Rabu (14.12), 24 Maret 2021
---------------------
Aku bersenandung kecil sambil mengaduk sup di atas kompor. Senyum bahagia tidak bisa lepas dari bibirku.
Sebulan setelah pertemuan keluarga kami, Ray meminta izin kepada orang tuaku agar aku bisa kuliah di kota dan tinggal di apartemennya. Masih jelas dalam benakku wajah gusar ayah mendengar permintaan Ray.
“Kalian belum menikah,” walau berbicara lembut, nada suara ayah terdengar tegas dan tidak ingin dibantah. “mana mungkin kalian tinggal bersama.”
“Iya, Nak Raymond.” Ibu menimpali. “sebaiknya kalian menikah dulu. Kalau memang belum siap, ya biar Dhea selesaikan kuliahnya disini.”
Aku cemberut mendengar saran Ibu, tapi tidak berani berkomentar.
Ray tersenyum lembut. “Kalau saya sendiri sudah siap nikah, Bu. Tapi saya ragu Dhea sudah siap menghadapi kehidupan rumah tangga.” Aku memandang Ray dengan kesal dan siap membantah, tapi Ray meremas tanganku yang terlipat di pangkuan tanpa menoleh. Perhatiannya sedang fokus pada kedua orang tuaku. “Mengurus suami, rumah, lalu anak-anak. Saya rasa itu terlalu berat untuk Dhea di usianya sekarang. Lagipula kami masih asing satu sama lain. Karena itu, biarkan kami lebih saling mengenal dulu sebelum membina rumah tangga.”
Setelah pidato panjang Ray dan adu argumen selama hampir setengah jam, pendirian Ayah dan Ibu tetap tidak bisa di ubah. Ingin sekali aku ikut memohon. Tapi tiap aku hendak bersuara, Ray meremas tanganku untuk memperingatkanku agar diam.
Akhirnya Ray meminta izin pulang. Aku mengantarnya keluar dengan cemberut. Ray menatapku sambil mengangkat alis ketika bersandar di pintu mobilnya.
Aku mendekat padanya lalu meraih kancing kemejanya, berusaha menahan diri agar tidak menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
“Aku tahu kau pasti ingin berkata, ‘apa kubilang’ kan?” bisikku lemah.
“Aku tidak akan menyangkal.” Ray mengangkat tangannya dan memilin sejumput rambutku di antara jemarinya. “Sudahlah, Dhea. Selesaikan dulu kuliahmu. Aku akan sering menengokmu di sini. Lagipula kau masih bisa berlibur ke kota bersamaku.”
“Apa maksudmu?” aku mendongak menatap mata cokelatnya. “Setelah semua yang kita lalui bersama, kau pikir aku rela ditinggal selama itu?”
Senyum menenangkan tersungging di bibir Ray. Dia menarikku ke dadanya lalu mendekapku erat. Aku tidak lagi peduli jika saja ada yang mengintip atau bagaimana pendapat orang tuaku tentang anak gadisnya yang sedang berpelukan di halaman rumah mereka.
Aku mengabaikan semua itu dan menikmati rasa nyaman sekaligus menggetarkan yang selalu muncul tiap Ray mendekapku seperti ini. Kulingkarkan lenganku di pinggangnya dan merasuk lebih dalam ke pelukannya.
Seperti inikah rasanya ketika seseorang ingin dunia berhenti berputar? Aku makin mempererat rangkulanku dan membenamkan wajahku di dadanya seolah berharap bisa bersatu dengannya.
Ray membenamkan kecupan singkat di puncak kepalaku lalu berusaha menjauhkan tubuhku darinya. “Dhea,” nadanya merayu sekaligus menegur.
Aku makin membenamkan wajahku karena saat itulah aku baru menyadari kalau aku telah membuat kemeja Ray basah oleh air mataku.
Ray terdiam ketika menyadari tangisku. Dia mengalah lalu membiarkanku memeluknya selama beberapa saat. Setelah air mataku mereda, aku menjauhkan wajahku dengan malu dan pedih. Aku bahkan langsung menghambur pergi tanpa memandangnya atau mengucapkan salam perpisahan.
Selanjutnya merupakan kenangan yang selalu membuatku tersenyum sekaligus meringis ketika mengingatnya.
Setelah kejadian itu aku mengurung diri di kamar. Awalnya semua orang mengabaikan tingkahku yang kekanakan itu. Kepanikan mulai terjadi ketika esoknya aku tetap mengurung diri di kamar. Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa seorang Dhea bisa bertindak nekat ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Jika dipikir lagi sikapku sungguh keterlaluan. Hanya karena hal sepele, pasti begitu pikir semua orang. Tapi bagiku itu bukan hal sepele. Aku telah menghabiskan masa remajaku dengan bermimpi bisa meninggalkan desa ini dan tinggal di kota.
Ketika mimpi itu sudah di depan mata, kenapa aku harus menunggu empat tahun lagi untuk mewujudkannya.
Aku tahu Ray juga gusar dengan keinginanku itu. Tapi dia tetap mengabulkannya dengan meminta izin dari orang tuaku, karena aku tahu sebenarnya dia juga menginginkanku berada di dekatnya. Hal itulah yang mendorongku berani menyampaikan keinginanku.
Tapi kenyataannya, aku berhasil mendapatkan keinginanku. Hampir dua hari berlalu hingga akhirnya Ray datang dan entah bagaimana bisa menerobos kamarku. Kehebohan makin menjadi ketika mereka berusaha membawaku ke rumah sakit.
Aku berusaha mengenyahkan pikiranku dan kembali ke masa kini ketika aku mengangkat sup yang telah matang ke atas meja. Senyum bahagia sekaligus geli masih tersungging di bibirku.
Setelah aku berhasil menata sarapan di atas meja, aku mendongak. Ray sedang menyandarkan bahunya di ambang pintu dapur. Tatapannya tajam dan tidak terbaca. Astaga, sudah berapa lama dia di sana.
Ray mengangkat satu alis, “Apa yang sedang kau pikirkan?” dia tidak beranjak mendekatiku, jadi aku pun hanya diam di tempatku.
“Hanya mengenang bagaimana aku bisa berakhir di sini.” Aku berusaha menahan senyumku karena aku tahu Ray sangat membenci kejadian itu.
“Pasti lucu untukmu,” ucapnya sambil mendengus. “Kalau saja kau pria, aku pasti sudah menghajarmu karena berani bersikap sebodoh itu.”
“Kalau aku pria, aku tidak mungkin menjadi tunanganmu kan?” balasku sengit.
Ray kembali mendengus. Tapi kali ini, seulas senyum tersungging di bibirnya.
Ray mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan dasi bergaris biru yang sudah aku siapkan tadi pagi di kamarnya. Itu adalah isyarat agar aku mengikatkan dasinya. Salah satu rutinitas kami sejak aku tinggal di sini hampir tiga bulan lalu.
Aku menahan cengiran lebarku ketika membasuh tangan dan melepaskan celemek. Astaga, benar-benar seperti suami istri.
Aku menghampirinya lalu mengalungkan dasi itu di lehernya. Aku cemberut karena Ray tidak menegakkan tubuhnya yang sedang bersandar, membuatku kesulitan.
Dengan nekat, aku menyentak dasinya. Tubuhnya maju dan menubruk tubuhku dengan keras dan bibirnya mendarat di atas bibirku.
Jantungku langsung berpacu keras seperti baru lari maraton. Entah sampai kapan aku akan terus merasa kakiku berubah seperti jelly tiap kali dia menyentuhku. Kuharap perasaan ini akan terus kurasakan walau rambutnya telah memutih dan wajahnya menjadi keriput.
Ray menggenggam wajahku di antara kedua tangannya untuk memperdalam ciuman. Bibirnya mengulum dengan rakus bibirku seolah itu adalah mata air bagi pengelana di tengah gurun pasir.
Ketika akhirnya Ray menjauhkan diri, aku benar-benar tersengal seperti orang yang nyaris tenggelam. Kedua tanganku mencengkeram dasi dan kemejanya seolah itu tali penyelamat.
Ray mengangkat daguku agar aku menatapnya, lalu suara tawanya meledak. “Sungguh Dhea, ini baru permulaan saja. Bagaimana nanti kalau kita menikah? Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya. Padahal kau nyaris pingsan hanya karena sebuah ciuman.”
Aku cemberut sambil merapikan kemejanya yang kusut karena cengkeramanku. “Kamu sudah tahu kalau aku belum berpengalaman. Seharusnya kamu mengajariku, bukannya menikmatinya sendiri.”
Aku mulai menyimpul dasinya dengan rapi.
“Menikmatinya sendiri?” tawanya berubah menjadi dengusan tidak percaya.
“Baiklah, terserah.” Seruku keras. Setelah dasinya terpasang, aku menarik ujung dasinya yang menjuntai dengan lembut lalu membimbingnya ke meja makan.
“Beginikah caramu memperlakukan suamimu kelak? Menyeretnya menuju meja makan? Karena kalau iya, aku harus berpikir ulang untuk menikahimu.” Sungut Ray sambil duduk. Tapi aku bisa melihat kilatan geli dalam matanya.
Aku duduk di hadapannya sambil tersenyum menggoda. “Benarkah? Kupikir kau sedang tergila-gila padaku. Jadi apapun yang kulakukan pasti membuatmu senang.” Ray menatapku hendak membalas, dan kutahu ini pasti akan menjadi perang kata-kata yang panjang. Jadi aku segera menyendokkan nasi ke piringnya sekaligus melotot ke arahnya. “Makan!”
Ray menerima isyaratku dan kami mulai makan dengan tenang. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya dan aku sudah membayangkan reaksinya. Jadi aku menunggunya selesai makan untuk mengatakannya.
Setelah suapan terakhir di piringnya tandas, aku menyingkirkan piring di hadapanku ke samping lalu melipat tangan di atas meja.
Ray mengangkat alis dengan heran melihat raut seriusku sambil meneguk jus jeruk. Aku menunggu hingga Ray meletakkan gelasnya di meja lalu memulai pembicaraan.
“Aku ingin berhenti kuliah.” Ucapku dengan nada sebiasa mungkin.
Mata Ray menyipit menandakan dia tidak menyukai keinginanku. “Kenapa?” tanyanya santai.
Aku menarik nafas dalam sebelum mengeluarkan argumen yang sudah kusiapkan sejak keinginan ini melintas di benakku.
“Aku sudah tidak memiliki gairah untuk belajar seperti saat kau mengajariku dulu. Lagipula apa gunanya sekolah tinggi kalau akhirnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga.” Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan protesnya. “Tak perlu menasihatiku dengan kata-kata ‘sekolah untuk mencari ilmu’, karena aku sudah cukup banyak ilmu ketika di SMK kalau hanya untuk menjadi ibu rumah tangga.” Aku menarik nafas sejenak. “Tapi kalau kau ingin aku bekerja, aku bisa membantumu di perusahaan. Jika kau bersedia mengajariku, aku pasti bisa belajar dengan cepat. Seharusnya kau sudah tahu itu dari pengalaman.” Aku mengucapkan kalimat terakhir dengan nada bercanda untuk meringankan ketegangan yang mulai nampak di wajah Ray.
Aku sadar kalau aku egois. Terlalu banyak menuntut. Tapi beginilah aku jika sudah berkaitan dengan sesuatu yang tidak aku sukai. Seperti sekolah dan tinggal di desa. Aku tidak menyukai keduanya. Jika ada kesempatan aku bisa menghindari itu, maka aku akan melakukannya.
Ray meletakkan kedua sikunya di atas meja lalu mengusap wajahnya dengan putus asa. “Demi Tuhan, Dhea! Kau sudah berjanji menyelesaikan kuliahmu di sini.” Ucapnya sambil menatap tajam padaku. “Bagaimana caranya aku menjelaskan pada orang tuamu jika tiba-tiba kau berhenti kuliah?”
Aku menyatukan kedua tanganku dengan sikap memohon. “Aku sendiri yang akan menjelaskannya.” Aku memajukan tubuhku dan memasang tampang paling melas yang aku bisa. “Ray, kumohon! Apakah kau tega membiarkanku merasa tercekik seperti ini selama empat tahun? Tugas, tugas dan tugas setiap hari. Aku pasti akan membenci setiap detiknya. Kupikir kau sudah mengerti bahwa aku tidak menyukai sekolah sama besar dengan ketidaksukaanku tinggal di desa.”
Ray menghembuskan nafasnya dengan keras. Tangan kirinya terlipat di atas meja sedangkan tangan kanannya mengusap dagu tanda berpikir.
“Baiklah,” akhirnya dia berucap. “Tapi sebelum itu, kuliah dulu seperti biasa selama sebulan. Jangan terlalu pikirkan tentang pelajaran. Bertemanlah, berbaur. Banyak hal di kampus yang pasti bisa membuatmu terhibur jika kau mencarinya.”
“Jangan sebulan, seminggu.” Tawarku sok polos.
“Kalau begitu selama satu semester ini.” Jawabnya tegas.
“Oke. Sebulan dan tidak ada bantahan.” Ray tersenyum sinis melihat wajahku yang berbinar.
***
Sudah dua minggu berlalu sejak perdebatanku dengan Ray. Tiap hari aku berangkat kuliah seperti biasa. Tapi rasanya berbeda karena kali ini aku memiliki tujuan. Tidak seperti kuliahku sebelumnya yang hanya mengikuti arus.
Ketika aku melewati area taman menuju kelas bahasa inggris, seseorang menabrak bahuku dengan keras. Rasa sakit akibat benturan itu tidak seberapa di banding perasaan de javu yang tiba-tiba menyelimuti diriku, hingga aku tertunduk selama beberapa saat.
“Oh, Dhea. Kamu baik-baik saja?”
Aku mendongak ke arah suara dan menemukan Pak Bambang, dosen bahasa inggrisku yang menatapku dengan senyum ramah.
Aku menggeleng lalu menegakkan tubuh. “Saya baik-baik saja. Tapi sepertinya seseorang perlu diingatkan untuk berhati-hati ketika melintasi jalan umum.”
Senyum Pak Bambang semakin lebar lalu berseru kepada seseorang di belakangku. “Anda dengar itu, Pak? Anda sedang ditegur oleh mahasiswi favorit saya.”
Suara maskulin yang sangat familiar itu menyahut dari belakangku. “Tentu saja lain kali saya akan lebih berhati-hati.”
Nyaris seketika aku berbalik dan berhadapan dengan pria yang tadi pagi sarapan denganku. Bahkan itu setelan yang sama yang kupilihkan untuknya tadi pagi, tapi tanpa jas.
Bisa dibilang aku sedang melongo menatapnya. Ray tidak lagi seperti pengusaha muda yang sukses, melainkan lebih seperti dosen muda dan kacamata yang dikenakannya membuatnya terlihat cerdas.
“Tapi saya tidak akan meminta maaf karena sudah membentur gadis cantik. Buat saya itu anugerah.” Senyumnya mengembang.
Pak Bambang tertawa sambil menghampiri Ray. “Wah, Dhea. Kamu dipuji dosen baru.” Sambil menepuk bahu Ray dia berkata, “Ini Pak Alex. Dia dosen yang akan menggantikan saya karena saya dipindah tugaskan ke kampus lain di luar kota.”
“Dosen baru?”
“Iya, dosen baru.” Pak Bambang menegaskan sambil tersenyum geli. “Kenapa? Kamu tidak percaya kalau dia dosen? Sejujurnya saya juga tidak percaya. Pak Alex lebih cocok jadi model daripada dosen.”
“Astaga, Pak Bambang. Anda membuat saya malu di hadapan calon mahasiswi saya.”
Mereka berdua saling bercanda seperti kawan lama. Sepenuhnya mengabaikanku yang tersenyum kecut melihat mereka bergantian. Hingga mereka berjalan menjauh, aku masih melongo mencoba menganalisa kejadian ini.
Tidak perlu waktu lama karena ini seperti kisah lama yang terulang. Dan sekali lagi, yang sudah direncanakan oleh tunanganku yang menyebalkan itu.
Aku menghentakkan kaki dengan kesal sambil mengikuti mereka. Begitu Pak Bambang dan ‘Pak Alex’ memasuki kelas, keheningan yang panjang berlangsung selama beberapa saat hingga Pak Bambang memperkenalkan si dosen baru. Keriuhan kembali terdengar terutama dari mahasiswi yang langsung memuji-muji. Astaga, benar-benar seperti kisah lama.
“Tidak saya sangka kalian senang sekali dengan kepergian saya. Betapa menyedihkannya!” seruan Pak Bambang disambut tawa riuh seisi kelas. Beliau memang terkenal humoris.
Saat ini aku merasa kembali menjadi Dhea satu tahun yang lalu. Duduk sendirian di belakang dan terpisah dari keceriaan di dalam kelas seperti seorang peneliti yang sedang mengamati suatu kejadian.
“Sebelum membahas materi,” seru ‘Pak Alex’ dengan suara maskulinnya, setelah Pak Bambang meninggalkan kelas. “adakah yang ingin kalian tanyakan kepada saya?” lanjutnya.
“Sudah punya pacar, Pak?” celetuk mahasiswi cantik yang duduk di barisan depan.
Aku menggigit bibir menunggu jawaban Ray.
“Tidak. Saya tidak punya pacar.” Jawabnya enteng tanpa sekalipun melihatku.
“Kalau istri?”
‘Pak Alex’ tersenyum lebar seraya menjawab, “Saya belum pernah menikah.”
Bibirku terasa sakit karena kugigit saking geramnya.
“Kalau tunangan?” semua mata tertuju ke arahku ketika pertanyaan itu terlontar dari bibirku, tapi hanya mata cokelat madu di depan kelas yang menarik perhatianku.
“Tunangan punya. Tapi kan dia tidak di sini.”
Ucapannya membuat seluruh kelas kembali riuh.
“Masih single dong!” seru salah satu mahasiswa yang terkenal sering gonta-ganti pacar di kampus seolah membenarkan ucapan ‘Pak Alex’.
Tanpa kentara, aku melotot ke arah Ray ketika dia sedang menatapku. Dia hanya mengangkat satu alis seolah bertanya ‘Masih mau berhenti kuliah?’
Mana mungkin aku berhenti kuliah di saat seperti ini. Jangan harap!
----------------------
Begitu selesai membaca cerita ini aku menyimpulkan... Dhea itu kekanakan banget nget ngetttt... -_-
Sebenarnya mengingat dia memang masih remaja, hal ini amat sangat wajar. Bahkan mungkin karakter Dhea sendiri adalah gambaran karakterku saat itu, saat sedang menulis cerita ini. Kekanakan!
Setelah aku telaah, yang bikin gak cocok itu ada kayak tabrakan atau crash. Antara karakter yang "seharusnya" Dhea miliki sesuai rencana awal dan karakter yang tumbuh sendiri seiring waktu.
Mungkin efek aku gak terlalu perhatian pada perkembangan cerita dan hanya fokus untuk tamat. Itu sebabnya karakter tokoh utama kayak lepas kendali T__T
Jadi pengen banget nulis ulang kisah ini. Dengan ide yang sama tapi dengan perbaikan total :(
♥ Aya Emily ♥