Hari keberangkatan Dae Jung ke Kanada sudah tiba. Junhee masih bersikeras untuk tidak melepas Dae Junfg, tapi berbeda dengan dirinya Heejun malah mendukung keputusan putranya. Mau tak mau Junhee harus hidup jauh dari putra tunggalnya.
“Ingat pesanku begitu sampai sana jangan ke mana-mana, langsung ke asrama. Jangan berbicara dengan orang asing, makanlah dengan teratur, jika butuh apa-apa jangan lupa telpon kami, kau mengerti kan?”
Ini sudah kedua kalinya Junhee memeluk anak semata wayangnya. Tak lupa dengan wejangan panjang yang dia berikan pada Dae Jung. Dae Jung tersenyum melihat ibunya yang khawatir. Meski baru 15 tahun tapi Dae Jung cukup mandiri dan bisa mengurus dirinya sendiri. Dae Jung mengangguk,” Iya, Eomma, kau tidak perlu khawatir. Aku akan menelepon Eomma begitu sampai sana,” ujar Dae Jung.
“Dae Jung sudah dewasa, kau jangan khawatir, Junhee” tambah Heejun. “Kau tahu kan apa yang harus kamu lakukan, belajar dengan baik dan jangan kecewakan kami lagi,” gumam Heejun. Dae Jung mengangguk. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, dia sudah belajar dari kesalahannya beberapa bulan yang lalu.
“Aku pasti akan belajar dengan baik,Pa,” ujar Dae Jung dengan penuh tekad. Rasanya berat sekali melepaskan Dae Jung sekarang. Perpisahan ini terlalu cepat. Meski Junhee bisa mengunjunginya ke Kanada tapi tetap saja Kanada-Korea itu terlalu jauh.
‘Dae Jung, haruskah kami ikut denganmu?” Junhee mulai melankolis kembali. Dia sempat mengusulkan pada Heejun untuk pindah ke Kanada bersama Dae Jung namun Heejun menolak. Pasalnya mereka baru saja membuka bisnis di Korea, Heejun tidak dapat meninggalkan bisnisnya begitu saja.
“Eomma, bukankah Appa harus mengurus bisnis di sini. Jadi kupikir Eomma harus mendampingi Appa di sini,” jawab Dae Jung. Heejun mengelus kepala putranya dia merasa bangga dengan Dae Jung yang sekarang, “Kau sudah besar sekarang,” gumam Heejun. Dae Jung hanya tersenyum sekilas, “Sudahlah Junhee. Dae Jung akan baik-baik saja di sana. Kita bisa mengunjunginya kapanpun kau mau, “ hibur Heejun memeluk pinggang istrinya.
Perpisahan itu benar-benar terasa nyata ketika panggilan terakhir penumpang terdengar dari speaker. Mereka pada akhirnya harus melepaskan Dae Jung untuk pergi. Junhee melepas putra tunggalnya dengan pandangan bekaca-kaca, “Apa Dae Jung akan baik-baik saja?” gumamnya. Heejun mengangguk lalu menggandeng tangan istrinya.
***
Asrama itu memiliki ruang yang cukup bersih, begitu Dae Jung sampai di Kanada, pihak sekolah langsung menjemputnya di bandara. Ruangan di asrama ini benar-benar bagus, Dae Jung sangat menyukainya, tapi anehnya begitu sampai di sini dia justru mendadak Home Sick. Kamar ini terdiri dari satu kasur tingkat dengan ukuran yang hanya cukup untuk satu orang, dua meja belajar dan juga kamar mandi serta dua lemari di sudut ruangan, tidak begitu luas namun cukup untuk tinggal bersama dua orang.
“Semoga kau betah di sini,” gumam Mrs Jane, sang penjaga asrama pada Dae Jung. Dae Jung mengangguk, “Thank you, Miss,” gumam Dae Jung sambil tersenyum. Dae Jung menyeret kopernya dan membawanya masuk ke dalam. Ruangan ini tampak sepi. Dae Jung tidak melihat tanda-tanda keberadaan roomatesnya. Mungkin dia sedang keluar pikir Dae Jung. Dae Jung merebahkan dirinya ke kasur. Sekolahnya akan dimulai besok pagim jadi dia masih punya waktu untuk istirahat.
Brak!
Pintu kamar terbuka dan membuat Dae Jung terperanjat, lelaki itu kemudian bangun dan duduk di ranjang dengan wajah tegang.
Tiga orang muncul dari balik pintu, mereka menatap Dae Jung dengan pandangan tidak suka. “Hey, kau mata sipit!” Teriak salah satu diantara mereka dengan tidak sopan. Dae Jung menatap mereka dengan pandangan tidak suka. Dia datang ke sini untuk belajar dan mencari kedamaian, namun sepertinya kedamaian itu tidak akan mudah Dae Jung dapatkan.
“Aku punya nama, jangan memanggilku dengan mata sipit,” gumam Dae Jung dengan pandangan tidak suka. JIka mereka pikir Dae Jung akan bersikap penurut atau menerima perkataan kasar mereka, mereka salah, Dae Jung tidak akan sebodoh itu dan tinggal diam. Dari gerak-gerik mereka Dae Jung bisa membaca bahwa ketiganya ingin merundung Dae Jung.
“Kau! Berani-beraninya kau membalas ucapan kami, Apa kau tidak tahu siapa kami?” Gumam seseorang dengan rambut keriting dan hoodie biru langit pada Dae Jung. Dae Jung berdiri dan menegakkan tubuhnya, dia menatap tiga orang yang berada di hadapannya tanpa rasa takut. Keributan di kamarnya terdengar hingga di lorong asrama, akibatnya kini banyak murid yang berkumpul di depan kamar Dae Jung.
“Apa aku perlu tahu siapa kalian?” Dae Jung mengangkat senyum sinis dari sudut bibirnya. Dia tidak mau tahu siapa mereka, yang jelas mereka tidak akan semudah itu merundung Dae Jung. Empat orang yang berada di depan Dae Jung sekarang adalah Bastilo, Bastian, Timmy and Danelo, keempatnya geng yang terkenal suka membuat onar di asrama ini. Banyak murid yang takut padanya, karena salah satu diantara mereka adalah pemilik sekolah ini.
“Sepertinya kau harus diberi pelajaran,” gumam Danelo, Danelo adalah pemimpin geng ini, dia terkenal suka merundung dan meminta uang dari para murid meski sebenarnya Danelo berasal dari keluarga yang cukup kaya. Dia melakukan itu untuk bersenang-senang.
“Hajar dia!” Danelo memberikan perintah pada Bastian untuk memukul Dae Jung. Bastian cukup pandai bela diri, ketiga anggota geng Bastilo pandai berantem dan membuat masalah semua murid segan berurusan dengannya.
Bastian melayangkan pukulannya, namun pukulan itu mampu ditangkis Dae Jung dengan baik. Dae Jung ke sini bukan tanpa persiapan, selain memberikan pelajaran hidup pada Dae Jung, orang tua Dae Jung juga mengajari Dae Jung bela diri. Soal berkelahi, Dae Jung cukup mahir untuk itu, “Jangan memancingku, aku sedang tidak ingin berkelahi,” ujar Dae Jung menahan tangan Bastian dengan satu tangan.
Bastian tertegun, belum pernah dia mendapat lawan seperti Dae Jung . Ia hanya menahan tangan Bastian dengan satu tangan tapi cukup untuk membuat Bastian kesakitan. “Kenapa kau diam saja cepat bantu Bastian,” Danelo mendurung tubuh Timmy. Lelaki itu terlihat ragu untuk menyerang Dae Jung, namun dia lebih takut pada Danelo, jadi mau tak mau dia harus maju.
Timmy mengepalkan tangannya dan bersiap menyerang Dae Jung. Dae Jung sudah siap dengan serangan Timmy, lelaki itu hamnpir saja mendaratkan pukulannya ketika sebuah suara baritone menginterupsi mereka.
“Beraninya kalian membuat keributan di sini!” teriak seseorang dengan pandangan tidak suka. Refleks semua pandangan langsung tertuju ke arah datangnya suara, Dia adalah orang yang paling disegani satu sekolah. Matanya tajam seperti elang, dia pintar dalam segala hal namun berhati dingin. Bastilo terlihat ketakutan bahkan Bastian langsung menarik tangannya dari Dae Jung dan Timmy tidak berani mendaratkan pukulannya pada Dae Jung. Lelaki itu benar-benar menyeramkan, namun anehnya Dae Jung tidak terintimidasi olehnya, “Kamu siapa? Jangan ikut campur,” gumam Dae Jung dengan pandangan tidak suka.