Meisya menatap tajam pada kedua lelaki yang kini duduk di hadapannya. Ia baru saja melaksanakan tugasnya, melayani Roby. Salah satu pelanggan barunya yang kini menjadi pelanggan tetapnya. Roby seorang pengusaha muda rupanya puas akan pelayanan yang Meisya berikan. Sehingga setiap minggu mereka kencan di mana saja yang Roby inginkan.
Peluh baru saja ia basuh dengan air segar, agar tetap terlihat cantik di pandangan siapapun yang menatapnya. Yah, Meisya selalu menomor satukan penampilannya. Tak akan ia biarkan siapapun melihat wajahnya tanpa make up. Padahal kalau mau jujur, wajah Meisya sudah cantik. Tapi pengalaman ditinggalkan membuat rasa percaya dirinya anjlok, dan itu sebabnya kini ia rajin mendatangi salon kecantikan ternama, ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri, jika masih ada lelaki yang bisa menghargai kecantikannya, sekalipun harus dengan imbalan rupiah.
Malam ini hotel bintang lima ini yang Roby pilih untuk dua hari ke depan. Meisya akan menemani lelaki tampan yang tak segan mengeluarkan imbalan menggiurkan. Melebihi tarif yang ia pasang.
Menemani Roby tentu Meisya lakukan jika tamu tetapnya yang merupakan ladang pundi rupiahnya sedang tidak ada di tempat. Jika ia kembali, maka Meisya akan fokus padanya, menolak siapapun yang akan memakai jasanya sekalipun dengan bayaran fantastis.
Kini Mesiya baru saja membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian, ketika Roby mengatakan ada tamu yang mau bertemu. Ternyata tamu yang Roby sebutkan itu Meisya mengenalinya.
Ini adalah lelaki teman Roby yang beberapa waktu lalu berjumpa di klub milik Arsel.
Yang kabarnya sebentar lagi mau menikah.
Kening Meisya melipat, ia jelas heran dengan temannya Roby ini. Terlihat penting sekali ingin bertemu.
"Ada yang bisa aku bantu?" Mata Meisya kini lebih fokus pada lelaki yang menurut Roby bernama Faisal ini. Dari pakaian yang lelaki ini kenakan, Faisal tidak akan mungkin sanggup membayarnya. Jadi tidak mungkin lelaki ini mau menyewa jasanya.
Atau mungkin bukan untuk dirinya?
Faisal yang merasa menjadi pusat perhatian berusaha memberikan senyum sebelum berbicara. Ia sedikit grogi. Pasalnya cara duduk wanita cantik di depannya sungguh membuat hatinya bergetar. Kulit mulus wanita ini terpampang walau hanya sedikit. Bagaimana tidak, ia duduk dengan posisi menyilang, memperlihatkan kakinya yang jenjang dan putih sekali. Belum lagi kimono mandinya terbuka di bagian bahu. Faisal berdecak dalam hati.
Pantas Roby betah sama dia. Cantiknya selangit. Ini sih perawatannya saja mahal, pantas harganya fantastic. Beneran kelas bos ini mah.
"Saya mau memakai waktu Meisya sebentar."
"Kamu mau pakai saya?" tanya Meisya tak yakin. Beneran dia punya uang?
Faisal menggeleng.
"Bukan saya, tapi bos saya.
Nah betulkan, jadi lelaki ini diutus bosnya.
"Oh bos kamu." Tampak wanita itu berpikir sebentar.
"Tapi tidak bisa untuk minggu ini. Karena untuk minggu ini Roby sudah memakai jasaku." Meisya meraih sebuah batang rokok, mulai menyalakan pematiknya. Tak lama asap rokok miliknya sudah terlihat mengepul.
Ia melirik Roby yang memang sudah booking sampai satu bulan penuh setiap sabtu dan minggu sesuai kemauan lelaki itu
"Bukan jasa seperti itu," tolak Faisal sambil menggeleng.
"Yang memakai jasa anda itu bos perempuan saya."
"Apa?" Meisya terkejut. Matanya melotot tak percaya. Apa? Astaga!
"Maaf, aku gak menyimpang."
Gila! Masa sama perempuan!
"Bukan, bukan itu." Kembali Faisal menggeleng. Ia ikutan bingung untuk bicara.
"Ya ampun Sal, lo ngomong belibet amat deh ah."
Lama-lama Roby jengah juga mendengar ucapan temannya ini. Mungkin efek kecantikan Meisya yang membuat Faisal gagal fokus. Yah, siapapun yang melihat Meisya untuk pertama kalinya pasti mengakui wanita ini cantik luar biasa. Apalagi Meisya selalu memanjakan tubuhnya ke salon demi memuaskan lelaki yang menyewa jasanya. Itukan yang biasa wanita malam lakukan agar tidak kalah saing dengan lainnya.
Apalagi sekarang banyak gadis dibawah umur yang mengikuti jejak Meisya, hanya karena lilitan masalah ekonomi. Sungguh tragis. Dan Roby salah satu dari sekian banyak laki-laki yang bersyukur mengenal Meisya. Jadi sejak mengenal Meisya, ia tidak lagi bermain dengan wanita lain. Untuk apa? Jika Meisya mampu melayaninya sepuas hati, Roby hanya tinggal mengeluarkan nominal sesuai yang Meisya kehendaki. Terkadang ia menambah sedikit uang untuk bonus atas pelayanan Meisya yang memuaskan.
"Jadi gini Meisya," ucap Roby mengambil alih pembicaraan.
"Bosnya Faisal ini perempuan. Niatnya dia mau mewawancarai kamu."
"Wawancara? Buat apa? Memangnya aku artis?" Meisya terkekeh.
"Untuk mencari tahu mengenai seluk beluk kehidupan dunia malam. Benar kan Sal?" Roby menoleh bergantian pada Meisya dan Faisal. Dan Faisal menjawab dengan mengangguk.
"Aku gak bisa. Lagipula apa bagusnya?"
Seketika sesuatu sekelebat di kepala Meisya.
"Hmmm mungkin seperti itu kali ya, suara aku dibuat mirip badut, dan wajah aku diblur terus aku ditanya-tanya, macam penjahat di kantor polisi? Ih ogah banget." Meisya bergidik ngeri.
Kembali ia menghisap rokoknya. Membiarkan asap itu mengepul memenuhi ruangan di sekitar mereka.
"Bu-bukan! Bukan kayak gitu." Kembali Faisal protes. Faisal memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.
"Jadi gini, bosku seorang penulis novel. Dia mau angkat kisah tentang wanita malam."
Meisya bangkit berdiri. Sepertinya bertemu dengan Faisal membuatnya ingin sekali tertawa kencang.
"Astaga, yang benar saja! Dari sekian novel yang mau ia tulis, kenapa harus tentang wanita malam? Memang dia kehabisan ide gitu? Lucu!"
Daripada terus menertawakan Faisal, tak enak juga pada Roby, Meisya bangkit dan melangkah ke arah kamar mandi. Ia perlu mandi lagi, karena Roby sepertinya akan menagih lagi pelayanannya sebentar lagi. Meisya selalu membuat tubuhnya harum semerbak sebelum bekerja.
"Ya, itu memang maunya Bu Bos Khansa."
Gerakan Meisya yang hendak masuk ke dalam kamar mandi menjadi berhenti, karena gendang telinganya mendengar sebuah nama yang sangat familiar di telinganya. Khansa?
"Siapa namanya?" Kepalanya menoleh sedikit ke arah Faisal. Ia takut telinganya salah menangkap nama.
"Nama siapa?" Kini Faisal yang balik bertanya.
"Yah nama Bu Bos kamu tadi?" Meisya sudah berbalik kembali menghadap arah Faisal yang kini terlihat bingung. Tatapannya menuntut.
"Oh, bu Bos namanya Khansa. Khansa Talita Rahman, itu lho yang belum lama naskahnya jadi film. Dia penulis novel, dan orangnya baik. Jadi untuk novelnya yang baru ini, Bu Bos mau mengangkat kisah tentang wanita malam, dan jika Meisya gak keberatan, Bu Bos mau wawancara untuk-"
"Aku mau."
Perkataan Meisya yang memotong ucapan Faisal, bukan hanya mengagetkan Faisal dan Roby, tapi dirinya sendiri.
Yakinkah ia bisa berhadapan dengan wanita itu? Wanita yang lebih beruntung nasib dan hidupnya. Wanita yang lebih bisa mereguk manisnya kehidupan, dibanding dirinya yang harus terhempas oleh takdir yang sangat pilih kasih sekali.
"Meiy, kamu yakin?" Roby bertanya tak mengerti. Perasaan ia mendengar Meisya menolak awalnya, tapi kenapa mendadak ia mau begitu saja.
"Ini tentang hidup kamu lho. Kalau nanti novel dia laris dan masuk jadi film layar lebar, sama saja memperlihatkan kehidupan kamu seutuhnya. Yakin kamu gak keberatan?"
Kembali Roby bertanya. Pasalnya Meisya pernah bercerita kepahitan hidupnya dulu, hingga tak ingin siapapun orang terdekat dan bahkan keluarganya tahu tentang hidupnya kini.
Melupakan ucapan Roby yang terlihat kasihan padanya, Meisya menatap Faisal dengan pasti.
"Faisal, katakan sama bosmu itu, aku bersedia diwawancarai. Waktu dan tempat, aku yang tentukan."
Jika tidak ingat ini hotel, ingin rasakanya Faisal berteriak histeris. Terbayang bonus yang dijanjikan atasannya. Ternyata semudah itu mencari uang. Dan dia tak perlu susah-susah mencari wanita malam. Meisya cocok untuk dijadikan nara sumber andalan. Sepak terjangnya di dunia malam pasti akan menarik perhatian atasannya.
"Hmm mengenai bayarannya gimana? Nanti biar bosku yang siapkan."
Senyum menguar dibibir lelaki tambun itu, demi bonus yang sudah di depan mata.
"Gratis."
Hampir melonjak Roby dan Faisal mendengarnya.
Roby tahu waktu Meisya mahal, tapi wanita ini bahkan memberi gratis waktunya pada bosnya Faisal.
Dapat dipastikan Faisal dengan sukacita langsung mengabarkan pada sang majikan.
Mata Khansa membelalak senang tak percaya.
"Serius Sal? Secepat itu? Semudah itu?"
Khansa yang tengah menyiapkan makanan di atas meja, segera meletakkan piringnya dan mendekat ke arah Faisal. Tahu begitu kenapa gak dari kemarin saja ia meminta tolong Faisal, minimal ia terhindar dari lelaki yang selalu saja menghantui pikirannya.
Faisal mengangguk.
"Iya bu, siapa dulu dong. Faisal." Lelaki bertubuh gemuk itu membanggakan dirinya.
Senyum kepuasan terbit di sudut bibir Khansa.
"Wah kamu memang bisa diandalkan ya Sal." Khansa terlihat puas atas hasil kerja karyawannya.
"Oke, nanti kamu kabari saja kapan dia bisa ketemu aku."
Khansa lalu merogoh dompet dan meraih lima lembar uang senilai lima ratus ribu.
"Ini untuk kamu."
Janji yang dulu Khansa berikan jika Faisal berhasil.
Mata Faisal langsung membola. Tak menyangka akan sebanyak ini bonus yang ia dapatkan.
"Terima kasih bu." Ia mencium uang di tangannya.
Benarkan? Bonus dari si ibu Khansa mah gak kaleng-kaleng.
Lumayan buat malam mingguan sama si eneng. Batinnya.
Senyumnya terus saja mengudara.
"Eh Sal, nama wanita yang menjadi nara sumber saya siapa?" tanya Khansa lagi sambil membuka ponsel.
"Oh iya lupa!" Faisal menepuk kening.
Ia yang sudah melangkah ke arah depan, kembali berbalik menghampiri Khansa.
"Meisya bu namanya. Orangnya cantik, tingginya sama kayak ibu kira-kira, terus kulitnya halus lembut, maklum dia wanita malam yang kelas nya tinggi buka ecek-ecek bu. Tarifnya aja beuh mahalnya. Orang kayak saya mah mana bisa jadi pelanggan dia. Dia sih biasa menemani bos-bos besar kayak Pak Bos Rayhan gitu."
Ucapan Faisal terhenti ketika melihat tatapan tak suka dari Khansa.
Terkadan mulutnya memang suka asal nyablak.
"Eh maaf lho bu. Inikan hanya perumpamaan kata saja. Pak Bos mah mana mungkin begitu."
Khansa tersenyum.
"Iyalah Faisal, suamiku mana kenal sama wanita begitu. Hidupnya selalu lurus dari dulu."
Merasa sudah mendapat nara sumber, beban Khansa sedikit terangkat. Hari ini ia akan menemui suaminya di kantor. Sudah membawa menu makan siang yang akan ia berikan pada suaminya.
Di depan ruangan ia bertemu Yuri, sekretaris Rayhan.
"Siang Yuri, suami saya ada di dalam?"
Yuri seorang gadis yang menurut Khansa cukup cantik, tersenyum padanya.
"Pak Rayhan sedang meeting bu dengan klien. Tapi kalau ibu mau menunggu, sebentar lagi sepertinya Pak Rayhan selesai meeting."
"Baik kalau begitu saya tunggu di dalam saja ya."
Sementara di ruang rapat. Rayhan baru saja selesai meeting dengan seorang pengusaha ternama. Johan Oliver Jarvis.
"Senang bekerja sama dengan anda, Pak Johan." Rayhan menjabat tangan salah satu investornya di perusahaan. Seorang pengusaha yang memiliki banyak perusahaan bidang pertambangan dan properti dan garmen.
Johan Oliver Jarvis memberikan senyum hangatnya. Sejak pertama bertemu Rayhan, ia sudah kagum akan kegigihan Rayhan dalam berbisnis. Dalam hatinya sangat menyayangkan putra satu-satunya yang masih belum mau berkecimpung dalam dunia bisnis.
"Saya bangga melihat anak muda seperti anda gigih dalam bekerja. Sayang satu-satunya putra saya sama sekali tidak seperti anda."
Bahkan sudah bosan Johan memohon pada putranya itu, tapi tetap tidak berhasil. Mungkin kesalahannya di mata sang putra masih belum bisa di maafkan.
Rayhan terkekeh.
"Mungkin belum saatnya dia terjun ke dalam bidang bisnis Pak. Bapak hanya perlu bersabar."
"Sepertinya memang putra saya tidak berminat meneruskan usaha saya. Yah, entahlah."
Rayhan mengangguk.
"Apa dia memiliki bidang usaha lain?"
Rayhan baru tahu jika Johan memiliki seorang putra. Selama ini hanya putrinya yang tampak terlihat di sekitar kehidupan seorang Johan Oliver Jarvis.
"Ada sih, dan itu jauh melenceng dari bidang usaha yang saya geluti ini."
Perbedaan memang kerap kali terjadi sekalipun antara Ayah dan anak. Rayhan beruntung ia seorang anak yang berbakti. Apapun ia lakukan demi kedua orang tuanya. Sekalipun itu menikah dengan wanita pilihan kedua orang tuanya. Dan ia bersyukur, wanita itu adalah Khansa.
"Waduh kok saya jadi ngobrol. Sampai ketemu lagi Rayhan. Senang bekerja sama dengan anda."
Johan menepuk bahu Rayhan sebelum pergi.
"Sama-sama Pak. Terima kasih atas kesempatan besar ini."
Rayhan memandang hingga tamunya pergi dari ruang meeting. Ia tidak menduga akhirnya bisa menarik investor sebesar ini. Siapa yang tidak mengenal Johan Oliver Jarvis. Satu dari sepuluh pengusaha terbesar di negeri ini.
Ia melirik jam di lengannya. Sudah waktunya makan siang.
Rayhan beranjak menuju ruang kantornya.
"Pak, maaf ada Bu Khansa di dalam." Yuri memberi tahu atasannya.
"Oh oke, terima kasih."
Senyum Rayhan mengembang melihat istri cantiknya tengah menatap pigura yang menampilkan foto pernikahan mereka. Ia tak menyangka akan kedatangan tamu istimewa siang ini.
"Sayang, kok gak bilang mau kemari?"
Rayhan memeluk pinggang Khansa dari belakang. Khansa berbalik dan tersenyum ketika menerima kecupan di pipinya.
"Aku sengaja mau kasih kamu kejutan."
Khansa membelai d**a Rayhan dari depan kemejanya. Hari ini Khansa mengenakan gaun selutut berwarna maroon. Rambutnya digerai indah dengan jepit tersemat di kanan dan kiri.
Sungguh sempurna kecantikan istrinya ini, tak salah cinta Rayhan semakin bertambah setiap harinya.
"Coba tebak, aku lagi senang nih. Karena apa coba?"
Kening Rayhan melipat.
"Kamu hamil?"
Mendapati tatapan ceria berganti muram, membuat Rayhan mengutuki mulutnya yang lancang.
"Sorry tapi ... aku gak tahu beneran."
Memaksa bibirnya kembali tersenyum, Khansa menatap sayang pada suaminya.
"Aku sudah menemukan nara sumber untuk naskah aku."
Oh, naskah. Seharusnya Rayhan tahu jika naskah itu ibarat anak juga buat istrinya.
"Kamu gak senang?" Mata Khansa mengerjap.
"Senang dong, apapun yang membuat kamu senang, aku pasti senang."
Rayhan merangkum wajah istrinya, melabuhkan kecupan lagi di kening istrinya.
Andai pekerjaannya tidak banyak, ingin rasanya ia pulang dan menghabiskan waktu di kamar bersama Khansa.
"Melihat kamu cantik gini, kok rasa lapar aku hilang ya, jadi mau makan kamu," bisik Rayhan nakal.
"Mas Ray!" jerit Khansa, lalu melepaskan pelukan suaminya.
Tak perduli akan kekehan suaminya, Khansa melangkah ke arah sofa dan mulai membuka kotak makan yang ia bawa dari rumah.
"Aku sengaja masak buat makan siang kamu, Mas."
Rayhan tak salah bangga akan istrinya ini. Walau di rumah dan sibuk dengan naskahnya, masih menyempatkan diri untuk memasak.
"Aku bisa nambah kalau begini nih," goda Rayhan.
Mereka makan sambil sesekali bergurau.
"Sayang, Mama undang kita makan malam di rumah malam nanti."
Setelah usai makan siang, Rayhan merangkul bahu sang istri. Melabuhkan kecupan ke puncak kepala istrinya dengan sayang.
"Semoga nanti gak ada pembahasan tentang cucu ya."
Khansa menatap sendu ke arah suaminya.
"Jangan diambil hati. Kita pasti akan memberi mereka cucu secepatnya."
Harapan Khansa ternyata tak berjalan baik. Pasalnya ketika ia dan Rayhan memenuhi undangan kedua orang tua Rayhan, mereka lagi-lagi bahas cucu tetangga!
Menyebalkan sekali untuk Khansa.
"Mama tuh heran sama cucu sebelah, aktifnya ya ampun. Seharian ini bikin Mama capek uber-uber dia. Tapi anehnya capek Mama tuh beda. Senang gitu. Ya ampun, gimana kalau cucu sendiri coba."
Rayhan menggenggam telapak tangan Khansa, membuat Khansa menoleh pada suaminya, dan mendapati senyum di sana. Tapi tak lama, saat kembali mendengar ide sang Mama.
"Oh iya, kalian gak minat ikut program bayi tabung? Tetangga depan belum lama berhasil lho."