"Cinta itu nggak pernah salah. Yang salah, kalau kita sudah tahu orang yang kita cintai sedang menjalin hubungan dengan orang lain tetapi masih memaksa untuk bersama,"
- Valenci Anggraini Wijaya -
Pagi-pagi, aku udah dibuat BT. Sepagi ini, si Pluto yang walau nomernya udah nggak aku save tapi belum bisa dilupakan otakku, mengirimiku pesan yang sama dengan yang dia kirim sejak semalam.
082******016
Val, balikan yuk?!
Balikan? Dia pikir balikan semudah nyeka iler? Nyebelin.
Aku heran, bagaimana bisa dia mengirim pesan seperti itu padaku? Apakah dia sudah lupa kalau dia itu sudah meng-alkena cintaku? Atau dia sudah amnesia kalau dia nyaris seperti Mars yang ingin punya dua satelit?
Dasar cowok setengah matang.
"Weh, pagi-pagi udah mantengin handphone. Mesranya yang baru punya pacar,"
Sindiran itu membuatku menahan napas sebentar, sekadar menahan diri biar nggak panas trus meledak.
"Masih aja gatal ngurusin urusan orang, Del?" delikku setengah menyindir pada Delilia Azizah, temen sekelasku yang keponya bisa dibilang berlebihan.
Delia melengos saat aku pandang lalu duduk di bangkunya setelah mengibaskan rambutnya ke belakang bak iklan sampo di TV.
"Kepo itu udah sifat manusia," sahutnya tanpa menoleh ke arahku.
"Namanya juga makhluk sosial, emangnya kamu hidup sendiri di Bumi kok benci amat dikepoin?" lanjutnya.
"Nggak pernah denger istilah privasi ya? Sosmed aja ada fitur privat-nya, eh mulut malah nggak mau dikontrol, sekolah tinggi-tinggi ngapain? Nyari jodoh?" sungutku.
Delia berbalik badan, menatapku dengan tatapan matanya yang tajam.
"Aku doakan kalian segera putus!" katanya berdoa buruk.
"Bagus, dong," sahutku. "Biar kamu nggak jones sendirian," imbuhku.
Delia melipat bibirnya, geram. Dia hendak membalas tapi diurungkannya saat melihat Sota masuk ke dalam kelas. Delia itu, takut sama Sota. Soalnya dulu Delia pernah ngegosipin Sota trus dijambak sampe rambutnya rontok. Makanya, Delia nggak pernah berani sama Sota. Kapok.
"Kenapa, Val?" tanya Sota sembari duduk di bangkunya yang berada tepat di depan bangkuku.
"Nggak apa-apa, Delia nyapa aja," jawabku.
"Oh," kata Sota ber-Oh ria.
"Kalau dia macem-macem bilang aja sama aku," imbuh Sota.
"Nggak, kok. Dia cuma satu macem aja," jawabku yang membuat Delia memanyunkan bibirnya.
"Gerah amat di sini! Keluar aja ah," kata Delia lalu berjalan keluar kelas.
"Gerahlah, kan kulitmu item, nyerap panas," sahut Sota yang langsung ngebuat Delia membanting pintu kelas dengan kasar.
"Ish, PMS dia," cibir Sota.
"Udah, udah," leraiku.
"Eh, gimana? Hari ini mau ketemu kak Pascal?" tanya Sota yang sudah membalikkan badan agar bisa duduk berhadapan denganku.
"Ketemu gimana? Nyamperin ke kelasnya gitu?" tanyaku.
Sota mengangguk.
"Nggak ah. Malu," kataku menolak usulan Sota.
"Aku temenin, kok," kata Sota meyakinkan aku.
"Nggak, aku malu. Masak cewek yang nyamperin duluan. Apa kata dunia?" kataku bersikukuh.
"Dunia nggak bisa ngomong, Val. Jadi kamu tenang aja," sergah Sota.
Aku mengerucutkan bibirku, kesal. Pengen balas tapi apa yang dikatakan Sota benar. Dunia nggak bisa ngomong, karena yang ngomong manusia.
"Yaudah, istirahatan langsung ke kelasnya kak Pascal. Sekalian kamu nanyain nomer handphonenya. Masak pacaran nggak saling tukar kontak sih? Aneh, deh," cerocos Sota.
"Emang harus gitu ya tukeran kontak?" tanyaku.
Sota mengangguk.
"Of course. Orang mau transaksi online aja tukeran kontak," sahut Sota yang lagi-lagi nggak bisa aku bantah.
"Tapi dia IPA-1 lho, Sot," kataku.
"Trus? Kenapa kalau IPA-1? Masih manusia kan?" tanya Sota dengan santainya.
"Iyalah masih manusia, ya maksudku kak Pascal itu kan unggulan sedangkan aku reguler. Apa nggak apa-apa aku nyamperin dia? Kalau dicemo'oh gimana?" tanyaku merasa was-was.
"Nih, lihat aku! Aku ini dari keluarga menengah, kak Anggoro dari keluarga kaya yang uangnya seabrek-abrek, tapi aku biasa aja tuh nyamperin dia tiap hari ke sekolahnya," jawab Sota.
"Lagian, harta, tahta dan kekuasaan saat ini nggak berlaku, Val. Kita masih SMA. Kalaupun udah kerja, pembagian level kayak gitu udah nggak zaman. Kamu nggak pernah dengerin kalau guru PAI ceramah? Semua orang itu sama dihadapan Tuhan, yang ngebedain cuma amal perbuatan. Lagian kalau mati, kita nggak bawa apa-apa." Sota mulai berdakwah gratis.
"Ngerti kamu?" tanya Sota karena aku diam saja.
"Iya, iya, ngerti," sahutku.
Sota senyum lebar. Senang.
"Nah, gitu.Jadi nanti kita ke kelasnya kak Pascal, oke?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Oke," sahutku.
"Btw, PR Matematikamu udah Val? Lihat, dong," rengek Sota sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya.
"Aish, kamu belum ngerjain?" tanyaku heran.
Sota mengangguk mengiyakan.
"Iya, tadi malam aku telponan sama mas Anggoro trus ketiduran, nggak ngerjain deh," jelas Sota santai.
"Aish, makanya kalau malam tuh belajar dulu jangan pacaran mulu," omelku.
Sota hanya nyengir.
"Bodo amatlah ya kamu mau ngomel apa, yang penting aku nyontek ya?" bujuk Sota lagi.
"Ih, nggak," kataku.
"Ayo, dong. Nanti aku traktir bakso," bujuk Sota lagi.
"Udah hutang dua mangkok tuh kamu sama yang kemarin," kataku mengingatkan.
"Iya, iya. Nyontek ya," kata Sota lagi pantang menyerah.
"Hm,"
Aku pura-pura berpikir.
"Ayolah, Val. Otakku nggak nyampe kalau trigonometri," rengeknya lagi.
"Dih, bohong amat. Perasaan pas guru suruh ngerjain di papan bisa tuh," sanggahku.
"Itu kebetulan," kata Sota beralasan.
"Ayolah," mohon Sota lagi.
"Yaudah, deh," kataku lalu membuka tasku.
Aku keluarkan buku tugas matematika lalu memberikannya pada Sota.
"Nih," kataku.
"Sip."
Sota pun mengambil buku tugas miliknya dan mulai menyalin tugasku.
"Sin 210 berapa, Val?" tanya Sota.
"-1/2," jawabku.
"Bukannya -1/2 √3?" tanya Sota lagi.
"Bukan, itu cos 210," jawabku.
"Oh iya, hehe, pinternya temanku," puji Sota.
"Kalau ini? Kok bisa gini? Ini kan cos x kok bisa jadi 2 cos x?" tanya Sota lagi.
"Jadi gini, cos x + √2 = - cos x, nah itu dipindah ruas jadi cos x + cos x + √2 = 0 jadi hasilnya 2 cos x + √2 = 0," jelasku.
"Oh, sip-sip," kata Sota lalu melanjutkan menyalin tugas.
Sota itu memang jarang ngerjain tugas, bukan nggak bisa tapi malas. Hal menyenangkan darinya adalah nggak hanya copy paste, tapi selalu menanyakan apa yang dia anggap kurang benar atau meragukan. Jadi, tugasku seperti dikoreksi dua kali.
Untuk tugas, aku dan Sota memang saling berbagi. Untuk hitung-hitungan, aku kadang bisa walau kadang masih ngerengek ke mas Atom untuk diajarin. Sedangkan Sota itu lumayan pintar di bahasa Inggris dan Biologi. Jadi kalau ada tugas di dua mata pelajaran itu, gantian aku yang meminta bantuan Sota. Simbiosis Mutualisme ( kerjasama saling menguntungkan )
***
Seperti yang sudah disepakati, saat jam istirahat aku dan Sota pergi ke kelas XI-IPA-1, kelasnya kak Pascal. Sejujurnya, aku gugup sekali karena ini pertama kalinya aku nyamperin cowok. Walau berdua dengan Sota, tetap saja aku masih merasa malu.
"Oh, Valenci,"
Sapaan nggak terduga itu membuatku dan Sota menoleh bersamaan. Kak Milki yang berada di depan kelasnya melambaikan tangan pada kami berdua.
"Ngapain nih kesini?" tanya kak Milki yang merupakan teman sekelasnya kak Pascal.
"Mau ketemu pacar ya?" tebak kak Milki yang seketika membuat pipiku terasa panas.
"Pascal lagi keluar, ada urusan sama guru bentar! Nanti juga balik, masuk aja tunggu dibangkunya," suruh kak Milki.
"Ng-nggak usah, Kak. Aku sama Sota tunggu di sini aja," tolakku.
"Sota?"
Kak Milki beralih menatap Sota.
"Sota, Kak. Best friend-nya Valenci," kata Sota memperkenalkan dirinya.
"Oh gitu, aku Milki, best friend-nya Pascal," balas Kak Milki dengan jenaka.
Sota tertawa kecil menanggapi reaksi kak Milki.
"Kakak lucu," kata Sota.
"Ish, bukan pelawak lho," sahut kak Milki sambil ketawa juga.
"Iya, nggak ada anggapan gitu kok," kata Sota.
"Btw, ada perlu apa Val? Tumben sampe nyamperin kesini? Pascal kaku amat ya ke kamu?" tanya kak Milki.
"Eh?"
"Ya, maksudnya nggak minta nomer handphone, bicara atau nyamperin kalau ada perlunya aja, kayak bukan orang pacaran gitu," jelas kak Milki yang membuatku sedikit menganggap kalau kakak kelasku yang playboy cap dua jempol itu bisa baca pikiran.
"Bener tuh kak," sambar Sota yang langsung aku sikut lengannya biar nggak ngomong apa-apa.
"Ish, apa sih Val. Itu kenyataan," kata Sota nggak terima aku sikut.
"Diem aja, deh," suruhku.
Sota mencibirkan bibirnya lalu diam saja. Melihat itu kak Milki lagi-lagi ketawa. Padahal menurutku nggak ada yang lucu atau dia itu memang begitu, suka yang garing.
"Kantin aja yuk," ajak kak Milki.
"Heh? Kalau kak Pascal balik gimana kak?" tanyaku sedikit nggak setuju dengan ajakan kak Milki.
"Nanti dia nyusul, aku bakal nge-Wa," kata kak Milki.
"Ayo ah. Nanti aku traktir minum, deh," bujuk kak Milki lagi.
"Kalau gitu, traktir aku teh botol, Kak," sahut Sota yang segera mensejajarkan langkahnya dengan kak Milki.
"Kalau kamu Val?" tanya Sota sambil menoleh ke arahku yang masih bimbang.
"Aku mau s**u kotak aja," kataku yang terpaksa menyusul mereka berdua.
"Sip, kalau traktir itu masih mampu. Kalau mau makan, bayar sendiri lho!" kata kak Milki mengingatkan.
"Iya, iya," sahut Sota.
Kak Milki dan Sota mengobrol selama perjalanan menuju kantin. Sedangkan aku hanya diam saja, menikmati pemandangan sekitar yang memperhatikan Sota dan kak Milki yang seperti melupakan kehadiran orang-orang. Terlalu asyik.
Tiba di kantin, Sota dan aku duduk sementara kak Milki pergi membelikan kami minuman. Tak lama kemudian, muncul seorang cewek yang langsung duduk di depan kami dengan wajah yang ditekuk.
"Kamu siapanya Milki?" tanya cewek itu yang jika dilihat dari warna logo di seragamnya adalah kakak kelas.
"Teman," jawab Sota, padahal kami belum tahu siapa yang diajak cewek itu bicara.
"Kalau kamu?" tanya cewek itu padaku.
"Dia pacarnya kak Pascal," sahut Sota menggantikan aku menjawab.
"Hah? Pascal punya pacar? Dan pacarnya kayak dia?" tanya cewek itu yang kemudian memandangiku dengan tatapan rada jijik dan nggak percaya.
"Emang kenapa sama Valenci?" tanya Sota dimana nada suaranya sedikit meninggi.
"Nggak usah nyolot, dong! Aku nanyanya baik-baik," ketus cewek itu.
"Baik-baik nggak gitu ya ngomongnya," balas Sota nggak kalah ketus.
"Situ siapa sih?" tanya cewek itu dengan tatapan kesal.
"Situ yang siapa? Udah kayak kotoran burung aja, nempel nggak permisi,” balas Sota.
"Mulut dijaga ya," kata cewek itu mulai merasa geram.
"Udah dijaga, kalau nggak dijaga mulutku suka keluyuran kemana-mana!" balas Sota lagi.
Aku yang melihat kejadian itu hanya menghela napas kecil. Entah kenapa meski nggak ikut dalam situasi yang memanas itu, aku ikutan merasa hangat. Untung aja nggak panas, bisa-bisa memuai nanti.
"Kenapa ya, Kak? Kakak ada masalah kalau aku jadian sama kak Pascal?" kataku mulai angkat bicara.
Cewek itu beralih menatapku.
"Tentu aja," katanya.
"Kenapa emangnya? Apa urusannya sama kamu?" sahut Sota yang langsung aku pegang tangannya untuk mengisyaratkan padanya agar jangan ikut campur dulu.
Sota diam, menahan diri sebisanya karena aku larang.
"Kakak siapanya kak Pascal?" tanyaku.
"Cinta pertamanya," jawab cewek itu tanpa ragu.
"Mimpi?" desis Sota dengan manyunan yang nggak bisa disembunyiin.
"Maaf, Kak. Aku nggak pernah denger soal itu. Lagipula, sekarang aku pacarnya, bukan kakak," kataku masih mencoba sopan.
"Ya nggak apa-apa, dong! Kamu boleh aja senang sekarang pacaran sama dia, ujung-ujungnya nanti dia sama aku," kata cewek itu penuh percaya diri.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi.
"Kita lihat aja nanti, Kak," sahutku kalem.
"Nggak usah nanti-nanti, sekarang aja kamu dianggurin sama Pascal, dia itu cuma nunggu penyataan cintaku aja buat mutusin kamu," sergah cewek itu.
Aku mengepalkan tinjuku.
"Kakak naksir pacarku?" tanyaku.
Cewek itu tergelak pelan.
"Naksir? Aku yang ditaksir sama Pascal tapi aku gantungin dia. Jual mahal gitu, sistem tarik-ulur. Eh, aku mendengar dia malah sama kamu sekarang, pelampiasan aja tuh kamu," cerocosnya yang semakin membuat emosiku merangkak ke atas.
"Jadi, kakak cinta sama pacarku?" tanyaku.
Cewek itu tersenyum sinis.
"Kalau aku cinta sama Pascal, kenapa? Salah?" tanyanya dengan ketus.
Dasar cewek sarang laba-laba.
"Nggak, kok," sahutku.
"Cinta itu nggak pernah salah. Yang salah kalau kita mencintai seseorang yang sudah jelas sedang menjalin hubungan sama orang lain tetapi masih maksa untuk bersama," imbuhku.
Sota tergelak pelan mendengar pernyataan dariku.
"Maksa? Ngarep gitu ya?" ejek Sota.
Cewek itu menggigit bibirnya pelan lalu menatapku dengan amarah yang sama sekali nggak disembunyikan.
"Lho? Ada apa nih?" tanya kak Milki yang baru aja kembali dengan tiga buah minuman di tangannya.
"Nggak apa-apa, Kak. Ngobrol aja kami," kata Sota sambil mengambil teh botol dan s**u kotak dari tangan kak Milki.
"Kakak mau minum nggak?" kata Sota menawarkan pada cewek yang masih duduk itu.
Kak Milki menautkan alisnya.
"Lho? Septi? Ngapain di sini?" tanya kak Milki heran.
"Kakak kenal?" tanyaku.
"Iya, dia ini-.."
"Aku balik," potong cewek itu lalu pergi dari hadapan kami.
"Nih," kata Sota sambil memberikan s**u kotakku.
Aku menerima s**u kotak itu lalu menancapkan sedotan dan meminumnya.
"Pascal lagi sibuk, Val. Tapi dia bilang kalau dia bakal Wa kamu. Boleh aku minta nomermu? Biar aku sendlangsung gitu," kata kak Milki.
Aku mengangguk lalu kuberikan nomerku pada kak Milki.
"Sip, kalau ada pesan yang DP-nya langit, itu aku," kata kak Milki.
Aku menganggukkan kepalaku.
"Mau aku save apa nih? Valenci atau pacarnya Pascal?" goda kak Milki.
Aku hanya tersenyum geli.
"Valenci aja, Kak,"
"Oke."
Setelah mengobrol sebentar, kami bertiga pun memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing.
Sebenarnya, aku masih penasaran, siapa cewek itu? Apa benar kak Pascal naksir dia? Mungkinkah kak Pascal sudah menemukan orbit yang baru dan bergerak menjauh dariku?
Aku tersadar dari lamunanku saat sebuah pesan masuk ke handphoneku. DP-nya bukan gambar langit, tapi fotoku. Di sampingnya tertulis PascaloveAmi.Aku tersenyum saat membaca pesan itu.
PascaloveAmi~
Ami, maaf tadi aku ada urusan sama guru soal lomba Kimia minggu depan.
Nanti kita pulang bareng, tunggu aku depan kelasmu.