Nara berusaha mengatur napasnya saat dia berhasil mendudukkan diri di atas kursi di balik meja kerjanya. Perlu usaha yang cukup besar agar Nara bisa sampai di sini. Kaki kanannya terkilir akibat insiden penjambretan pagi itu. Nara belum sempat membawa kakinya ke tukang pijat ataupun ke rumah sakit.
“Ya ampun, Nara. Kaki kamu kenapa?” Sita menarik kursinya ke samping meja kerja Nara.
“Kamu tahu dari mana? Pasti dari Pak Dwi, kan?” Nara menebak. Siapa lagi kalau bukan pria itu? Tadi Nara berpapasan dengannya dan reaksinya begitu heboh saat melihat Nara berjalan pincang.
Sita mengangguk. “Emang kaki kamu kenapa? Ada kejadian apa yang terjadi sama kamu kemarin?” cecar Sita tak sabar.
Nara menghela napas pelan. “Aku kejambretan, Ta,” sahutnya lirih.
“Apa? Kejambretan? Terus gimana? Kamu nggak apa-apa, kan?” Sita celingukan memeriksa sekujur tubuh Nara. Wanita itu berhenti saat dia mendapati pergelangan kaki Nara yang bengkak dan telapak tangannya yang lecet.
Nara memasang wajah masam. Drama pagi ini siap dimulai. Berteman sejak lama, Sita tahu bagaimana Genara luar dan dalam.
“Oh My God! Genara, kamu pasti sangat kesakitan.” Sita memanyunkan bibirnya kemudian menghamburkan diri memeluk Nara.
“Iya ... aku kesakitan banget.” Nara sedikit mendramatisir mengingat kejadian kemarin pagi.
“Terus siapa yang tolongin kamu? Kenapa kamu nggak hubungi aku?” Sita bertanya dalam pelukan. Dagunya masih mendarat cantik di bahu Nara.
Seketika jantung Nara berpacu sangat cepat. Nara merasa gugup sekali saat Sita melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Mustahil Nara menjawab dan mengatakan bahwa orang yang menolongnya adalah Damar—bos mereka—bukan? Hal itu akan langsung menjadi berita hangat dan mengalahkan gosip minggu ini bahwa Ismi ternyata sudah menikah diam-diam.
“Uhm ... mana bisa aku hubungi kamu, Ta. Orang handphone ku juga dijambret.” Nara sengaja menghela napas.
Sita langsung mengurai pelukan. Menatap Nara yang memasang tatapan nanar untuknya. “Astaga. Pantesan dari kemarin aku hubungi kamu nggak bisa-bisa.”
“Tumben kamu hubungi aku saat weekend? Kenapa?”
Sita adalah manusia ter-aneh yang pernah Nara kenal selama hidupnya. Wanita itu memegang prinsip yang tak kalah aneh—menurut Nara sebagai teman dekatnya. Setiap weekend, Sita akan selalu menghilang seolah dia ditelan bumi dan akan muncul kembali saat weekday. Tidak ada yang tahu ke mana Sita pergi. Dia tidak akan ditemukan di apartemen, area sekitar apartemen, mall, cafe, tidak di mana pun. Sejak Nara mengenalnya, Sita sudah begitu.
“Hmm....” Sita bergumam pelan. Menjauhkan kursinya dari meja Nara.
“Ada apa, Ta? Apa terjadi sesuatu?”
Sita mendadak murung. Nara yakin, ada sesuatu yang terjadi dengan wanita itu. Kalau tidak, tidak mungkin Sita murung dan malah menghubunginya saat weekend. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Sita selama mereka saling mengenal.
“Kemarin Kemal menikah, Ra. Aku tahu dari adiknya.” Sita menundukkan kepala. Kemal adalah mantan kekasihnya. Mereka hampir menikah dan Kemal mendadak membatalkannya.
Mungkin tidak banyak yang tahu betapa menyedihkannya kisah percintaan Sita. Orang-orang hanya melihat Sita sebagai wanita yang mencintai spesies pria tampan. Katanya, lebih baik orang mengenalnya begitu daripada mengenalnya sebagai wanita yang tidak jadi menikah karena calonnya mendadak membatalkan tanpa alasan. Sita hanya tidak ingin terlihat menyedihkan.
Nara refleks menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Nara sangat terkejut mendengar berita yang baru saja Sita kabarkan. Hal apa pun yang mengejutkan bagi Sita. Akan menjadi mengejutkan juga bagi Nara.
“Ta, kamu yang sabar ya....” Kini giliran Nara yang menghamburkan diri memeluk Sita.
Suara isak tangis Sita perlahan terdengar di telinga Nara. Wanita itu terisak pilu dalam dekapan kawan baiknya. Menumpahkan kesedihannya. Dan semua hal yang membuat hatinya terasa berkecamuk.
“Ra ... rasanya sakit banget.”
Sita semakin membenamkan wajahnya. Tidak peduli dengan riasannya yang akan luntur di blouse Nara. Sita hanya ingin menangis sepuas yang dia bisa. Karena hanya hal itu yang mampu Sita lakukan demi ketenangan batinnya.
“Hei, gimana kalau malam ini aku nginap di rumah kamu?” Sita mengangguk. Nara memang yang terbaik. Dia selalu tahu apa yang harus dia lakukan.
Nara tahu bagaimana rasanya patah hati. Sama sekali tidak nyaman. Seolah di dunia ini tidak ada siapa pun. Hampa, kosong, dan tidak menarik.
Berpisah dengan Herdian. Nara merasa hidupnya tidak lagi menarik. Bukan karena dia sangat mencintai pria itu dan tidak bisa melupakannya. Tapi karena hatinya sangat sakit sebab dipatahkan berkeping-keping oleh mantan suaminya itu. Nara memang bernyawa dan masih bernapas. Tapi hatinya begitu kosong dan hampa.
***
Ada yang tidak menarik siang ini. Nara makan sendirian di kantin kantor sementara Sita memilih untuk tetap di ruangan. Sita sedang patah hati dan Nara ingin memberinya waktu untuk sendirian setidaknya hingga nanti sore. Karena malamnya Nara akan menghabiskan waktu semalam suntuk menginap di apartemen Sita.
Nara membawa piring kosongnya untuk dikembalikan. Dengan kaki yang sulit untuk dibawa berjalan, Nara hampir menjatuhkan piring kosong tersebut ke lantai. Beruntung seseorang dengan sigap membantunya dan memastikan piring tersebut tidak sampai menyentuh lantai.
“Terima kasih.” Nara menegapkan tubuhnya, “Pak Damar?” Orang yang menolongnya tadi adalah Damar. Orang yang sama yang menolongnya kemarin pagi.
“Hati-hati.” Damar mengingatkan. “Bagaimana kaki kamu?” tanyanya lagi.
“Ya? Uhm, sudah baikan, Pak,” sahut Nara kelabakan. Sebenarnya Nara sedikit tidak nyaman ditanyai seperti ini. Dalam sekejap mereka sudah menjadi pusat perhatian para karyawan yang makan di kantin itu juga.
Di samping Damar, Dirja sedikit heran mendapati sang atasan bertanya seperti itu kepada Nara. Memang apa yang terjadi dengan wanita itu? Pikir Dirja. Matanya sibuk memperhatikan kaki Nara yang ternyata cukup bengkak.
“Hei, Genara. Apa yang terjadi dengan kaki kamu?” Dirja ikut melontarkan pertanyaan yang sama.
Nara semakin merasa tidak nyaman. Raut wajahnya jelas menunjukkan jika saat ini dia sedang gelisah. “Bukan apa-apa, Pak. Kaki saya hanya sedikit terkilir karena jatuh kemarin.” Nara menjelaskan. “Saya permisi dulu, ya....” Nara membungkukkan sedikit badannya sebelum berjalan melalui Damar dan juga Dirja.
“Seharusnya dia makan di ruangan saja daripada harus berjalan jauh kemari.” Dirja menggelengkan kepalanya saat berjalan di sisi Damar. Kedua pria itu kemudian memposisikan diri di meja kosong yang memang dikhususkan untuk Damar makan siang.
Damar sebenarnya bukan manusia anti sosial. Hanya saja jam makan siang bagi Damar adalah waktu untuk dia beristirahat. Dan hanya Dirja yang boleh duduk di sisinya, itupun jika ada pekerjaan yang mendesak dan harus dirampungkan segera. Dengan kata lain, Damar akan memakai waktu makan siangnya untuk disambil bekerja juga. Seperti siang ini, misalnya.
“Pak, mau makan siang dulu atau bagaimana?” kata Dirja menanyai atasannya.
“Sambil aja ya, saya mau ke suatu tempat habis ini.” Damar mulai menyendok makanannya. Sedangkan Dirja, langsung membuka berkas kemudian menjelaskannya kepada Damar.
“Sorry, ya. Kamu harus menunda makan siang karena saya. Dan maaf sekali lagi, karena saya harus makan sementara kamu tidak.”
“Bukan masalah, Pak. Saya mengerti. Kalau gitu saya lanjut menjelaskan, ya.”
“Silakan....”
Damar menyimak dengan cermat setiap kalimat yang keluar dari mulut Dirja—sekretarisnya. Baru sekian menit Dirja menjelaskan, dari arah yang berlawanan terdengar suara ribut karena teriakan para karyawan. Sontak, Damar pun meminta Dirja untuk berhenti karena suara Dirja lenyap ditelan oleh suara ribut itu.
“Apa yang terjadi?” Damar keheranan. Untuk seseorang yang tidak pernah pergi ke konser, ini adalah momen paling berisik yang pernah dia temui.
“Akan saya periksa, Pak.” Dirja mengambil inisiatif. Pria itu langsung berdiri dan beranjak untuk memeriksa ada keributan apa yang terjadi di kantin ini.
Selang beberapa menit Dirja kembali menghampiri Damar. Pria itu nampak mengulum senyum dan menggelengkan kepala.
“Ada apa, Dirja? Kenapa kamu tersenyum?” Damar penasaran.
“Ternyata ada yang lagi menyatakan cinta, Pak. Makanya anak-anak kantor yang ada di sini langsung ribut teriak-teriak.” Dirja masih berusaha mengulum senyumnya.
“Oh ya?” Damar menyuap makanannya. Belum juga dia mengunyah, makanan itu hampir dia semburkan keluar saat mendengar kalimat Dirja selanjutnya.
“Adrian dari departemen IT menyatakan cintanya pada Genara.”
Kedua mata Damar hampir membulat sempurna dan dia sangat menunggu kelanjutan dari kalimat Dirja. Memang siapa Adrian? Dan yang paling penting, apakah Nara menerima cinta pria itu?
Adrian, 34 tahun, staf IT yang paling populer sepanjang masa karirnya. Selain cerdas, Adrian juga populer karena ketampanannya yang di atas rata-rata. Banyak yang menyayangkan wajah tampannya itu harus disembunyikan dalam ruangan IT alih-alih dipublikasikan ke khalayak ramai. Setiap tahun pada hari valentine ataupun hari ulang tahunnya, Adrian selalu mendapatkan banyak kado dari karyawan wanita di perusahaan ini. Baik yang masih single atau yang sudah menikah, Adrian adalah kesukaan semua orang.
“Tapi, sekalipun orang itu adalah Adrian. Sangat sulit untuk mendapatkan hati Genara. Syukur-syukur kalau dia mau diajak makan di luar bersama. Dia selalu menolak laki-laki mana pun yang ingin dekat dengannya,” tutur Dirja panjang lebar.
“Kenapa memangnya?” Damar menatap Dirja yang nampak serius.
“Karena Genara memiliki trauma mendalam pada laki-laki. Dia pernah sekali gagal dalam percintaan. Lebih tepatnya, dia gagal dalam hubungan pernikahan. Rumor itu sudah bukan rahasia umum lagi di perusahaan ini. Banyak yang merasa memiliki harapan dan berlomba-lomba untuk mendapatkan Genara. Tapi, tidak ada satu pun yang berhasil.”
“Sepertinya kamu tahu banyak tentang wanita itu.”
Dirja tersenyum kecut. “Karena saya salah satu dari sekian banyak pria yang juga ingin dekat dengan Genara. Dan sama seperti mereka. Saya juga gagal,” sahutnya hambar.
Damar tidak menjawab. Dia hanya sibuk mengunyah makanannya agar cepat habis.
“Uhm, maafkan saya, Pak. Saya malah membahas hal di luar topik.” Dirja menunduk pelan. Bukan masalah. Sebenarnya Damar sangat berterima kasih. Karena penjelasannya itu, dia jadi tahu sedikit gambaran tentang Nara.
“Bukan masalah. Ayo lanjutkan penjelasan kamu tadi.”
Damar menyimak dengan baik setiap penjelasan yang keluar dari mulut Dirja. Meski pikirannya sekarang sedikit bercampur dengan segala hal tentang Nara dan sedikit informasi dari Dirja tentang wanita itu. Damar mencoba untuk fokus dan membuang sejenak pikirannya tentang wanita itu. Bagaimanapun, pekerjaan adalah pekerjaan. Jatuh cintanya nanti saja, setelah pulang kerja, saat weekend atau saat dia sedang senggang. Loh ... memangnya bisa begitu?