Nara memaksa kedua matanya untuk terbuka setelah samar-samar indra pendengarannya berhasil menangkap suara bel yang terus dibunyikan. Nara memanggil Bude Rina, meminta wanita paruh baya itu membukakan pintu. Namun tidak ada respon sama sekali karena Bude Rina sedang tidak ada di sana.
Setelah berhasil memaksa kedua matanya untuk terbuka. Sekarang Nara harus memaksa tubuhnya untuk bangun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu utama. Siapa orang iseng yang bertamu pagi-pagi begini?
“Iya, tunggu sebentar!” teriak Nara dari dalam unit apartemen. Suaranya jelas terdengar di luar sana.
Pintu terbuka dan Nara mematung saat melihat siapa yang berdiri di sana. Damar dengan pakaian olahraga yang basah karena keringat. Dan Bude Rina yang berdiri di sampingnya dengan wajah pucat. Astaga! Nara tidak tahu siapa yang harus dia sapa lebih dulu. Damar yang merupakan atasannya di kantor atau Bude Rina yang nampak pucat wajahnya. Keduanya sama-sama membuat Nara terkejut setengah mati.
Sementara di posisinya, Damar juga sama terkejutnya dengan Nara. Pria itu tidak bisa berkata-kata dan ikut mematung sembari memegangi Bude Rina dengan kuat. Hingga suara Bude Rina yang begitu lemas mengajaknya masuk ke dalam. Damar akhirnya tersadarkan.
“Nak, kenapa diam saja di situ? Beri jalan agar kami bisa masuk,” kata Bude Rina pada Nara.
“Ya, Bude?” Nara teralihkan dan langsung memberikan jalan untuk Bude Rina juga Damar.
“Uhm ... maaf, Bu. Tapi saya harus segera pulang,” kata Damar dengan suara baritonnya.
Sekarang sekujur tubuh Damar dipenuhi dengan aroma keringat. Pakaiannya pun masih basah karena dia baru saja selesai berlari pagi sejauh beberapa kilometer. Lebih baik Damar menolak tawaran Bude Rina untuk mampir karena Damar tidak ingin memberikan kesan yang kurang baik pada Nara. Kalau saja dia dalam keadaan yang wangi dan bebas keringat, tentu Damar akan dengan senang hati mampir di sana.
“Nanti saja pulangnya. Ayo mampir dulu sebentar, kita sarapan bersama. Anggap saja ini rasa terima kasih Bude karena kamu sudah menolong Bude tadi,” ucap Bude Rina. Wanita paruh baya itu langsung menarik Damar hingga masuk ke dalam unit apartemen Nara.
Bude Rina sama sekali tidak tahu jika Damar adalah atasan Nara di kantor. Dan reaksi Nara saat Bude Rina menarik Damar masuk ke dalam apartemennya adalah membulatkan kedua matanya dengan sangat sangat sempurna. Nara hampir terduduk lemas di ambang pintu masuk unit apartemennya.
“Apa yang Bude lakukan? Kenapa Bude membawa Pak Damar masuk ke dalam dan mengajaknya sarapan bersama? Terlebih, ada apa dengan penampilanku sekarang!” Nara memekik pelan. Menatap piyama yang membalut tubuhnya dan membayangkan bagaimana penampilannya yang acak-acakan sebab baru bangun tidur. Sekarang Nara semakin terkulai lemas dibuatnya.
Nara membetulkan posisi, berdiri tegap kemudian berjalan masuk ke dalam. “Selamat pagi, Pak Damar,” sapa Nara saat berpapasan dengan Damar yang duduk di sofa.
“Ya, selamat pagi,” jawab Damar berusaha santai meski sebenarnya dia sangat canggung.
Nara mengangguk pelan dan memaksakan kedua sudut bibirnya tersungging ke atas. Kakinya perlahan terbuka lalu bergegas menghampiri Bude Rina yang sibuk di dapur.
“Bude, bisa jelaskan pada Nara apa yang terjadi?”
Pagi ini Nara terbangun dari tidurnya dan mendapati Damar berdiri di depan unit apartemennya bersama Bude Rina. Dan sekarang pria yang merupakan atasannya itu sedang duduk di sofa tempat Nara biasa bersantai sambil memainkan ponselnya. Kenapa hal-hal memalukan seperti ini selalu terjadi pada Nara? Terakhir kali mereka bertemu adalah saat Nara jadi korban penjambretan. Waktu itu penampilannya juga acak-acakan. Dan sekarang, mereka kembali bertemu saat Nara baru saja bangun tidur. Dan sialnya penampilan Nara lebih acak-acakan.
“Tadi Bude tiba-tiba merasa pusing. Jadi Bude memutuskan untuk duduk di tepi jalan dan Pria itu menghampiri Bude. Dia menawarkan bantuan mengantar Bude pulang. Ya sudah, Bude iyakan saja.”
“Memangnya Bude habis dari mana pagi-pagi begini?”
“Tadinya Bude mau ke pasar. Karena pusing sekali, jadi Bude putuskan untuk pulang saja.”
Nara menghela napas berat. “Ya ampun, Bude. Seharusnya bangunkan Nara aja. Biar Nara yang pergi ke pasar,” sahutnya lemas.
“Kamu tidur nyenyak sekali jadi Bude tidak tega mau bangunkan.” Bude Rina menjawab santai, tangannya masih sibuk bergulat dengan peralatan memasak.
“Sini, biar Nara aja yang masak. Bude istirahat aja.” Nara berusaha mengambil alih peralatan masak di tangan Bude Rina.
“Daripada kamu bantu Bude, mending kamu cuci muka dan gosok gigi dulu sana.”
Nara langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Mulut Nara bau ya, Bude?” tanyanya. Bude Rina pun terkekeh.
***
Nara sudah mencuci muka dan juga sudah menggosok giginya. Jika tadi rambutnya tergerai dan sedikit berantakan, sekarang rambut Nara sudah diikat dengan rapi. Dilihatnya kursi kosong di depan sana. Sungguh pilihan yang sangat sulit. Di mana dia harus mendudukkan diri? Apakah di samping Bude Rina yang artinya berseberangan dengan Damar. Atau duduk di samping pria itu dan berseberangan dengan Bude Rina?
“Nara? Kamu tidak berencana untuk terus berdiri di sana ‘kan?” tanya Bude Rina.
Nara terkesiap. Dia pun memutuskan untuk memposisikan diri di samping Bude Rina. Nara mengisi piringnya dan berusaha bersikap normal seperti biasa. Di seberangnya, Damar terus mengobrol dengan Bude Rina yang sedari tadi memang terus mengajaknya bicara. Nara hanya menyimak dan berharap Damar dengan cepat menyelesaikan sarapannya.
“Nara, kenapa kamu tidak bilang kalau Damar adalah atasan kamu di kantor?” Bude Rina menatap ke samping kanannya.
Nara menatap Damar sekilas. Kemudian menatap Bude Rina yang saat ini tengah menatapnya. “Uhm, Nara pikir sudah mengatakannya tadi,” jawabnya singkat. Di seberangnya Damar tersenyum.
“Hmmm, kamu ini ada-ada saja.” Bude Rina menggeleng pelan.
Ini adalah kedua kalinya Damar dan Nara sarapan bersama. Bedanya, kali ini mereka duduk sarapan di kediaman Nara sembari mengobrol santai seolah mereka adalah keluarga bahagia. Ya meskipun sebenarnya yang bicara hanyalah Damar dan Bude Rina. Nara hanya bagian yang menyimak saja.
Damar begitu menikmati momen sarapan bersama dengan Bude Rina dan juga Nara. Meski mereka baru pertama kali bertemu, nyatanya Bude Rina sangat bisa mencairkan suasana. Dengan keramahannya dan tutur katanya yang lembut, Bude Rina mampu membuat Damar merasa nyaman di sini.
Sebenarnya, Bude Rina menyadari jika sedari tadi Damar terus mencuri pandang ke arah Nara, keponakannya itu. Ada kebahagiaan tersendiri saat Bude Rina melihatnya. Itu artinya Nara masih menarik di mata lawan jenisnya.
“Terima kasih untuk sarapannya, Bu. Makanannya sangat lezat, saya suka.” Damar berujar tulus dari hati terdalam.
Seulas senyuman ramah terbit di bibir Bude Rina. Sementara di sampingnya, Nara hanya menunduk fokus menatap piringnya yang hampir kosong. Sejak tadi Nara terus menghindari kontak mata dengan atasannya itu. Nara masih merasa canggung dengan situasi mereka sekarang.
Damar baru saja menghabiskan sarapannya. Begitu pun dengan Bude Rina dan juga Nara. Di tempatnya, Damar terus menatap Nara, menunggu wanita itu menatap ke arahnya. Damar sadar jika sedari tadi Nara menghindari kontak mata dengannya.
“Sekali lagi terima kasih untuk makanannya. Maaf karena saya tiba-tiba ikut sarapan di sini bersama kalian,” ucap Damar sesaat beranjak dari duduknya.
“Jangan sungkan-sungkan,” jawab Bude Rina sembari tersenyum.
“Uhm, kalau begitu saya permisi dulu, Bu.” Damar menatap Bude Rina yang sedari tadi merespon kalimatnya. Kemudian menatap Nara untuk berpamitan dengan wanita itu. “Genara, saya permisi dulu,” lanjutnya masih dengan nada suara yang sama.
“Baik, Pak. Hati-hati di jalan,” jawab Nara sembari menganggukkan kepala dengan pelan.
Damar melangkah keluar. Sementara di tempatnya, Bude Rina menyenggol Nara dengan sikunya. “Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo antar dia sampai ke depan,” ujarnya.
“Kenapa harus diantarkan, Bude? Pak Damar bisa sendiri, dia sudah dewasa.” Tentu saja Nara menolak. Kenapa juga dia harus mengantar Damar hingga ke depan? Damar bukan anak ingusan yang harus diantar, bukan?
“Ck, kamu ini, Nak. Dia itu atasan kamu ‘kan?” Nara mengangguk. Memangnya kenapa kalau Damar adalah atasannya? “Bukan seperti itu seharusnya kamu bersikap dengan atasan sendiri. Apalagi dia baru saja menolong Bude. Ayo kamu antar dia, anggap saja kamu menolong Bude, hm?”
Jika Nara bersikeras menolak maka Bude Rina punya seribu cara untuk membuatnya melunak. Bude Rina menatap Nara dengan penuh harap. Tentu hal tersebut membuat Nara tak bisa lagi menolak.
“Iya deh iya. Nara antar dia ke depan,” ujarnya sembari beranjak.
---
Damar sedikit terkejut saat mendapati Nara yang berjalan menghampirinya di depan lift. Wanita itu berdiri tepat di sampingnya. Dengan seulas senyuman manis bertengger di bibir ranumnya.
“Genara?” sapa Damar lebih dulu. Wanita yang dipanggil semakin melebarkan senyumnya.
“Biar saya antar sampai depan gedung, Pak,” kata Nara menjawab sapaan Damar.
“Tidak perlu repot-repot, kamu kembali saja ke apartemen.” Jujur saja Damar sedikit terkejut. Kenapa Nara mau repot-repot mengantarkannya?
“Nggak apa-apa, Pak. Biar saya antar ya. Bapak nggak akan masuk?” Nara bertanya karena Damar masih berdiri mematung di depan lift, sementara dirinya sudah masuk ke dalam ruangan sempit itu.
Damar berjalan masuk ke dalam lift dan berdiri tepat di samping Nara. Di dalam ruangan sempit itu hanya ada mereka berdua. Tidak ada siapa pun karena saat pagi di hari libur seperti ini, penghuni gedung ini sebagian ada yang berlari pagi dan sebagian lainnya masih terlelap di bawah selimut.
Lift bergerak menuju lantai dasar. Mulanya tidak ada yang berbicara karena masing-masing dari keduanya mendadak kembali canggung seperti beberapa saat yang lalu. Hingga Damar memutuskan untuk membuka suara lebih dulu.
“Genara....” panggil Damar. Sebenarnya dia ingin mengajak wanita itu untuk kencan sore nanti, tapi dia bingung bagaimana harus mengutarakan maksudnya.
“Ya, ada apa, Pak?” Nara menatap Damar yang nampak tegang. “Pak Damar nggak apa-apa? Wajah Bapak kelihatan sedikit pucat.”
“Ya? Saya baik-baik saja,” jawab Damar cepat. Tidak ingin dipergoki jika saat ini dia sedang gugup setengah mati.
Baiklah, ada yang tidak beres dengan Damar. Tidak biasanya dia merasa sangat gugup seperti ini. Terakhir kali dia merasakan perasaan seperti sekarang ini adalah saat dia jatuh cinta dengan Kania dulu. Damar merasa sangat gugup bahkan saat mereka hanya duduk berdua di bangku panjang sebuah taman.
“Tadi Bapak memanggil saya. Ada apa?” tanya Nara lagi.
Damar bergumam pelan. Pria itu semakin merasa gugup saat otaknya dipaksa untuk merangkai sebuah kalimat dalam waktu yang singkat. Mungkin bukan masalah yang besar jika dia sedang berada dalam ruang rapat. Tapi hal ini berbeda, Damar akan mengajak Nara berkencan.
Nara bukan wanita yang mudah untuk didapatkan. Dia telah banyak menolak pria yang ingin dekat dengannya. Jika saja Nara memiliki karakter yang sedikit lebih mudah. Karakter seperti ... wanita yang akan langsung luluh dengan pria sepertinya. Maka akan lebih mudah untuk Damar mengajak Nara pergi berkencan.
Hingga lift pun berhenti di lantai dasar. Damar masih bungkam dan membuat Nara kebingungan. Nara terus menatap Damar yang masih terjebak dalam kebingungannya. Menunggu pria itu membuka suara karena Nara yakin Damar ingin mengatakan sesuatu padanya.
Ting! Pintu lift terbuka.
Nara berjalan keluar lebih dulu diiringi Damar yang berjalan di belakangnya. Ketika mereka berada di depan gedung apartemen. Damar akhirnya membuka suara.
“Genara....” panggil Damar seraya menatap Nara yang berdiri di sampingnya. “Sebenarnya nanti sore saya akan menghadiri sebuah acara pameran. Dan saya ingin mengajak kamu pergi bersama.” Rasanya melegakan bagi Damar karena dia dapat mengucapkan sebaris kalimat ajakan itu keluar dari mulutnya. Meski dia tidak yakin bahwa Nara akan menerima ajakannya itu. Yang penting dia sudah mengutarakan maksudnya.
Nara hampir membelalakkan mata saat mendengar kalimat Damar barusan. Dia tidak salah mendengar, bukan? Damar benar-benar mengajaknya untuk pergi bersama ke pameran itu, ‘kan?
“Ya, Nara akan pergi bersama kamu nanti sore. Dia sama sekali tidak ada kesibukan.”
Suara Bude Rina tiba-tiba terdengar. Baik Nara ataupun Damar, mereka langsung memutar tubuh ke belakang. Sejak kapan wanita paruh baya itu berdiri di sana?