PART 10 - YANG TAK KUNJUNG HADIR.

1669 Words
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua hati, tapi juga dua keluarga. Jadi, setelah menikah dengan Rayhan, Khansa berusaha menjalin hubungan yang baik dengan keluarga suaminya ini. Sudah semestinya Khansa menganggap keluarga Rayhan adalah keluarganya juga. Apalagi ia menantu pertama di rumah itu. Itu sebabnya ia sering bertandang ke rumah ibu Mertuanya. Dan seperti biasa jika datang ke sana, tak lupa Khansa membawa makanan kesukaan Ibu Mertuanya. Khansa baru melangkah menuju gerbang rumah mertuanya, ketika pintu utama terbuka. "Khansa?" sapaan seorang wanita sebaya Mamanya, membuat sudut bibir Khansa tersenyum. Wajah Rayhan tercetak jelas di sana. Suaminya sangat menuruni sekali wajah dari sang Mama, sedang Rika menuruni wajah Papanya. Rayhan hanya dua bersaudara. Ketika Khansa masuk ke dalam keluarga Rayhan, limpahan kasih sayang ia dapatkan dari ibu mertuanya. Ia bak menantu kesayangan. Kebetulan hubungannya dengan adik iparnya yang bernama Rika pun baik. Jangan bayangkan mertua mirip ala-ala di sinetron, ibu mertua Khansa wanita yang baik hati. Justru Khansa yang tidak enak hati, karena masih belum bisa memberikan keinginan sang Ibu Mertua. Seorang cucu, yang memang sangat diharapkan kehadirannya di rumah besar ini, karena Rayhan anak pertama di rumah ini. Diluar semua memang baik-baik saja, hanya belum hadirnya buah hati yang membuat Khansa kerap mengurangi kehadiran ke rumah ini. Ia canggung jika selalu ditanya perihal cucu. Seperti diteror tepatnya. Menyalami telapak tangan wanita yang telah melahirkan suaminya, Khansa menerima pelukan hangat. "Mama bagaimana kabarnya? Sehat? Aku bawa kue buat Mama." Sekotak kue sudah Khansa persiapkan untuk Dena, Mama Mertuanya. "Sehat sayang, kamu sendiri bagaimana? Kabarnya Rayhan ke Kalimantan ya?" Dena mengajak menantu kesayangannya masuk ke dalam rumah. Dena menyayangi Khansa seperti putrinya sendiri. Ia bersyukur wanita cantik ini yang menjadi menantunya. Karena Khansa berasal dari keluarga baik-baik dan terpelajar. Bukan itu saja, kesederhanaan wanita ini pula yang membuatnya yakin Khansa akan menjadi istri yang cocok untuk putranya. Dena tidak akan sembarangan mencarikan jodoh untuk kedua anaknya. Harus jelas bibit bebet bobot nya. Ia tak ingin memiliki menantu yang tidak jelas asal usulnya. "Iya Ma, tapi besok juga pulang kok." Khansa memasuki rumah besar itu. Terakhir sebulan yang lalu ia dan Rayhan datang ke rumah ini. Kening Khansa melipat melihat ruang tamu rumah mertuanya banyak mainan anak kecil. Ada mobil-mobilan, mainan robot, dan bongkar pasang. "Ini mainan siapa Ma?" tanyanya heran. Pasalnya di rumah ini kan tidak ada anak kecil. Satu-satunya anak Mertuanya yang sudah menikah ini adalah Rayhan, dan ia belum melahirkan. "Oh ini tadi tetangga main bawa cucunya. Anaknya gemesin, jadi sering deh Mama undang kemari." "Ooo." Khansa mengangguk. "Kamu mau minum apa Sa? Sebentar ya Mama bereskan mainan ini dulu." Dena mengajak Khansa duduk, sementara dirinya membereskan mainan mobilan dan robot-robotan. Memasukkan semua itu ke dalam satu dus besar yang ia letakkan di pojok ruangan. "Papa saja, kadang senang sama dia. Suka seharian ditahan di sini itu anak. Anaknya pun betah diajak main kemari. Kedua orangtuanya bekerja, yang jaga Omanya. Jadi kalau lelah menjaga, Mama bantuin jaga, habis anaknya lagi aktif-aktifnya. Pengasuhnya semua gak ada yang betah, mengeluh kecapean terus. Namanya anak batita, usia segitu ya lagi nakal-nakalnya, gak bisa diam. Lari sana lari sini." Khansa hanya mendengarkan dengan perasaan tak nyaman. Ia tahu ibu mertuanya tidak bermaksud menyinggung perasaannya. Terdengar helaan napas dari Dena. "Mungkin karena Mama dan Papa sudah gak sabar ingin sekali menimang cucu." Wajah Dena terlihat sendu. Jangan ditanya betapa ia berharap cucu dari Rayhan dan Khansa. Mendengar itu ada rasa sedih di hati Khansa. Usia pernikahannya yang tiga tahun memang belum ada tanda-tanda dirinya hamil. "Maaf Ma. Aku belum bisa kasih mama cucu." Keluar juga permintaan maaf yang kesekian kali dari mulutnya jika berhubungan dengan buah hati. Setiap tahun, Dena selalu bertanya tentang kabar calon cucunya, dan selalu terlihat sedikit kecewa ketika Khansa mengatakan belum ada tanda-tandanya. Dena mengerjap, langsung merubah raut wajahnya. "Eh gak apa sayang. Mama gak bermaksud memaksa gitu. Mama yakin kalau saatnya tiba, kamu dan Rayhan pasti akan memberi kami cucu." Bukan Khansa tidak mau memiliki anak, tapi ia dan Rayhan bahkan sudah gigih berusaha. Tapi memang belum ada hasil. Hari ini bilang gak apa, tapi besok kembali dibahas. "Sudah, kamu gak usah dipikirkan masalah cucu mama itu. Mama sama Papa sabar kok menunggu." Dena mengusap punggung menantunya. Ia tak ingin juga membuat hati menantunya bersedih. "Eh ini kuenya kamu beli di tempat yang biasa kan?" tanya Dena sambil melirik pada kotak kue yang dibawa menantunya. "Iya Ma, biasa kok, di tempat langganan Mama." "Kebetulan Mama sudah masak, kita makan siang yuk." Dan selanjutnya Khansa dan Dena sudah sibuk di ruang makan. Mereka makan siang sambil berbincang. Sungguh, masuk ke dalam keluarga Rayhan, membuat Khansa bersyukur tiada henti. Kedua orangtuanya memang mencarikan jodoh yang membuatnya merasa bahagia tak terkira. Perpisahan tiga hari membuat Khansa dan Rayhan sama merindu. Jadi ketika suaminya itu kembali dari tugas. Kembali mereka melepas rindu dengan saling bermesraan satu sama lain. Hanya kali ini Rayhan melihat ada sedikit perbedaan dari sikap istrinya. Khansa lebih mengambil alih permainan mereka malam ini, bak orang yang kehausan di tengah gurun yang gersang. "Kenapa? Kamu gak lelah?" Napas Rayhan masih memburu, ketika istrinya kembali meminta mereka mengulangi kegiatan yang baru sepuluh menit yang lalu usai. Ini seperti bukan istrinya. Khansa tak pernah seperti ini selama ia menjadi suaminya. Khansa wanita yang lemah lembut tidak seperti malam ini. Jelas Rayhan bingung. "Aku ingin hamil," tuntut Khansa. Kembali rengekan terdengar di telinga Rayhan. Membuat lelaki itu terkekeh geli. Pantas malam ini Khansa agresif sekali. Bukannya memenuhi keinginan istrinya, Rayhan malah mendekapnya dalam pelukan. "Kamu butuh istirahat sayang." "Ck, Mas. Tapi aku ingin cepat hamil. Ayo ulangi lagi." Rayhan memaku tatap mata istrinya. "Gak, sudah cukup," tolak Rayhan. Khansa merengut, langsung membalikkan badan memberi punggung pada suaminya. Rayhan tahu istrinya merajuk. "Kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Rayhan memeluk tubuh istrinya dari belakang. Melabuhkan kecupan mesra di punggung istrinya. Mendapati Khansa tak bergeming, Rayhan membalik tubuh istrinya. Saat itulah Rayhan melihat mata istrinya berkaca, lalu ia merasakan istrinya memasrahkan diri ke dalam pelukan hangatnya. "Aku kemarin ke rumah Mama. Dan aku merasa bersalah." Ada rasa sesak yang ia tahan ketika Mama mertuanya membawa masuk ke dalam rumah, seorang anak berusia tiga tahun. Terlihat ibu mertuanya begitu menyayangi anak itu. Rasa bersalah kian besar di hati Khansa. "Kenapa?" Perasaan Rayhan, mamanya tidak pernah bersikap kasar pada siapapun. "Karena aku belum bisa kasih Mama kamu cucu." Usapan lembut Khansa rasakan di punggungnya. Helaan napas Rayhan pun terdengar di telinga Khansa. "Mama desak kamu?" Kali ini Khansa menggeleng. "Mama sampai pinjam cucu tetangga, saking lamanya nunggu cucu dari aku." Mungkin maksud Dena hanya memberitahu menantunya tentang anak tetangga yang memang terlihat lucu itu. Tapi tetap saja Khansa merasa tak enak hati. Apalagi setelah anak itu datang, Khansa justru dicuekin. "Kita sudah berusaha, hanya tinggal menunggu saja kan?" Walaupun merasakan anggukan dari istrinya, tapi Rayhan yakin tak membuat hati istrinya lega. "Mas, bagaimana kalau aku gak bisa kasih kamu keturunan?" Tiba-tiba terlintas ketakutan di mata Khansa. "Kita sehat." "Tapi bisa saja aku gak hamil-hamil." "Jangan asal bicara sebelum membuktikan, sayang." "Apa kamu akan tinggalin aku, kalau ternyata memang aku gak bisa hamil?" Mata Khansa penuh harap. Ia mencintai suaminya dengan amat sangat, tak bisa membayangkan mereka berpisah hanya karena tidak dikarunia seorang anak. Rayhan melerai pelukannya, membelai pipi cantik istrinya. "Aku gak akan tinggalin kamu, mana bisa aku hidup tanpa istri aku ini?" Ia kecup kening istrinya, kedua pipi dan terakhir bibirnya dengan sangat lembut. Tiba-tiba Khansa teringat perlakuan lelaki asing padanya. Membuat ia tersentak. "Kenapa?" tanya Rayhan aneh saat tiba-tiba Khansa melepas tautan mereka. "Gak, gak apa-apa, aku cuma mengantuk." Kembali Khansa masuk ke dalam dekapan Rayhan, tempat teramannya selama ini. Ia harus melupakan kenangan bersama lelaki b******k itu, harus. Tidak boleh ada kenangan apapun selain Rayhan di dalam hidupnya. Rayhan sudah mengenakan pakaian kerja, ketika Khansa masuk ke dalam kamar. "Sarapan sudah siap Mas." Khansa membantu memasangkan dasi di leher suaminya. "Sudah." Ia menepuk pelan d**a bidang suaminya, sambil menatap suaminya yang terlihat berkharisma. Ketampanan Rayhan tak perlu ia ragukan lagi. "Bagaimana naskah kamu yang baru?" tanya Rayhan pada istrinya sambil meraih pinggang Khansa dan menariknya hingga tubuh mereka berdekatan. Kembali menyerukkan wajahnya ke leher sang istri. Tidak memperdulikan jika Khansa merasakan kegelian. "Masih dalam tahap perencanaan sih. Oh, ya aku mau tanya. Aku akan mengangkat cerita tentang wanita malam. Bagaimana menurut kamu Mas?" Khansa melepaskan wajah Rayhan yang semakin nakal di lehernya. "Wanita malam?" Kening Rayhan menatap aneh. "Hmmm, aku mau korek kisahnya dan aku angkat untuk dijadikan pelajaran pada wanita yang ada di negeri ini. Kan kebanyakan mereka melakukan karena desakan ekonomi. Padahal kalau cuma cari uang kan bisa dengan cara lain. Menekuni hobby, berdagang dan-" CUP. Celotehan Khansa berhenti ketika suaminya mengecup kilat bibirnya. "Sarapan yuk, aku sudah lapar." Kebiasaan suaminya ini selalu begini, memotong pembicaraan dengan seenaknya. Tapi walau begitu Khansa sudah terlanjur cinta. Dengan senyum Khansa merangkul lengan suaminya menuju ruang makan. Kembali mereka saling berbincang. "Aku akan mencari nara sumber wanita malam Mas," tutur Khansa sambil menyiapkan segelas teh hangat untuk suaminya. "Dimana kamu cari wanita malam itu?" selidik Rayhan. "Hmmm aku minta bantuan Faisal." "Faisal?" "Hmmm, dia pasti punya teman yang memiliki koneksi ke sana. Gak apa-apa kan?" Rayhan melipat kening. Lalu mengangguk. "Boleh, selama kamu nyaman dan gak ada masalah." Seperti biasa, Khansa akan mengantarkan Rayhan sampai depan rumah. "Sal, kamu sudah mendapatkan nara sumber buat saya?" tanya Khansa mengingatkan supir pribadinya ini. Ditanya begitu Faisal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saya sudah bertemu sih bu yang cocok, tapi belum tanya dia mau apa gaknya gitu he he he." "Kamu coba tanya dia dong. Kalau dia mau misal minta bayaran, saya akan bayar seperti maunya dia." "Baik bu, saya akan usahakan." Khansa menatap mobil yang membawa Rayhan ke luar gerbang. Sepertinya dia akan melanjutkan lagi menulis hari ini. Khansa membuka laptopnya, kembali menulis. Kali ini tentang sebuah klub yang isinya tentang apa yang ia lihat kemarin malam. Tapi sesaat jarinya terhenti. Kembali mata itu terekam jelas di ingatan. Bukan hanya matanya, tapi juga perlakuan pada bibirnya. Astaga! Khansa mengerang dalam hati. Bayangan itu seolah hantu yang terus saja mengganggu aktivitasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD