Resign!!

1034 Words
Hang membulatkan matanya tatkala salah satu staf HRD (Human Resources Development) mengantarkan surat pengunduran diri sepihak milik Amel. Ia mengeraskan rahang, merasa dikhianati oleh sang sekretaris. Tak terima dengan aksi Amel, Hang meremas surat pengunduran Amel menjadi bola-bola asal lalu melemparkan ke sembarang arah.  "Siapa suruh kamu menerima sampah itu, hah?!" bentak Hang menyalurkan emosinya. Ia tak peduli sekalipun staf di hadapannya tak salah. Hang hanya butuh tempat pembuangan.  "Loh, saya kirain Bu Amel sudah ada pemberitahuan ke Bapak."  Hang memukul meja, membuat karyawannya yang tidak tahu menahu mengenai masalah pribadi dia dan Amel terlonjak kaget. "Kalau saya sudah tahu, nggak akan saya marah. Kamu itu bejalar psikologi kan??  Ngamatin mimik wajah saya nggak bisa?!" amuk Hang merasa semua yang keluar dari bibir lawan bicaranya adalah sebuah kesalahan.  Hang memejamkan mata, ia mencoba menarik nafas sedalam yang ia bisa sebelum mendudukkan diri di kursi kebesarannya. Sungguh Hang tak menyangka jika Amel akan mengambil jalan nekat untuk keluar dari perusahaan. Wanita itu benar-benar siap miskin rupanya.  "Kamu kirim email ke Amel, bilang saya nggak menyetujui pengunduran dia." titah Hang.  "Baik Pak."  Memijit kepalanya yang berdenyut, Hang menyandarkan diri lemah ke sandaran kursi. Ia tak habis pikir dengan isi otak Amel. Masa hanya karena sebuah gosip wanita itu melepaskan tambang emas seperti dirinya?! 'Ini saya beneran kamu tolak Mel?', tanya Hang dalam hati. Jika memang benar, ia jelas tidak terima. Ia kan sudah merasa enak.. Eh! cocok dengan Amel. Masa ditinggalkan begitu saja sih.  "Mel saya kurang apa?!" tanya Hang pada ruang kosong. Ia tiba-tiba saja merasa hampa karena tak mendengar amukkan Amel.  "Pap.. Asataga! Papah kenapa?!" panik Rara setelah melihat keadaan Hang yang bisa dikatakan jauh dari kata baik-baik saja.  "Papah kenapa kaya gembel gini? Rambut juga acak-acakkan. Papah kalah tender?" tanya  Rara yang kini duduk di kursi depan meja kerja Hang.  Tidak ada jawaban. Lelaki yang masih hot di usia kepala empatnya itu hanya memandang sang putri dengan tatapan berkaca-kaca, membuat Rara semakin khawatir dengan keadaan papahnya. Bayangkan saja Hang yang biasa rapi, kini acak-acakkan dengan kancing baju terbuka. Kalau Rara bisa bilang papahnya itu mirip gembel sekarang.  "Ra.. Calon mamah tiri kamu ninggalin papa Ra. Dia kabur." lirih Hang seolah-olah ia memang menderita ditinggalkan oleh Amel.  Rara menyerngit sebelum satu alisnya terangkat satu, seolah ia kini tengah bertanya apa maksud dari perkataan sang papah. "Kabur gimana sih pah?! Kan dia kerja di sini." ujar Rara. Gadis itu masih belum mengetahui informasi terbaru mengenai Amel yang mengundurkan diri.  "Rara, Amel kabur dari Papah. Dia ninggalin Papah Ra!" ulang Hang dengan kalimat yang tak jauh berbeda dengan apa yang dia katakan.  "Papah ditolak Amel?" kali ini Rara mengeluarkan hasil analisis dari kalimat-kalimat ambigu Hang.  Hang berdecak, "enggak Rara! Amelnya kabur. Bukan nolak papah!" perjelas Hang. Ia jelas tidak terima jika putrinya mengatakan ia telah di campakkan. Hang kan masih mau berjuang. Lagi pula Amel hanya mengundurkan diri sebagai sekretaris bukan istrinya.  "Ck.. Papah bilang Amel kabur tadi. Itu tandanya Amel nggak mau nikah sama papah." singkat, jelas dan tepat sasaran. Ucapan Rara mampu membuat ke dua mata Hang melotot tajam.  Rara jelas tak takut menghadapi intimidasi Hang. Putri tertua Hang itu hanya mengedikkan bahu. "Jadi gimana cara Amel kabur sampai papah uring-uringan gini? Dia nggak ada di ruangannya?", belum sempat Hang menjawab Rara kembali membuka mulut. "Dia beli bakso kali ke emperan depan. Calon istri papah kan kikirnya minta ampun kalau urusan beli makan."  "Dia ngundurin diri Rara! Resign! Papah harus apa dong?!" jerit Hang akhirnya memberi tahu alasan mengapa ia sampai ngamuk-ngamuk nggak jelas pada sang putri. Kalau saja Amel cuma melipir beli bakso ke depan sih Hang juga nggak akan sebingung sekarang.  Hang kini mempertanyakan kekurangan dirinya pada Rara. Ia telah memiliki segala hal, bahkan dua putri cerdas seperti Rara dan Resti yang tentu saja membuat gadis itu menggelengkan kepala karena kenarsisan papahnya. Ia juga menyampaikan beberapa aset, kelak harta itu bisa untuk si Amel mandi emas batangan di dalam kolam renang. Tapi masih saja Amel kabur. "Papah kurang muda buat Amel." Hang mencebikkan bibir. Ia jelas tidak mungkin berdebat masalah umur dan menyangkal ucapan putrinya.  "Jadi papah harus gimana?!" mulai frustasi Hang meminta saran pada Rara. Baru kali ini Hang menjumpai wanita seperti Amel. Biasanya ia di eluh-eluhkan bahkan dikejar-kejar oleh para wanita. Mereka bahkan rela Hang lucuti kehormatannya agar bisa menikah dengan Hang. Tentu saja wanita rendahan begitu Hang tak tertarik.  Rara melipat tangan ke d**a. Ia menggigit bibir sembari mencoba berpikir bagaimana cara menahan Amel. Selain membantu sang papah untuk mendapatkan wanita dambaan, Rara juga terlanjur menyayangi sekertaris papahnya itu.  Ia dan Resti sudah terbiasa dilayani oleh Amel. Tentu akan menjadi berbeda jika Amel tidak lagi ada dikehidupan mereka.  "Pelanggaran kontrak kerja. Papah jerat aja Amel pake itu. Rara yakin Amel nggak jadi ngundurin diri pah. Lagian Amel tuh kikir. Dia cinta banget sama duitnya. Mana mungkin rela si Amel duitnya dipake bayar pinalti." bak mendengar angin segar, Hang menjentikkan jari. Tidak sia-sia dia memiliki Rara. Putrinya itu memang selalu bisa diandalkan. Rara memiliki kecerdaan luar biasa. Tentu menurun dari dirinya.  Wajah Hang yang tadinya muram kini kembali cerah. Darah-darah kembali mengalir deras di sekujur tubuh mendengar usulan Rara. "Kamu memang anak papah Ra. Papah bangga punya kamu. Mama di surga pasti istirahat damai kamu pinter begini." puji Hang membawa-bawa istrinya yang telah tiada.  "Nggak ada yang gratis di dunia ini pah."  "Beres! Kamu mau minta apa Sayang? Kapal pesiar? Mall baru?!" tanya Hang antusias. Ia akan memberikan apapun yang Rara inginkan untuk membalas kecerdikkan putrinya.  "Nope! Rara cuman perlu tas. Nanti Rara kirim ke papah gambarnya. Tolong kirim ke rumah Oma ya, Pah." Hang mengacungkan dua jempol ke udara. Masalah tas sih gampang untuk Hang. Kalau perlu  Hang beli sekalian desainer tas incaran putrinya.  Hang tertawa setelah kepergian Rara dari kantornya. Ia bahkan sampai terpingkal membayangkan Amel akan datang memelas agar tak membayar uang pinalti. Ah, rasanya Hang tak sabar menunggu waktu itu tiba. Ia akan menawarkan syarat pamungkas untuk Amel. Kali ini rencana memiliki Amel pasti tak akan gagal lagi. Hang yakin Amel tak akan menolaknya.   "Hahaha.. Amel! Amel! Saya yakin kali ini kamu akan ngambil cincin berlian dari saya." ucap Hang dengan wajah puas.  Di lain tempat, tepatnya di kamar kos sederhana milik Amel. Wanita itu bergidik merasakan bulu kuduknya berdiri tiba-tiba. "Ya Tuhan.. Ini di kamar gue tiba-tiba ada setan apa gimana? Kok bulu kuduk gue berdiri gini sih. Hiiii..." gidik Amel sambil menenggelamkan wajah ke bantal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD