Fisika. Kak Pascal ahli Kimia, secara logika, dia pasti menyukai Fisika. Secara Fisika dan Kimia masih serumpun. Jika manusia, masih satu ayah atau ibu. Aku pun mengambil handphone milikku yang lagi diisi dayanya. Aku membuka kontak dan seketika teringat kalau aku, pacar kak Pascal, belum punya nomernya. "Awkwkkwk banget," ucapku sambil mencebikkan bibir. "Gimana nih?" kataku sambil memutar bola mataku ke atas, mencoba mencari ide. "Oke, nanya Sota aja," akhirnya setelah beberapa detik mikir, ide itu pun muncul.Segera, aku menelpon Sota. "Halo? Dengan Sota yang cantik jelita di sini, ada yang perlu diruqyah?" cerocos Sota dengan suaranya yang sedikit cempreng. "Kamu tuh yang perlu dirugyah," sahutku sewot. Terdengar suara cekikikan Sota di ujung telpon. "Ada apa, Valenci? Kamu kehilangan bilangan Kuantummu?" ledek Sota "Nggak ya," sanggahku. "Cuma kehilangan nomer kontak kak Pascal. Kamu punya?" "Weh, weh, weh, kamu nggak punya nomernya kak Pascal yang merupakan cowok ganteng, manis, pinter serta idaman cewek-cewek berbagai kalangan itu?What? Are you kidding me?Pacar macam apa kamu, Val," omel Sota dengan nada alay, sepertinya dia sudah ketularan Anggoro. "Iya, dah. Serah," sahutku malas."Jadi punya nggak, Sot?" "Nggak," jawab Sota yang langsung membuatku ngeflat. "k*****t, Sot!" "Haha." Sota terbahak menganggap lucu respon dariku. "Lagian, nomer pacar sendiri nggak punya. Jangan bersifat pasif, dong," saran Sota. "Ya mau gimana, dia nggak nanya nomerku. Masak aku nanya duluan? Gengsi, dong," kataku beralasan. "Gengsi itu berlaku buat dua orang yang saling sayang tapi nggak bilang. Bukan sama dua orang yang udah pacaran," omel Sota lagi. "Ya, tapi kan aku belum cinta atau sayang sama dia, Sot!" sanggahku lagi. Sota terdengar mengembuskan napas pelan. "Kak Pascal kurang apa sih, Val? Dia itu udah ganteng, pinter, femes lagi," kata Sota heran. "Kurang baik untuk dikhayalkan, Sot. Kalau aku ngayal ketinggian, ntar jatuhnya sakit banget," sahutku. "Emang nggak mungkin banget dia suka kamu?" tanya Sota heran. "Dia itu mau pacaran sama aku, karena kasihan aja. Lagian kalau aku udah sembuh dari patah hati, kami akan bubar," jelasku. "Yaudah, buat aja dia suka sama kamu, Val," usul Sota. "Hah?" "Kamu kan sekarang jadi pacarnya nih, bisa dong kamu pepet dia?" tanya Sota antusias. "Ih, gila kamu," sahutku agak kaget dengan ucapan Sota. "Nih ya, kalau aku jadi kamu, udah aku pepet trus hantam tuh kak Pascal," kata Sota lalu terkekeh geli. "Dih, emang kamu pikir lagi balapan?" desisku rada sebal. "Iya, balapan menangin hati Cogan. Haha." Sota ketawa lagi, senang amat dari tadi dia ketawa. Aku harap giginya nggak kering saja karena ketawa mulu. "Btw, Sot, kamu udah belajar buat ulangan Fisika besok?" tanyaku membuka topik baru. "Nggak," jawabnya santai. "Lah, trusulangan besok gimana?" tanyaku. "Nyontek Nagara aja," jawab Sota dengan polosnya. "Nagara? Maksudmu Nagara Aleanata?" tanyaku memastikan Nagara yang Sota maksud. "Iyalah, emang di kelas kita ada Nagara yang lain?" Sota membalikkan pertanyaan. "Nggak takut ketahuan, Sot? Gurunya killer banget lho," kataku mengingatkan. "Dimana-mana guru ya emang killer, Val," sahutnya santai. "Tenang ajalah, si Nagara jangankan ngasih contekan, ketahuan molor pun nggak akan dimarahin, dia kan kesayangan guru." "Iya, Nagara kesayangan guru. Nah kalau kamu?" tanyaku. "Aku? Pacarnya Anggor tersayang," jawab Sota tanpa tahu malu. "Aish, tauk ah. Udah ya, aku mau nyoba belajar Fisika dulu," kataku ingin menyudahi percakapan yang nggak ada faedahnya ini. "Oke, hwating ya," kata Sota lalu menutup telpon lebih dulu. Setelah telpon Sota dimatikan, aku mencharger handphoneku. Aku pun kembali mengarahkan fokusku pada buku-buku Fisika yang sedang coba aku pelajari. Semenit, dua menit, dan langsung rebahan lagi. Sumpah, pening. Tiba-tiba perhatianku mengarah pada deru sepeda motor yang memasuki halaman rumah. Aku segera keluar dari kamar, menyambut kakakku satu-satunya. "Mas Atom!" sambutku dengan senyum sumringah. Mas Atom mengerutkan dahinya saat selesai memarkir sepeda motor dan melihatku yang jarang menyambutnya berlari ke arahnya. "Nggak punya uang receh," ledek Mas Atom begitu sudah ada di depanku. Aku memanyunkan bibirku, kesal. "Nyebelin amat, Mas. Emangnya aku pengamen?" gerutuku sebal. Mas Atom ketawa mendengar gerutuan dariku membuat wajahnya yang emang putih kayak porselen makin kelihatan cling-cling kayak iklan cuci piring. "Ada apa, Val?" tanya mas Atom sambil melangkah masuk ke kamarnya. "Ajarin Fisika dong, Mas," jawabku setengah meminta bantuan darinya. "Ogah," jawab Mas Atom sambil meletakkan tas ranselnya di meja belajar. "Pelit amat Mas sama adik sendiri," kataku sambil memanyunkan bibirku. "Justru karena adik sendiri, aku pelit. Lagian belajar sendiri napa, gunakan otakmu, Val," "Udah belajar, tapi nggak masuk-masuk, Mas," sahutku. "Aish, kamu aja yang Oon," dengus Mas Atom mengejekku. "Mas, manusia itu kalau nggak otak kanan ya otak kiri. Cuma karena nggak bisa Fisika, bukan berarti aku Oon," balasku. Mas Atom mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Ish, nyahut aja," katanya. "Hehe." Aku cengengesan. "Mas, ajarin ya," pintaku sekali lagi. "Mas lagi capek sih, cuma jelasin Fisika aja?" tanya mas Atom. Aku nyengir. "Sekalian bantuin ngerjain Kimia," jawabku. "Aish, pacarmu kan ahli Kimia. Kok nggak nanya dia aja?" tanya mas Atom heran. "Kak Pascal sibuk," jawabku berbohong. "Sesibuk-sibuknya dia, kalau buat pacar, harusnya ada waktu!" kata mas  Atom. "Ish, kayak yang mas udah pernah punya pacar aja!" sahutku. "Haha, nggak harus punya pacar dulu buat ngomong gitu. Lagian salah satu alasanku nggak punya pacar ya gitu," kata mas Atom. "Gitu gimana?" tanyaku masih bingung. "Nggak ada waktu buat sekadar ngasih kabar, nanyain udah makan atau belum, sibuk ngurusin diri sendiri. Daripada nanti aku bikin anak orang nunggu sampe kering, mending nggak pacaran," jelas Mas Atom. "Oh gitu," kataku mulai paham sama jalan pikiran Mas Atom yang ternyata udah mulai berkembang. "Oh ya, pacarmu yang sekarang baik, Val?" tanya Mas Atom kepo. "Lumayan," jawabku. "Kenapa?" "Ya, takutnya geser juga kayak yang kemarin," "Si b******k itu beda jauh sama kak Pascal," umpatku tanpa sadar. "Ish, ngomongnya. Jangan kasar gitu cuma karena udah putus!" kata Mas Atom nasehatin. "Sakit hati aku, Mas," sahutku emosi. "Val, jika diibaratkan putus itu kayak Asteroid yang keluar dari orbitnya. Pilihannya cuma dua, nyari cara untuk kembali ke orbit yang lama atau membiasakan diri di orbit yang baru," kata mas Atom dengan bijak. "Valenci udah ketemu orbit yang baru, Mas," kataku. "Haha, iya, semoga kali ini orbitnya nggak menyimpang," doa Mas Atom. "Semoga," sahutku. "Yaudah, ambil bukunya sana! Selagi masmu jomblo, aku ajarin!" katanya. "Oke," sahutku lalu keluar dari kamar Mas Atom. Tak lama kemudian, aku pun balik lagi ke kamar mas Atom untuk belajar Fisika sekaligus ngerjain PR Kimiaku. Aku pikir, belajar sama mas Atom yang jomblo sekaligus kakakku akan semanis gula Aren. Nyatanya, belum juga semenit mas Atom udah dakwah. "Bodoh amat sih, Val," "Kamu sekolah berapa tahun, gini doang nggak bisa?" "Ya ampun, otakmu mirip sapa sih? Oon amat." Ya begitulah, kira-kira dakwah mas Atom yang kalau saja aku nggak butuh bantuannya, nggak dosa dan nggak masuk penjara, sudah aku kasih sianida aja dia biar kayak asteroid yang hangus karena lapisan ozon. *** Aku memangku wajahku dengan kedua tangan. Pelipisku terasa pening, keringat juga banyak karena stress yang menumpuk. Untungnya lemakku nggak menumpuk di depan, suka keluar lewat cinta tiap pagi. Aku baru selesai ulangan Fisika. s**l banget, udah nggak paham, ulangannya jam terakhir di saat otakku udah nggak fresh lagi. Entah bagaimana sistem sekolahku hingga meletakkan mata pelajaran terkutuk itu di jam terakhir. Gurunya juga semangat banget ngadain ulangan di jam terakhir. Nggak tahu apa kalau aku udah mirip paus terdampar. Sekarang, aku tengah duduk di depan sekolahku, nungguin jemputan. Jam pulang sekolah udah berbunyi dari tadi, walau sebagian murid masih di sekolah. Bernasib sama sepertiku, belum dijemput atau sengaja nggak pulang buat ketemu pacar atau binjar. "Val!" Panggilan itu membuatku menoleh, aku melihat Sota yang masih belum pulang berdiri di depanku. "Gimana ulanganmu barusan, Val?" tanya Sota yang langsung ngebuat aku menatapnya dengan wajah yang merengut. "Serius nanya?" delikku sebal. Sota cuma nyengir. "Katanya udah belajar?" sindir Sota. "Iya, sayangnya soal ulangan beda jauh sama yang dipelajari semalem," sahutku rada sewot. Sota tergelak pelan.   "Makanya, belajar yang bener! Jangan cuma ngafalin rumus!" ledek Sota. "Aish, yang cuma bisa nyontek nggak usah komen!" balasku yang langsung ngebuat Sota makin ngakak. "Kamu nggak ketemu kak Pascal?" tanya Sota. Aku menggeleng pelan. "Kak Pascal bilang ada bimbingan," jawabku. "Tahu dari mana?" tanya Sota. "Tadi ketemu kak Pascal?" Aku menggeleng. "Nggak, tadi kak Harp yang nyampein sama aku. Kak Pascal sibuk, jadi hari ini kami nggak ketemu!" jelasku. "Aih, pacar macam apa yang nggak bisa ketemu pacarnya meski satu sekolahan?" sindir Sota. "Pacar yang nggak alay macam pacarmu!" balasku. Sota ketawa. "Jangan PMS, dong! Becanda doang aku!" kata Sota sambil merangkul lenganku. "Jadi, kamu pulangnya sama aku?" tanya Sota. Aku menggeleng. "Nggak, kenapa? Mau ngasih tebengan?" Sota menggeleng. “Nggak sih,” sahut Sota. “Trus ngapain nanya?” dengusku kesal. Sota nyengir. "Nanya aja,” jawabnya. “Trus pulang sama siapa kamu, Val?" "Sama mas Atom," jawabku. "Dijemput?" tanya Sota lagi. Aku mengangguk. "Tumben amat mas Atom mau jemput," kata Sota heran. "Iya, sebagai ungkapan terimakasih kemarin aku udah bantuin dia buat izin sama mama pulang malam," jawabku. "Weh, mas yang pengertian!" puji Sota. "Jangan naksir, masku homo!" kataku yang langsung ngebuat Sota ngakak. "a***y. Cowok ganteng emang cuma dua tipe, kalau nggak b******n ya homo," celoteh Sota. "Aih, kak Pascal nggak gitu ya," sanggahku. "Iya, iya, pacarmu yang ganteng itu nggak dua tipe itu! Atau jangan-jangan dia itu tipe cowok nggak ganteng?" ledek Sota. Aku memanyunkan bibirku sedikit mendengar Sota berkata begitu. "Kak Pascal ganteng tauk," belaku. "Pacarmu kali yang kurang ganteng." Sota terkekeh. "Mas Anggor emang kurang ganteng, tetapi dia manis berlebih sampe bikin obesitas," balas Sota nggak mau kalah. "Aih, alay amat," kataku. "Biarin.Week," kata Sota lalu menjulurkan lidahnya untuk meledekku. "Btw, aku duluan ya," pamit Sota. "Nggak pake sepeda motor sendiri?" tanyaku. Sota menggeleng. "Dijemput sayangku," jawabnya dengan satu mata yang dikedipin untuk menggodaku. "Aish, pantesan nggak bisa ngasih tebengan,” Sota ketawa kecil. “Udah sana," usirku. Sota ketawa lagi. "Udah ya, hati-hati baper lihat yang lain dijemput sedangkan kamu dianggurin," ledeknya. "Ish," desisku yang langsung ngebuat Sota kabur. Tak lama kemudian mas Alamsyah Tomas Wijaya alias mas Atom datang. "Val," panggilnya yang membuatku langsung beranjak dari dudukku. "Lama amat, Mas," keluhku sambil mengambil helm yang diberikan mas Atom padaku. "Parkiran penuh, nunggu sepi dulu," jawab mas Atom beralasan. "Nggak binjar Mas?" tanyaku. "Males," jawab mas Atom santai. "Nggak apa-apa nggak binjar?" tanyaku. "Nggak apa-apa, lagian binjar Fisika. Meski nggak masuk nggak ngaruh," kata mas Atom rada songong. "Aish, songong amat Mas," sindirku. "Songong nggak apa-apa asal mampu. Kalau nggak bisa tapi songong, itu yang minta disleding!" sahut mas Atom menyanggah ucapanku. "Dari hati amat tuh kata-kata," ejekku. Mas Atom cuma tersenyum kecil. "Dikit," aku-nya. "Yaudah, naik!" suruhnya. Aku mengangguk pelan sambil duduk menyamping untuk bonceng. "Oh ya mas, PR Kimiaku tadi malam ada yang salah," kataku. "Ya, namanya juga manusia, kalau nggak otak kanan ya kiri!" jawab mas Atom yang langsung ngebuat aku nyubit pinggangnya. "Aw! Sakit Val!" protes mas Atom. "Biarin! Suruh siapa balikin kata-kata dari Valenci tadi malam!" kataku sewot. "Eh, ngerasa ya?" tanya mas Atom pura-pura b**o. "Tauk ah! Berangkat, Jek!" suruhku. "Nggak ada tukang ojek ganteng!" elak mas Atom. "Adanya apa?" tanyaku. "Cowok ganteng," jawab mas Atom sambil nyengir. "Ih, apa sih mas! Udah? Udah makan?" sahutku. "Belum," jawab mas Atom. "Mau ditraktir?" "Ih, nggak," sanggahku cepat. "Haha." Mas Atom ngakak, aku manyun. Sepeda motor pun mulai melaju meninggalkan sekolah. Bersama mas Atom, hari ini jadi biasa saja. Jadi ingat kata Sota, kalau meski sama-sama ganteng, berdua sama saudara dan orang yang disuka, itu rasanya beda. Oh ya, hari ini, aku juga lupa buat minta nomernya kak Pascal. Pacarku itu, apa kabar ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD