Damar menepikan mobilnya saat melihat ada kerumunan dan banyak orang berlarian menghampiri kerumunan itu. Damar penasaran, hal apa yang terjadi sehingga orang-orang begitu tertarik untuk ke sana. Pikirannya hanya satu, jika di sana sedang terjadi tabrak lari, maka Damar bersedia dengan senang hati menawarkan mobilnya untuk mengantar korban tabrak lari itu ke rumah sakit. Tapi sebelumnya, Damar harus tahu pasti ada kejadian apa yang terjadi di sana.
“Maaf, Pak. Ada apa ya?” Damar menanyai salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
“Anu, Mas ... korban jambret katanya,” sahut bapak itu. Dia juga tidak tahu pasti. “Kasihan korbannya. Dia sampai jatuh tersungkur di atas aspal.”
“Wah, kasihan sekali.” Dijambret kemudian jatuh tersungkur, siapa yang tidak prihatin saat mendengarnya?
Damar berusaha menerobos kerumunan itu. Jika korban jambret itu sampai jatuh tersungkur ke atas aspal, pasti dia memiliki luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. Damar ingin menawarkan bantuan.
“Permisi ya, Pak, Bu, Mas, Mbak.” Damar perlu sedikit usaha agar bisa menembus kerumunan itu.
Setelah berhasil menerobos kerumunan itu, Damar dikejutkan dengan keberadaan Nara yang duduk mematung di antara kerumunan. Jadi, dia yang menjadi korban penjambretan? Damar bergegas menghampiri Nara.
“Loh, Genara?”
Nara mengangkat kepalanya ke atas saat seorang pria memanggil namanya. “Pak Damar....” suaranya sedikit bergetar. Nara masih shock akibat kejadian yang menimpanya.
“Astaga, saya terkejut mendapati kamu yang jadi korban jambret,” kata Damar khawatir. Kedua matanya menangkap telapak tangan kanan Nara yang lecet dan gemetar.
Nara tertegun. Dia tidak bisa berkata-kata dan hanya menatap Damar dengan nanar. Seumur hidupnya, baru kali ini Nara dijambret.
“Ayo, saya bantu kamu berdiri.” Damar berniat membawa Nara ke mobilnya.
“Mas kenal dengan Mbak ini?” seorang wanita paruh baya menanyai Damar.
“Benar, saya mengenalnya. Dia adalah rekan saya di kantor.” Lebih tepatnya, Nara adalah karyawan di perusahaannya.
“Syukurlah, Mbak nya kelihatan shock sekali.” Wanita paruh baya tadi kembali menimpali.
Damar hanya mengangguk pelan menanggapi kalimat wanita paruh baya itu. Bibirnya bergumam pelan, menanyai Nara apakah wanita itu bisa berjalan. Karena Damar akan dengan senang hati menggendong Nara jika wanita itu tidak bisa berjalan.
“Bisa, Pak,” sahut Nara pelan. Meski kakinya sedikit pincang karena terkilir.
“Biar saya bantu kamu.” Sekali lagi Damar menawarkan diri. Tangannya terulur menunggu tangan Nara menyambutnya.
“Tapi, Pak....” Nara ragu menerima uluran tangan Damar kepadanya. Bagaimana bisa dia selancang itu memegang tangan Damar?
“It’s okay. Tidak ada yang mengenal kita di sini. Sekali pun ada orang kantor yang melihat, mereka tidak bisa menyebut kita kencan karena saya hanya sedang membantu karyawan saya yang jadi korban jambret,” tutur Damar seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Nara.
“Bu..kan begitu, Pak. Tapi....”
Belum sempat Nara menyelesaikan kalimatnya, Damar sudah lebih dulu meraih tangan wanita itu kemudian menautkan pada jemarinya sendiri.
“Kamu terlalu banyak berpikir. Lihat darah yang mengalir di siku dan pasir yang memenuhi telapak tangan kanan kamu itu, mereka perlu segera diobati.”
Refleks Nara memeriksa telapak tangan kanannya dan menoleh ke arah sikunya. Benar yang dikatakan oleh Damar. Ada darah segar yang mengalir di sikunya dan pasir yang memenuhi telapak tangannya.
Wajah Nara seketika berubah masam saat melihat sikunya mengeluarkan darah segar dan pasir yang memenuhi area di sekitar luka. Sedari tadi dia tidak merasakan perih sedikit pun. Tapi saat dia menyadari luka itu, entah kenapa rasa perih dan nyeri di sikunya sangat terasa Nara rasakan.
“Tunggu di sini sebentar. Saya ambil air mineral dulu di mobil. Setidaknya kita basuh dulu lukanya sebelum ke rumah sakit.”
Nara setuju menunggu di samping mobil sementara Damar masuk ke dalam mobilnya untuk mengambil botol air mineral. Tidak lama berselang, Damar menghampiri Nara dengan sebotol air mineral di tangan kanannya. Pria itu meminta Nara untuk duduk di kursi yang terletak tidak jauh dari mobilnya.
“Ulurkan tangan kamu.” Damar menatap Nara yang masih memasang wajah masam.
Nara mengulurkan tangannya dengan sedikit ragu. Dan Damar langsung mengguyur telapak tangan dan juga siku Nara yang dipenuhi pasir dengan air mineral. Nara sedikit meringis dan hampir menarik tangannya jika saja Damar tidak memeganginya dengan erat.
“Tahan sebentar. Saya hampir selesai.”
Nara mengangguk pelan. Wajahnya yang meringis menahan sakit masih tercetak di sana. Untuk seukuran orang dewasa sepertinya, jujur saja Nara adalah wanita yang tidak bisa menahan rasa perih ketika terluka. Bahkan dia bisa saja bereaksi berlebihan saat tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah segar. Pernah satu waktu saat Nara tidak sengaja menginjak serpihan vas bunga yang berhamburan di atas lantai, wanita itu menangis hingga matanya sembab dan merah. Terkesan berlebihan memang, namun begitulah Nara.
“Terima kasih, Pak,” ucap Nara saat Damar selesai membasuh lukanya dengan air mineral.
Damar membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah. “Sama-sama. Sekarang, ayo saya antar ke rumah sakit,” sahutnya sembari berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Nggak usah, Pak. Saya obati sendiri saja nanti,” tolak Nara halus.
“Setidaknya biarkan saya mengantar kamu pulang.”
“Nggak usah repot-repot, Pak. Saya naik angkot aja.”
Damar menghela napas pelan. “Memang kamu punya uang untuk bayar angkot? Bukannya tadi kamu habis kecopetan?”
Sial! Nara melupakan hal itu. Tentu saja dia tidak memiliki uang. Semua barang miliknya raib diambil jambret itu. Uang tunai, card access apartemen, dan handphone miliknya, semua ada di dalam dompet itu.
“Saya yakin kamu tidak ingin pulang jalan kaki dari sini.” Damar semakin membuka pintu mobilnya dengan lebar. Memberi isyarat pada Nara agar wanita itu segera masuk ke dalam dan memposisikan diri dengan nyaman.
***
Mungkin hari ini adalah hari yang paling sial bagi Nara. Niat hati ingin membeli jeruk di pasar agar mendapat harga yang lebih miring daripada toko buah. Nara malah jadi korban penjambretan dan kehilangan sejumlah uang serta handphonenya. Kalau sudah begini, Nara malah mendapati kerugian yang lebih besar dibanding dengan selisih harga jeruk di pasar dengan toko buah.
Tidak ada yang berbicara selama di perjalanan. Nara sendiri bingung ingin membicarakan apa. Begitu pun dengan Damar yang sama bingungnya dengan Nara. Meski Damar ingin sekali berbicara dengan Nara, tetapi dia mendadak kebingungan ketika wanita itu sudah duduk di sampingnya.
“Hmm, Bapak tadi mau ke pasar?” pada akhirnya Nara membuka obrolan.
“Ya begitulah. Saya ingin membeli kue cucur.” Damar menjawab tanpa menatap ke samping. Tatapannya mengunci pada jalanan di depan sana.
“Kue cucur?” Damar mengangguk. “Wah. Ternyata Pak Damar juga suka kue tradisional itu ya.” Nara sedikit takjub.
“Bukan saya yang ingin kue cucur. Tapi Ibu saya.” Damar meralat kalimat Nara barusan.
“Dapat Pak, kue cucurnya?” Nara bertanya.
“Tidak. Saya malah mendapati kamu jadi korban jambret.” Damar menjawab jujur apa adanya.
Nara menggigit bibirnya pelan. “Maaf, Pak...,” gumam Nara sedikit lirih.
“Bukan masalah. Saya bisa membeli kue cucur itu lain kali.”
Nara kehabisan kata. Jika saja Sita yang mendapatinya jadi korban jambret, mungkin Nara tidak seberapa malu. Tapi lain hal karena orang yang mendapatinya di saat seperti ini adalah Damar. Bos nya di kantor. Malu sekali dia.
“Pak, nanti di pertigaan sana, belok kiri ya.” Nara menunjuk ke arah pertigaan yang ada di depan sana.
Damar mengangguk pelan kemudian membelokkan kemudi mobilnya ke kiri sesuai permintaan Nara.
“Tolong menepi di sana, Pak. Di samping mini market Andi.” Nara menunjuk ke depan. Dan Damar setuju untuk menepi.
“Loh, penjual kue cucur?” Damar sedikit terkejut saat mendapati ibu-ibu penjual kue cucur nongkrong di sana. Dia menatap ke kiri, ke arah Nara. Wanita itu tersenyum begitu manis.
“Kan tadi Bapak bilang mau beli kue cucur untuk ibunya Bapak. Nah, hanya ini yang bisa saya lakukan. Tapi maaf ya, Pak. Saya nggak bisa traktir karena saya nggak punya uang.” Nara menyengir tipis.
“Ya, saya tahu kamu tidak punya uang. Saya tetap berterima kasih karena kamu sudah memberi tahu tempat penjual kue cucur ini.” Damar membuka pintu mobilnya kemudian turun dari sana.
Nara menghela napas pelan saat Damar turun dari kendaraan roda empat miliknya. Jika saja Sita tahu bahwa saat ini dia sedang duduk di dalam mobil atasan yang menjadi idola di kantor mereka. Entah reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan wanita itu. Yang jelas, Sita akan sangat heboh sekali.
Tidak lama Nara menunggu, Damar kembali dengan dua buah kantong plastik berisi kue cucur di tangan kanannya. Damar meletakkan plastik itu di kursi belakang. Kemudian memacu kembali mobilnya.
“Kamu sudah sarapan?” Damar menanyai Nara.
“Sudah, Pak.” Namun sedetik kemudian terdengar sebuah suara berasal dari perut Nara. Wanita itu kelaparan. Tadi Nara langsung pergi ke pasar dan berniat sarapan di sana sekalian.
Seulas senyuman tipis terbit di bibir Damar. “Kita sarapan dulu. Saya yang traktir.” Damar langsung membelokkan mobilnya ke warung bubur ayam.
Damar memarkirkan mobilnya dengan rapi. Begitu dia turun dari sana, dia meminta Nara untuk menunggunya di warung bubur ayam itu dan memesankan satu porsi untuknya juga.
“Loh, Bapak mau ke mana?” Nara sedikit bingung karena Damar tidak ikut masuk ke dalam bersamanya.
“Saya ke sana sebentar. Nanti saya susul kamu setelahnya.”
Tadi Damar tidak sengaja melihat sebuah apotek tidak jauh dari warung bubur ayam itu. Dia ingin ke sana, membeli obat untuk mengobati luka Nara. Meski tidak mengatakan apa-apa, Damar tahu jika Nara kesakitan.
---
Nara sedikit gelisah sebab Damar tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hampir sepuluh menit sudah Nara menunggu, tepat setelah Damar pamit pergi tadi. Sesekali Nara menengok ke belakang. Barang kali ada Damar yang sedang menuju ke mari. Tapi nihil, tidak ada Damar di sekitar sana.
“Astaga, jangan sampai dia nggak kembali ke sini. Kalau nggak. Gimana aku bisa membayar bubur ayam ini nantinya.”
Nyatanya, Nara mengkhawatirkan siapa yang akan membayar bubur ayam ini kalau Damar tidak datang. Tidak lucu kalau Nara harus diomeli karena tidak bisa membayar dua porsi bubur ayam ini dan berujung mencuci piring sebagai gantinya. Hal yang sangat memalukan bagi Nara.
“Maaf, lama. Tadi antreannya cukup panjang. Banyak orang yang sakit rupanya.” Damar memposisikan diri di samping Nara. Meletakkan plastik obat berwarna putih di atas meja.
Nara menoleh ke samping. Cukup terkejut dengan kehadiran Damar yang begitu tiba-tiba. “Astaga!” ucapnya sembari mengusap d**a dengan pelan.
“Kenapa tidak makan? Harusnya kamu makan saja tanpa menunggu saya,” celetuk Damar lagi.
Memangnya Nara bisa menyantap bubur ayam itu sementara dia tidak tahu apakah Damar akan datang atau tidak? Bagaimana nanti dia membayar kalau ternyata Damar tidak datang, padahal bubur ayam sudah ludes dia habiskan?
“Saya nunggu Bapak.” Nara menatap plastik obat yang terletak di antara mangkuk bubur ayamnya dengan Damar.
"Tadi saya beli obat untuk luka kamu. Sebaiknya kita makan dulu. Setelahnya baru saya bantu obati luka kamu.” Damar langsung menyendok bubur ayamnya tanpa diaduk terlebih dahulu.
Nara mengangguk pelan. Dia tidak langsung menyendok buburnya. Terlebih dahulu Nara mengaduk bubur ayam itu agar semuanya tercampur rata. Bagi Nara, makan bubur tanpa diaduk seperti Damar tidak nikmat sama sekali.
Setelah menghabiskan satu mangkuk bubur ayam, Nara merasa sangat kenyang. Tapi tidak dengan Damar. Bagi Damar, satu mangkuk bubur ayam tidak cukup untuk menghilangkan rasa laparnya.
“Ulurkan tangan kamu. Saya obati sekarang.”
Sesuai dengan janjinya, Damar akan membantu Nara mengobati lukanya. Meski Nara sudah menolak berkali-kali. Tapi Damar terus bersikeras ingin membantu.
“Maaf dan terima kasih, Pak. Maaf karena sudah merepotkan Bapak. Dan terima kasih karena sudah menolong serta mentraktir saya sarapan.” Nara menundukkan sedikit kepalanya.
“Bukan masalah. Kalau pun bukan kamu yang jadi korban jambret hari ini, saya juga akan melakukan hal yang sama padanya.” Damar menjawab di sela fokusnya mengobati luka lecet di siku Nara.
‘Baguslah ... kalau memang begitu,’ gumam Nara dalam hati.
“Ouch! Pelan-pelan, Pak. Perih.” Nara refleks hendak menarik tangannya saat Damar mulai mengoleskan salep luka. Matanya berkaca-kaca. Nara tidak main-main saat mengatakan lukanya terasa perih.
“Saya sudah sangat berhati-hati. Memang seperti itu rasanya. Namanya juga luka....” Damar menarik kembali tangan Nara, melanjutkan aktifitasnya mengoles salep luka.
Napas Nara menjadi sedikit tidak teratur sebab berusaha menahan rasa perih itu. Dia bahkan menggenggam tangannya untuk mengalihkan rasa perihnya. Hingga Damar selesai mengobati luka tersebut, Nara baru bisa bernapas lega.
“Sekali lagi terima kasih, Pak. Bapak bahkan tahu bagaimana caranya menggunakan plaster luka.” Nara tersenyum.
Damar cukup terbiasa dengan kondisi seperti ini. Memiliki seorang putri yang masih dalam fase senang sekali bermain, tak ayal membuat Damar harus dihadapkan dengan hal-hal seperti itu. Kalia cukup sering terluka ketika bermain atau jatuh saat berlarian. Dan Damar lah yang akan mengobati luka putrinya itu.
“Saya sudah biasa melakukan hal seperti ini,” kata Damar menatap Nara.