Harta Paling Berharga

2010 Words
Nara masih saja merengek pada Bude Rina ketika mereka baru saja memasuki unit apartemennya. Nara sangat menyayangkan sikap Bude Rina yang terkesan lancang. Padahal dirinya sama sekali tidak berminat untuk pergi bersama dengan Damar sore nanti. “Astaga Genara. Bisa berhenti tidak sih merengek nya? Kamu sudah merengek sejak di depan gedung apartemen tadi loh,” kata Bude Rina, dia mulai gerah mendengar rengekan Nara yang seperti anak kecil. “Habisnya ... Bude sih. Kenapa menjawab kayak tadi? Kenapa bilang Nara akan pergi bersama Pak Damar ke pameran itu nanti sore? Nara nggak mau, Bude,” rengek wanita itu lagi. Masih dengan nada dan ekspresi yang sama. Bude Rina sibuk mengemas pakaiannya ke dalam tas. Di sampingnya Nara juga ikut membantu meski mulutnya tak bisa berhenti untuk merengek. Hari ini Bude Rina akan pulang ke kediamannya. Sudah hampir seminggu dia berada di sini, di apartemen Nara. “Kamu itu harus belajar membuka hati untuk pria lain, Nara. Kamu masih muda, masih cantik, masih seksi. Jangan karena kamu gagal sekali, lalu kamu menyerah. Memangnya kamu mau hidup sendirian selamanya?” “Kan ada Bude....” Nara melembutkan suara. Bagi Nara, hanya dengan ada Bude Rina di sampingnya, itu sudah cukup. Nara tidak perlu yang lainnya lagi untuk menemaninya. Bude Rina menghela napas pelan. Menatap Nara yang memasang wajah memelas di sampingnya. “Bude sudah tua, Nara. Tidak bisa menemani kamu selamanya. Kamu harus bahagia dengan seseorang yang menyayangi kamu. Memang kamu tidak ingin memiliki sebuah keluarga ... seorang putri atau putra?” Memang siapa yang tidak menginginkan memiliki seorang keturunan? Terlebih Nara. Dia sangat menginginkan hal itu. Tapi rasa trauma akan membangun sebuah hubungan lagi membuatnya harus mengurungkan keinginannya itu. Nara bungkam. Tak bersuara dan tak menjawab kalimat Bude Rina. Wanita itu terdiam dengan kepala yang menunduk ke bawah. Menatap lantai keramik berwarna putih bersih dan mengkilap. Deru napasnya sedikit berat. Nara merasa sesak. “Hei ... Bude tidak bermaksud membuat kamu bersedih, Sayang. Bude bicara seperti tadi karena Bude menyayangi kamu. Bude tidak ingin kamu hidup dalam rasa sakit ini dan Bude tidak mau kamu terus terjebak dalam rasa trauma karena pengkhianatan Herdian. Bude ingin kamu bangkit! Jalani hidup sebagaimana mestinya. Kamu harus bahagia.” Bude Rina mengulurkan tangannya. Mencengkeram kuat bahu Nara yang sedikit lemas. “Kamu lihat Herdian, dia bahkan hidup dengan penuh kesenangan setiap harinya. Sementara kamu di sini, terpuruk dan sakit hati karena ulahnya. Bukan kamu yang seharusnya begini, Sayang. Bude tidak meminta kamu untuk menikah lagi dalam waktu dekat. Bude hanya minta ... kamu tidak menutup diri dan hati kamu seperti ini. Kamu bisa ‘kan memenuhi keinginan Bude?” Nara masih menunduk lemah. Dia tidak tahu apakah bisa memenuhi permintaan Bude Rina kepadanya. Ah tidak. Nara tidak yakin apakah dia akan mampu memenuhi permintaan Budenya itu. Membuka hati untuk cinta yang lain. Membayangkannya saja Nara sudah bergidik ngeri. Setelah pengkhianatan Herdian kepadanya, citra laki-laki berhasil tercoreng di mata Nara. “Nara....” panggil Bude Rina dengan suara lembutnya. “Iya, Bude?” Nara pun berusaha menjawab dengan tak kalah lembut dari Bude Rina. Meski suaranya terdengar sedikit bergetar karena berusaha menahan tangis. “Kamu bisa ‘kan memenuhi permintaan Bude? Buka hati kamu, jangan menutup diri lagi.” Bude Rina mengulangi kalimatnya. Nara hanya bisa mengangguk. Lidahnya terasa berat dan kelu untuk mengatakan bahwa dia bisa. “Bude sangat senang mendengarnya. Bude percaya, kamu pasti bisa!” jawab Bude Rina seraya menarik Nara ke dalam pelukannya. Bagi Bude Rina, Nara adalah harta paling berharga yang dia miliki. Begitu pula dengan Nara, baginya Bude Rina adalah harta yang paling berharga dalam hidupnya. Nara tidak memiliki siapa pun selain Bude Rina. Hanya wanita paruh baya itu yang selalu berdiri di sampingnya. Sebagai pendengar yang selalu mendengarkan keluh kesah Nara. Sebagai tempat bersandar kala Nara merasa sangat lelah. Bude Rina juga tidak ingin Nara merasa sedih. Dia juga tidak ingin keponakannya itu merasa tersakiti. Namun begitulah hidup berjalan semestinya. Jika seperti ini saja Nara sudah kalah. Bagaimana dia akan bertahan melawan kerasnya dunia? “Ya sudah, sekarang Bude pulang dulu ya. Nanti Bude ke sini lagi, minggu depan.” Bude Rina mengurai pelukan. Memberikan kecupan hangat di kedua pipi dan juga kening Nara. “Iya, Bude. Nara tunggu. Bude hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabari Nara lewat telepon.” Nara menyalami tangan Bude Rina dan membalas kecupannya. “Iya, Sayang. Kamu baik-baik ya di sini. Kabari Bude kalau ada apa-apa. Bude sayang kamu.” “Nara juga sayang banget sama Bude. I love you so much, Bude!” seru Nara kembali menghamburkan diri memeluk Bude Rina. --- Nara mendaratkan tubuhnya di atas kasur setelah mengantar Bude Rina hingga ke lantai dasar gedung apartemen. Kedua matanya menatap langit-langit kamar dengan nanar. Menerawang pikirannya sendiri. Memikirkan kembali kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bude Rina beberapa saat yang lalu. Kedua netra indah itu kini beralih menatap jam yang menempel di dinding kamar. Masih pukul sembilan pagi. Itu artinya masih ada delapan jam lagi tersisa sampai Damar menjemputnya untuk pergi ke pameran bersama. “Jalani saja, Nara. Karena ini adalah keinginan Bude Rina.” Wanita itu bergumam pelan. Dipejamkannya kedua mata itu dengan perlahan. Setiap kali mereka membahas tentang hal yang bersangkutan dengan pengkhianatan Herdian ataupun tentang dirinya yang masih terjebak dalam perasaan trauma karena pengkhianatan itu. Nara selalu saja merasa sangat lelah. Tak jarang pula Nara sampai menangis karena rasa perih itu masih terasa nyata dia rasakan. “Istirahat saja dulu, Nara. Istirahat saja....” *** Sementara di suatu tempat yang lain, Damar yang baru saja tiba di kediamannya merasa sangat bersemangat sekali. Dia bahkan bersenandung dan wajahnya begitu berseri. Hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan semenjak Kania meninggal dunia. Karena sikapnya itu, tak ayal mengundang perhatian seluruh penghuni rumah. Mulai dari Mbok Sumi hingga Pak Tatang, mereka semua dibuat bertanya-tanya. “Damar? Ada apa dengan kamu?” tanya ibunya. Yang langsung menyambangi Damar padahal dia baru saja memposisikan diri untuk menikmati teh hangat miliknya. “Mama?” balas Damar masih dengan senyum sumringahnya. Segera pria itu berjalan menghampiri ibunya. Menghamburkan diri memeluk wanita paruh baya kesayangannya itu. “Hei... hei... hei... kamu bau keringat, Damar! Ayo lepaskan Mama!” pekik Arni, berusaha mendorong tubuh putranya yang memeluk dirinya. “Hari ini Damar merasa senang sekali, Ma. Jadi biarkan Damar memeluk Mama, oke?” Damar menolak untuk melepaskan pelukannya pada tubuh sang Bunda. “Memang ada apa? Apa yang membuat kamu merasa senang sekali pagi ini?” tanya Arni penasaran. Damar mengurai pelukan. Seulas senyuman masih bertengger manis di bibirnya. “Karena sore nanti Damar akan menghadiri pameran perdana Ammar, Ma!” sahutnya menggebu-gebu. Kedua kening Arni mengernyit tipis. Jelas dia sangat heran dengan jawaban Damar barusan. “Sepertinya ada yang aneh hari ini. Sejak kapan kamu merasa sangat antusias dengan hal-hal yang Ammar lakukan? Bukannya kamu tidak setuju dengan pilihan Ammar?” tanya Arni lagi. “Ya, memang Damar nggak setuju. Damar masih ingin Ammar melanjutkan studinya di kedokteran.” Pria itu menjawab lugas dan lantang. “Tapi kenapa kamu tadi mengatakan sangat senang karena akan menghadiri pameran perdana Ammar? Kamu membingungkan Mama, Damar.” “Ya sudahlah, Ma. Kita skip aja pembahasan ini, oke? Damar mau mandi dulu. Gerah banget.” Arni masih dalam perasaan yang sama. Dia masih kebingungan karena ulah putranya. Wanita paruh baya itu hanya bisa berdiri mematung sembari menyaksikan punggung Damar yang perlahan tersapu dari pandangannya. Hingga suara Kalia yang begitu ceria masuk ke dalam indra pendengarannya, Arni lantas teralihkan. “Nenek, mana Papa? Tadi Kalia dengar ada suara Papa,” ujar gadis kecil itu. Matanya yang bulat berbinar, berkeliling mencari keberadaan ayahnya. Arni sedikit berjongkok, agar tubuhnya lebih sejajar dengan tinggi cucu semata wayangnya. Dia kemudian menjawab, “Papa kamu sekarang lagi mandi. Dia habis lari pagi,” sahutnya menjelaskan. Kalia mengangguk. Arni pun mengajak Kalia duduk di ruang tengah. Gadis kecil itu dengan senang hati menuruti neneknya untuk duduk bersama di ruang tengah sembari menonton televisi. Setiap weekend seperti ini, Arni akan memberikan kebebasan untuk Kalia melakukan apa pun yang diinginkannya. Seperti bermain, menonton televisi, dan kegiatan lainnya. Jika saja Kalia meminta untuk diajak pergi ke mall atau taman bermain, maka Arni dengan senang hati akan menurutinya. Meski mendapatkan izin dari Damar pasti sangat sulit mereka dapatkan. Tiga puluh menit setelah Damar pamit untuk membersihkan diri. Sekarang pria itu kembali dengan tubuh yang sudah bersih dan juga wangi. Damar mendudukkan diri di samping Kalia—putrinya. Merengkuh tubuh mungil Kalia kemudian memposisikan gadis kecil itu ke dalam pangkuannya. “Hei, princess nya Papa kok belum mandi,” ujar Damar sembari menciumi kedua pipi Kalia secara bergantian. Kalia berusaha menunduk sembari tertawa. Dia merasa geli karena bakal rambut di area sekitar dagu dan mulut Damar menyentuh pipinya. “Papa, hentikan! Kalia geli,” rengeknya sembari terus tertawa. Mendengar Kalia merasa geli karena bakal rambut di wajahnya. Alih-alih berhenti, Damar malah terus menciumi putri kecilnya itu. Membuat Kalia semakin tertawa lepas karena tidak bisa menahan rasa geli di pipinya. “Astaga, Damar. Kamu itu bagaimana? Anak kamu memohon dari tadi minta kamu berhenti. Kamu malah terus menciumnya.” Arni yang melihat itu, lantas menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Tak habis pikir dengan keisengan Damar terhadap putrinya sendiri. “Papa, Kalia mohon,” rengek gadis kecil itu lagi. Ada kesungguhan dalam kalimatnya kali ini, Kalia benar-benar putus asa. “Oke... oke... Papa akan berhenti sekarang.” Damar melepaskan ciuman sekaligus pelukannya pada Kalia. Membiarkan gadis kecil itu mendudukkan diri di tempatnya semula. Duduk bersandar sembari mengatur napasnya. Damar juga melakukan hal yang sama seperti Kalia. Duduk bersandar sembari mengatur napasnya yang sedikit berat memburu. Sudah lama mereka tidak bercanda seperti tadi. Akhir-akhir ini Damar sangat sibuk dengan pekerjaannya di kantor. “Papa, besok teman Kalia di sekolah ulang tahun. Kalia boleh hadir ‘kan, Pa?” Damar menatap ke samping kanan. “Oh ya? Memang dia mengadakan pesta ulang tahunnya di mana?” tanyanya. “Di mall,” kata gadis kecil itu. Kemudian bergegas turun dari sofa dan berlari menuju kamarnya. Damar menatap Arni yang sibuk menyeruput teh hijau kesukaannya. “Ma, memang benar ya teman Kalia ngadain pesta ulang tahun di mall?” tanya Damar sedikit heran. “Iya, benar. Mama sudah lihat undangannya. Kenapa?” Arni balik bertanya. “Enggak, Damar sedikit heran aja. Kenapa dia mengadakan pesta seperti itu di mall? Terlalu berisik dan banyak orang. Untuk anak-anak seumuran Kalia, nggak baik ada di kerumunan. Harusnya orangtuanya lebih bijak lagi memilih tempat mengadakan pesta ulang tahun. Mall itu untuk belanja, makan, main, bukan untuk pesta ulang tahun.” Arni sudah tidak heran lagi jika Damar akan berkata seperti demikian. Dia bahkan sudah menduga jika Damar akan berpikiran seperti itu. “Singkatnya memang acara tersebut diadakan di mall. Tapi sebenarnya, pesta ulang tahunnya diadakan di sebuah area bermain. Jadi kamu tidak perlu khawatir. Karena hanya orang yang memiliki undangan saja yang boleh masuk. Itu artinya Kalia tidak akan berada di kerumunan orang asing. Dia hanya akan berbaur dengan teman-teman sekolahnya.” Arni menjelaskan panjang lebar. Ketika Damar hendak menjawab, ia melihat Kalia yang baru saja kembali dengan membawa undangan pesta ulang tahun yang diberikan temannya. Kalia memberikan undangan itu kepada Damar dan meminta pria itu membacanya. Damar menerima undangan itu. Kemudian membaca kata demi kata yang tertulis di atas sana dengan seksama. Di sampingnya, Kalia terus memperhatikan Damar dengan begitu antusias. Dalam tatapannya tersirat sebuah harapan yang teramat sangat. Kalia berharap Damar akan memberikan izin untuknya menghadiri pesta ulang tahun tersebut. “Uhm ... oke, Papa akan izinkan kamu untuk menghadiri pesta ulang tahun ini. Tapi dengan satu syarat.” Damar menatap putri kecilnya. “Kalia harus patuh dengan Nenek dan tidak boleh jauh dari pandangan Nenek. Bagaimana?” Kalia mengangguk mantap. “Baik, Pa! Kalia akan patuh sama Nenek dan tidak akan jauh dari pandangan Nenek,” sahutnya antusias. Detik kemudian gadis kecil itu menghamburkan diri memeluk ayahnya. Senang sekali dia. Jarang-jarang Damar memberinya izin seperti sekarang ini. “Good girl!” Damar membalas pelukan Kalia padanya. Memberi kecupan hangat pada puncak kepala gadis kecilnya. Betapa Damar sangat menyayangi putri semata wayangnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD