Perhatian Kecil Dari Bos Besar

2151 Words
Nara sangat terkejut saat kedua netra miliknya menangkap keberadaan seorang pria yang berdiri di pintu masuk gedung sambil menatap ke arahnya. Damar. Apa yang dilakukan pria itu di gedung apartemennya? Masih lengkap dengan setelan kemeja dan juga sepatu pantofel yang dia kenakan hari ini untuk datang bekerja. “Pak Damar?” Nara berjalan menghampiri Damar yang juga menghampirinya. “Ada apa Bapak kemari?” tanya wanita itu lagi. “Saya ke sini karena ingin menemui kamu.” Damar langsung to the point. Seperti yang selalu dilakukannya selama ini. Kening Nara berkerut halus. “Ya? Ada apa Bapak ingin menemui saya?” Tidak pernah sekali pun Nara mendapati seorang bos besar ingin bertemu dengannya hingga datang ke gedung apartemennya. Kasus Damar adalah yang pertama kalinya. “Saya lihat kaki kamu sedikit bengkak dan kamu juga berjalan pincang. Kamu sudah pergi ke tukang pijat atau ke rumah sakit?” “Ya?” Nara hampir memekik karena Damar memberinya pertanyaan seperti itu. “Uhm, saya belum ke tukang pijat ataupun ke rumah sakit, Pak. Saya belum sempat.” “Ya sudah kalau begitu. Ayo ikut saya sekarang.” Damar hendak membuka langkah, namun Nara mencegahnya dengan melontarkan kembali pertanyaan. “Ikut Bapak? Ke mana?” Nara semakin dibuat kebingungan. “Ke tukang pijat langganan Ibu saya.” “Hah? Tapi ... kenapa?” Kali ini Nara benar-benar memekik saking terkejutnya. “Kamu tanya kenapa? Ya karena kaki kamu bengkak dan perlu ditangani secepatnya. Memang kamu mau terus berjalan pincang dan merasa kesakitan?” “Saya tidak mau. Maksud saya, kenapa saya harus ke tukang pijat bersama Bapak?” Oke, mungkin akan terjadi sedikit perdebatan kecil sebelum berangkat ke tukang pijat. Bagi Nara, kenapa dia harus mau diantar ke tukang pijat oleh Damar? Atasannya itu? Sita saja tidak begitu pusing dan repot-repot mau mengantarnya ke tukang pijat. Tapi, kenapa malah Damar yang repot ingin membawanya? “Karena kamu karyawan saya.” Memang begitu ya sekarang aturannya? “Jadi maksud Bapak, karena saya karyawan Bapak makanya Bapak mau repot-repot mengantar saya ke tukang pijat. Begitu?” Damar mengangguk mantap. “Tepat sekali!” sahutnya. Nara langsung tercengang. “Eh. Enggak perlu. Bapak jangan repot-repot begitu. Saya sudah banyak dibantu oleh Bapak kemarin dan saya nggak ingin merepotkan Bapak lagi.” Nara berusaha menolak tawaran Damar. Sehalus mungkin agar tidak menyinggung perasaannya. “Kalau saya merasa direpotkan. Sejak awal saya tidak akan datang kemari untuk menemui kamu,” kata Damar lagi. “Ayo, jangan sia-siakan waktu saya karena sudah datang kemari.” “Tapi, Pak. Saya baru pulang dari kantor dan belum mandi.” Nara berusaha mencari alasan. “Memangnya saya tidak? Saya juga baru pulang dari kantor dan belum mandi.” “Tapi—" “Tunggu di sini, saya ambil mobil dulu.” Damar melangkah pergi. “Haish! Kenapa sih dia itu? Aneh banget deh. Aku nggak pernah minta dia untuk datang apalagi menawarkan bantuan. Ke tukang pijat? Hah, yang benar aja!” Nara terus menggerutu sebal. Kenapa Damar tidak mau mendengarkan kata-katanya. Padahal Nara sangat yakin bahwa dia sudah mengatakan hal tersebut dengan jelas. Mengatakan bahwa Damar tidak perlu repot mengantarnya ke tukang pijat. Mobil Damar berhenti tepat di depan Nara. Pria itu bahkan sampai turun dari mobilnya. Tentu saja untuk membantu Nara masuk dan memastikan wanita itu duduk dengan nyaman dalam kendaraan roda empat miliknya. “Hati-hati tubuh kamu. Saya akan menutup pintunya sekarang.” Mobil Damar melaju dengan perlahan. Pria itu nampak santai dan sangat fokus. Sementara di sampingnya, Nara merasa gelisah dan tidak nyaman sama sekali. Nara terus memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali dia juga menghela napas. Tadi pagi dia sudah berjanji dengan Sita akan menginap di apartemennya malam ini. Wanita itu pasti menunggunya sekarang. Damar melirik ke samping kiri dan mencuri pandang pada Nara yang masih gelisah seperti tadi. Damar sedikit penasaran, hal apa yang begitu mengganggu Nara hingga membuatnya sangat gelisah seperti sekarang ini. “Pak, masih jauh ya tempatnya?” Nara bertanya setelah perjalanan mereka tinggal sedikit lagi. “Kita sudah dekat. Sebentar lagi akan sampai.” Usai Damar mengatakan hal tersebut, mobilnya menepi dan masuk ke sebuah halaman yang cukup luas. Halaman tanpa sususan pagar dan hanya ada pepohonan rimbun di sisi kanan kirinya. Di ujung halaman itu, Nara melihat dengan jelas sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Dan cahaya lampu yang tidak seberapa terang membuat Nara harus meneguk saliva dengan berat. “Bapak yakin ini tempatnya?” Nara bertanya sebelum memutuskan untuk turun. “Terlepas dari bagaimana tempatnya. Dia akan membantu menyembuhkan kaki kamu.” Damar turun lebih dulu. Diikuti oleh Nara yang turun dengan perasaan sedikit ragu. ‘Dia nggak akan culik aku, kan?’ Nara bergumam dalam hati. “Perlu saya bantu kamu berjalan?” Damar masih berdiri pada tempatnya. Nara menggeleng. “Kalau begitu, ayo masuk ke dalam,” kata Damar lagi dan berjalan memimpin di depan. Damar berdiri di depan pintu rumah kayu itu dan Nara berdiri tepat di belakangnya. Damar melayangkan ketukannya dan tidak lama berselang pintu tersebut terbuka. Seorang wanita tua berdiri di balik pintu itu dan menyapa Damar dengan senyuman ramah. “Nak Damar,” kata wanita tua itu. Deretan giginya yang sudah tidak lagi lengkap menghiasi senyumnya. “Mbah ... maaf saya datang mendadak begini,” sahut Damar begitu ramah. “Bukan apa-apa, Nak Damar. Ayo silakan masuk.” Wanita yang akrab disapa Mbah Ratih itu mempersilakan. Damar mengangguk pelan lalu melepaskan sepatu pantofelnya. Melihat Damar melepaskan sepatunya, Nara juga ikut melakukan hal yang sama. Sebenarnya Nara masih merasa ragu. Kenapa dia malah berakhir di sini bersama Damar? Seharusnya dia berada di kamar mandi apartemen dan membersihkan diri sekarang. Nara berjalan tepat di belakang Damar. Rumah Mbah Ratih sangat bersih dan rapi. Penerangan di dalam ruangan tidak kalah redup dengan cahaya lampu di luar tadi. Terkesan sedikit horor dan sukses membuat Nara merinding setengah mati. “Nak Damar dan temannya mau minum apa?” tanya Mbah Ratih begitu mereka berada di ruang tengah. “Tidak perlu repot, Mbah. Kebetulan kami sudah minum tadi.” Jelas Damar berbohong. Mereka tidak minum sama sekali selama di perjalanan tadi. “Ya sudah. Kalau begitu, temannya Nak Damar silakan duduk di sini.” Mbah Ratih mendudukkan diri terlebih dulu. Duduk lesehan di atas lantai dengan sebuah mangkuk kecil berisi sedikit minyak di sampingnya. Nara seolah dihipnotis. Dia tidak banyak bicara dan langsung mendudukkan diri di atas lantai sesuai dengan arahan Mbah Ratih. Sementara Damar, pria itu juga ikut duduk tidak jauh dari mereka. Mbah Ratih mulai memijat pergelangan kaki Nara dengan lembut. Dan suara teriakan Nara langsung memecah keheningan di dalam rumah itu. Mengejutkan Damar dan mengundang senyuman di bibir Mbah Ratih. “Aduh, Mbah! Sakit banget!” Nara meringis dan berusaha menarik kakinya. Kedua matanya sedikit berair. Nara hampir menangis. “Tahan sebentar ya, Nak. Tidak lama kok. Sebentar saja.” Mbah Ratih tersenyum lembut sementara tangannya bergerak lihai memijat pergelangan kaki Nara. Nara ingin berteriak sekeras yang dia bisa. Rasa sakit akibat sentuhan tangan Mbah Ratih pada pergelangan kakinya terasa begitu luar biasa. Nara berusaha menahan diri dengan menggigit bibir bawahnya serta memejamkan kedua matanya. Ternyata begini rasanya terkilir. Nara bersumpah tidak ingin merasakannya lagi. “Sudah selesai.” Nara merasa seperti sebuah paku besar berhasil dicabut dari kakinya. Nara merasa sangat lega. Dia tidak harus menahan rasa sakit itu lagi sekarang. Setelah mendapat pijatan dari Mbah Ratih, Nara merasakan pergelangan kakinya sedikit nyaman. Yah ... memang rasa sakitnya tidak sepenuhnya hilang. Tapi ini lebih baik. *** Nara menyadarkan punggungnya saat mobil Damar melaju meninggalkan halaman rumah Mbah Ratih. Nara memilih untuk tidak mengenakan safety belt karena dia ingin bernapas dengan leluasa. Nara merasa dadanya sedikit sesak karena harus menahan sakit saat dipijat tadi. “Bagaimana kaki kamu?” Damar menanyai Nara. Dia menoleh ke samping kiri sekilas kemudian menatap ke depan lagi. “Agak mendingan dari sebelumnya. Sudah nggak terlalu sakit lagi.” Nara menjawab. “Terima kasih banyak, Pak. Karena sudah mengantar saya....” Nara tulus mengucapkan itu. Damar tersenyum puas. Senang mendengar Nara sudah tidak terlalu kesakitan lagi. Dulu dia juga pernah terkilir dan rasanya sangat menyiksa. Damar tidak bisa berjalan dengan leluasa dan harus merasakan nyerinya setiap saat. Damar merogoh saku celana saat mendapati sesuatu yang dia simpan di dalam sana bergetar. Sebuah panggilan masuk dari ibunya. Damar segera menjawab panggilan itu. “Halo, Ma....” sapa Damar begitu panggilan mereka berhasil tersambung. “Kamu di mana, Damar? Kenapa belum pulang?” Di seberang telepon, Arni yang tengah duduk di atas sofa kebanggaannya bertanya. Di sampingnya juga ada Kalia yang ikut mendengarkan percakapan sang nenek dengan ayahnya. “Maaf, Ma. Damar lupa kasih kabar tadi. Damar ada sedikit urusan dan akan pulang sedikit telat. Jadi, kalian makan malam duluan aja tanpa Damar, ya.” Di samping Damar, Nara merasa tidak nyaman. Karena mengantar dirinya ke tukang pijat. Damar harus pulang terlambat dan melewatkan makan malam bersama orangtuanya. “Maaf, Pak,” ucap Nara saat Damar menutup panggilan teleponnya dengan Arni. “Untuk?” Damar menoleh ke samping kiri. “Karena harus mengantar saya. Bapak jadi melewatkan makan malam bersama orangtua Bapak,” sahut Nara membalas tatapan Damar. “Bukan masalah. Lagi pula saya bisa makan sendiri,” balasnya singkat. Nara langsung melongo. Damar memang jago membuat orang kehabisan kata karena jawaban singkatnya. Tidak bertele-tele dan sangat jelas. “Loh, Pak ... kenapa kita ke sini?” Nara bertanya saat Damar membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. “Makan. Saya lapar. Memang kamu tidak kelaparan?” Damar mematikan mesin mobilnya kemudian turun dari sana. Tentu Nara merasa lapar. Sudah hampir dua jam berlalu dari jam makan malamnya. Meski berisiko angka timbangannya akan naik. Namun Nara tidak ingin merasakan lapar sepanjang malam ini. Dia harus makan. Nara bergegas turun dari mobil Damar dan berjalan menyusul pria itu. Ada begitu banyak pengunjung di warung makan ini. Nara mendadak ragu apakah mereka akan dapat tempat duduk atau tidak. “Bapak yakin ingin makan di sini? Sepertinya nggak ada tempat duduk yang tersisa,” bisik Nara di belakang. Damar terus berjalan kemudian berhenti di sebuah bangku kosong di pojok warung makan. Damar meminta Nara untuk duduk di sana. “Bangku kosongnya cuman ada satu. Kalau saya duduk di sini, Bapak duduk di mana?” Nara cukup ragu untuk duduk meski Damar memintanya. “Jangan khawatirkan soal saya. Kamu duduk saja di situ dengan tenang.” “Tapi, Pak—" “Kamu ini kebanyakan tapi dari tadi. Memang kamu mau berdiri dengan kaki seperti itu?” Damar menatap ke arah kaki Nara. Wanita itu sengaja berdiri dengan satu kaki yang menumpu kuat tubuhnya. Nara menggeleng. “Jadi, duduk saja di sana dengan tenang. Oke? Lagi pula mereka akan selesai sebentar lagi.” Damar mengembangkan senyumnya. Membuat Nara langsung membeku seketika. Meski Nara masih sangat sulit untuk percaya dan membuka kembali hati pada seorang pria. Namun Nara masih cukup waras untuk tidak menolak menikmati pemandangan indah yang nyata di depan mata. Seperti kata Sita. Menatap pria tampan dapat membuat hati menjadi gembira. Nara tidak lagi mendebat Damar. Wanita itu mendadak diam dalam duduknya. Sementara Damar masih berdiri di sampingnya sembari sesekali melirik wanita itu. Damar tersenyum tipis. Mengingat bagaimana Nara berhasil membuat dunia nya teralihkan dalam sekejap saat pertemuan pertama mereka. Bagaimana aroma lembut yang berasal dari tubuh Nara menyapu indra penciumannya. Dan bagaimana bibir wanita itu tersenyum untuknya saat mengucapkan ‘terima kasih’ karena telah membantunya menahan pintu lift. “Pak Damar.” Suara Nara yang halus dan lembut menginterupsi lamunan Damar. “Ya? Ada apa?” tanya Damar. “Itu, Pak....” Nara menunjuk ke arah kursi kosong di samping kanannya. “Oh iya, sorry saya teralihkan tadi.” Damar pun bergegas mendudukkan diri di kursi kosong di samping Nara. “Pantesan saya panggil dari tadi Bapak nggak respon sama sekali. Saya pikir Bapak kerasukan.” “Ya? Kerasukan?” Damar tergelak. “Kenapa?” Nara keheranan mendapati Damar yang tiba-tiba tertawa saat dirinya menyebut kerasukan. “Bukan apa-apa. Saya hanya tidak percaya dengan hal seperti itu.” Lebih tepatnya, Damar tidak ingin mempercayainya. “Tapi, hal yang tidak Bapak percayai itu nyatanya banyak yang mengalami.” Nara bicara seperti itu karena pernah menyaksikan sendiri rekan-rekannya kerasukan saat camping acara kantor tahun lalu. Sudut bibir Damar masih tersungging ke atas. Kepalanya menggeleng pelan ke kiri dan ke kanan. “Tidak ... sampai saya mengalaminya sendiri,” sahutnya lugas. “Ya?” Nara tercengang. “Memang Bapak mau?” tanyanya. “Tergantung. Jika hal seperti itu memang nyata. Maka akan menjadi pengalaman yang lain untuk saya pribadi.” Nara menggeleng tak percaya. “Pak, baru kali ini saya menemui orang yang ingin merasakan bagaimana rasanya kerasukan.” “Memang saya pernah mengatakan saya ingin mengalaminya?” tembak Damar. Nara pun mengulangi kalimat Damar beberapa saat yang lalu. Di mana pria itu mengatakan ‘tidak ... sampai saya mengalaminya sendiri’. “Bagian mana yang membuat kamu menarik kesimpulan bahwa saya menginginkannya? Saya menjawab seperti itu karena sebelumnya kamu mengatakan bahwa kejadian itu banyak yang mengalaminya. Bukan menegaskan saya ingin mengalaminya.” Nara mengangkat tangan kanannya. Kedua matanya tercengang menatap Damar. Kenapa perkara ini saja bisa sepanjang ini jadinya? Apa Damar adalah orang yang suka memanjangkan atau membesarkan masalah? Jika benar, Nara sangat sangat sangat membencinya. “Permisi, ini pesanan kalian.” Nara tidak memalingkan wajahnya dari Damar. Tidak menggubris pelayan rumah makan yang datang membawakan pesanan mereka. Tidak pula menggubris Damar yang sibuk mengelap sendok dan garpu mereka dengan selembar tisu. Nara masih tak habis pikir dengan atasannya itu. “Kamu tidak akan kenyang dengan hanya menatap wajah saya. Yang ada kamu malah jatuh cinta karena nya.” Nara semakin melebarkan kedua matanya. Baiklah, atasannya ini tidak hanya suka memanjangkan atau membesarkan masalah. Tapi Damar juga mempunyai masalah dengan kepercayaan dirinya. Bagaimana dia bisa begitu percaya diri saat mengatakan hal tadi? 'Ada apa dengan pria ini?' batin Nara keheranan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD