Empat

1405 Words
Kamis (10.08), 25 Juni 2020 ---------------------- Pagi ini aku memasak nasi goreng dan nugget buatan sendiri. Bi Imah, pembantu di rumahku, tampak heran karena biasanya aku tidak pernah memasak sarapan, apalagi sampai dua porsi. Aku hanya tersenyum penuh rahasia padanya sambil menata nasi goreng itu dengan cantik dalam kotak bekal, dan menghidangkan sisanya di atas piring. Sambil menikmati sarapanku, aku teringat ucapan Al bahwa dia bisa segemuk sumo jika aku menjadi istrinya. Aku tersenyum geli mengingat hal itu. “Neng Dhea lagi jatuh cinta, ya?” Aku tersentak kaget mendengar suara bi Imah. Sejak kapan bi Imah duduk sambil mengelap piring dan hanya berjarak sekitar tiga meter di hadapanku? Bukankah tadi dia masih menyapu teras depan? Pasti aku terlalu dikuasai lamunanku hingga tidak menya-dari kehadirannya. Aku tersipu malu dan menundukkan wajah yang pasti sekarang sudah merah padam seperti udang rebus. “Nggak kok. Lagian bi Imah tahu dari siapa soal cinta-cintaan?” aku masih tetap menunduk sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sudah tinggal bebe-rapa suap. “Di Sinetron begitu. Kalau ada yang jatuh cinta, pasti senyum-senyum sendiri.” Jelasnya berapi-api. “Dhea senyum karena ingat kejadian yang lucu,” jawabku lirih. Tapi, mungkinkah aku benar-benar sudah jatuh cinta pada Al hanya dalam waktu singkat? “Neng Dhea ndak usah menyangkal. Jatuh cinta itu bagus untuk kesehatan.” Aku mendongak menatap bi Imah sambil tertawa. “Kata siapa jatuh cinta bagus untuk kesehatan? Biasanya malah bikin sakit, bi. Nggak bisa tidur, nggak bisa makan. Bisanya cuma bengong mikirin si dia.” Sekali lagi aku memerah karena wajah Al terlintas di benakku. Bi Imah terkekeh, “Ditambah lagi jadi suka senyum-senyum sendiri.” Aku juga terkekeh geli. “Bi Imah ikut senang. Neng Dhea dan mas Raymond memang serasi.” Seketika senyumku jadi kecut ketika nama Raymond diungkit. Tentu saja bi Imah pasti berpikir yang membuatku senang adalah tunanganku. Perasaan bersalah merambati hatiku ketika aku sadar sedang memikirkan pria lain sementara aku sudah memiliki tunangan. Tapi biarlah. Toh, dia juga sedang ber-senang-senang dengan wanita lain. Kenapa cuma aku yang harus merasa bersalah? Secepat mungkin aku menghabiskan makananku lalu pamit untuk berangkat sekolah Di dalam angkot aku teringat Regita. Karena kesal pada Raymond aku jadi menghindari Regita juga. Sudah beberapa hari aku tidak menghubunginya. Tapi aku heran karena dia juga tidak berusaha menghubungiku. Aku khawatir ketika teringat wajah murungnya hari itu. Apa ada masalah dengan kisah cintanya hingga dia tidak sempat menghubungiku? Aku turun dari angkot lalu mulai berjalan santai. Sudah beberapa hari berlalu sejak Al sakit. Awalnya aku khawatir akan ada gosip baru tentang keberadaanku di rumah Al. Tapi tampaknya Sheril dan Rio tutup mulut. Dan sejak Al kembali masuk, tiap hari dia yang mengantarku pulang sekolah. Herannya, sekarang aku tidak lagi peduli dengan gosip yang masih panas membahas soal kedekatan kami. Bahkan kurasa mereka mulai menganggap kami pacaran. Rio tidak lagi berusaha mendekatiku seperti sebelumnya. Mungkin dia sudah mau menerima bahwa aku lebih akrab dan merasa nyaman bersama Al. Sheril juga sudah menyerah menarik perhatian Al. Atau mungkin karena UN tinggal dua setengah bulan lagi, jadi mereka lebih fokus pada pelajaran hingga mengabaikan hal lain. Untungnya aku tidak seserius mereka dalam me-nanggapi UN. Jadi aku punya banyak waktu bersama Al tanpa gangguan mereka. Aku tersenyum kecil karena pikiran itu. Lega rasanya ketika aku mengizinkan hatiku berkelana. Aku tidak takut lagi mengakui bahwa aku benar-benar menyukai Al. Walau kadang perasaan takut dan khawatir menggelayuti hatiku. Aku terhenti dengan kaget ketika motor gede merah metalik itu berhenti sekitar dua langkah di hadapanku. Si pengemudi hanya diam menunggu di atas motornya. Aku cemberut karena selera humor Al yang mengerikan. Memangnya lucu, bisa membuat orang kaget karena nyaris tertabrak? Tapi lalu aku tersenyum tipis dan menghampiri-nya. Tanpa bertanya aku langsung naik di belakangnya. Sekarang aku tidak perlu lagi menempelkan wajahku di punggungnya. Tapi tangan kananku tetap merangkul pinggangnya. *** Aku menghembuskan nafas dengan lesu ketika bel pulang berbunyi. Hari ini masih ada jam tambahan untuk mata pelajaran UN. Aku sungguh tidak paham apa gunanya jam tambahan seperti ini. Bukannya jadi paham, malah membuat kepala pusing dan otak jadi kelelahan. “Mau ke kantin?” aku menoleh memandang Al lalu menggelengkan kepala dengan lemah. Tiba-tiba saja aku jadi ragu untuk menawarkan nasi goreng buatan-ku, walaupun di kelas hanya tinggal kami berdua. Al bersandar di kursi lalu menarik bahuku ke arahnya. Dia merebahkan kepalaku di pundaknya de-ngan lembut. Awalnya tubuhku kaku karena ragu, tapi perlahan aku mulai santai. Rasanya menyenangkan. Tanpa bisa dicegah aku melirik ke jari manisku. Cincin cantik di situ seolah meneriakkan kata ‘seling-kuh’. Aku mengepalkan jari-jariku untuk menutupi cincin itu dan berusaha menghapus rasa bersalahku. Aku sudah nyaris terlelap ketika perut Al ber-bunyi. Aku mendongak menatapnya dan Al tersenyum meminta maaf. “Lapar?” bisikku. “Iya.” “Aku bawa nasi goreng. Tapi pasti sudah dingin.” Al mengangkat bahu dan senyum kekanakannya muncul. “Terserahlah, keluarkan saja! Aku sudah ke-laparan.” Dengan berat hati aku melepaskan diri dari de-kapannya. Untung saja aku juga ingat untuk mengemas air mineral. Aku menata botol dan kotak nasi di hadapan Al. Dia langsung makan dengan lahap. Aku tersenyum geli menatap cara makannya. “Kok diam saja, ayo makan!” Al melihatku sambil mengangkat alis. “Aku tidak lapar.” Selama beberapa saat Al masih menatapku tidak setuju, tapi lalu mengalihkan pandangannya kembali ke makanan. “Sepertinya Sheril yang akan mendapat nilai UN tertinggi tahun ini.” Al bergumam di sela-sela kesibuk-annya mengunyah. “Tahu dari mana?” Al tertawa sinis, “Tentu saja tahu. Sama seperti kenyataan bahwa kamu yang akan mendapat nilai UN terendah tahun ini.” Al menelan suapan terakhir sebelum melanjutkan, “Itu takdir yang tidak bisa di ubah, kecuali jika ada keajaiban.” Aku melotot pada Al karena tersinggung dengan ucapannya yang merendahkan. “Seandainya aku mau belajar, aku pasti bisa mengalahkan Sheril.” Entah bagaimana, hatiku yakin bahwa itu benar. “Lagipula aku tidak pernah dapat peringkat terakhir.” “Oh ya?” Aku makin kesal mendengar nada mencemooh Al. “Tentu saja. Coba kamu pikir, selama ini aku tidak pernah menyerap materi tapi aku tidak pernah mendapat ranking terakhir,” Biasanya ranking lima dari bawah, pikirku sambil meringis. “Tapi Sheril selalu rajin belajar. Tidak heran kalau dia selalu juara satu. Blo’on namanya, kalau sudah belajar tiap hari tapi tidak bisa jadi juara.” Aku terengah setelah menyelesaikan pidato pan-jangku. Al hanya menatapku sambil menahan senyum. “Kalau begitu, buktikan!” suara itu menggema memenuhi ruang kelas. Jantungku seolah berhenti. Aku meremas jari dengan gugup lalu menoleh ke arah Sheril yang berdiri sambil melipat lengan di d**a. “Jangan cuma bisa omong. Buktikan kalau kamu memang bisa mengalahkanku!” Sheril mendelik sambil menudingkan jari telunjuknya ke arahku. “Kalau ternyata kamu tidak bisa mengalahkanku, kamu harus mencium kakiku di atas panggung kelulusan kita, di depan semua orang!” setelah ucapannya yang penuh emosi, Sheril membalikkan tubuh dan menghambur ke luar kelas. Mulutku terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Aku tidak tahu harus berkata apa, terutama di depan banyak siswa yang menyaksikan kejadian tadi. Perasaan malu mulai menjalari hatiku ketika kulihat Rio menatapku dengan sorot kecewa dan ikut berbalik pergi meninggalkan kelas. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Bagaimana bisa aku tidak menyadari kalau banyak orang di dalam kelas? Lalu bagaimana caranya aku bisa mengalahkan Sheril? Harga diri keluargaku pasti hancur jika aku mencium kaki Sheril di depan semua orang. Dan harga diriku pasti lebih hancur lagi jika aku minta maaf pada Sheril dan mengatakan bahwa aku hanya bercanda. Aku menoleh sambil menyipitkan mata pada Al yang terkekeh geli. Beberapa hari terakhir aku merasa memiliki ikatan khusus terhadap Al. Hatiku mendidih marah karena Al tampak terhibur dengan kejadian tadi. “Senang melihatku dipermalukan?” aku berbisik karena beberapa siswa yang masih di dalam kelas sesekali melirik kami. “Tadi itu hebat sekali. Aku tambah kagum pada Sheril.” Aku memalingkan wajah dari Al dengan geram. Sikuku bertumpu di atas meja dan kedua tanganku menutupi wajah. Bisakah aku mengalahkan Sheril? Atau seperti kata Al, itu mustahil kecuali ada keajaiban. “Aku akan membantumu. Itupun kalau kau mau.” Al berkata santai. Aku kembali mendongak menatapnya. Al ber-sandar dengan nyaman di kursinya. Mata cokelatnya menatapku dengan geli. “Kamu pikir lucu melihatku susah seperti ini?” bentakku. Seketika, beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah kami. Wajahku tertunduk malu. “Aku tidak bercanda, Dhea. Aku akan memban-tumu.” Kali ini ekspresi Al berubah tegas. Aku kembali menatap wajahnya. Aku terpesona dengan kemampu-annya mengganti ekspresi secepat dan setotal ini. Aku berdehem, “Kamu minta imbalan apa?” “Kamu. Kencan. Denganku. Seharian.” Al memberi penekanan pada tiap katanya. “Kapan?” aku tidak bisa menahan harapan yang timbul di hatiku. Kencan? Aku tidak pernah kencan. “Hari minggu besok?” senyum sinis muncul di bibir Al. Mungkin saja Al menyadari antusiasme diriku. Seharusnya aku lebih tenang dan bersikap acuh bahkan enggan pada rencananya. “Tapi—“ “Aku sedang tidak ingin didebat, Dhea. Kalau tidak setuju, ya sudah.” “Oke.” Aku memejamkan mata sejenak lalu mem-buka lagi, kali ini dengan sorot memohon. “Kamu harus benar-benar membantuku. Kalau tidak—“ aku meng-usap wajah dengan frustasi, ngeri membayangkan perasaan malu Ayah dan Ibu jika aku harus mencium kaki Sheril. Bibir Al menyentuh pelipisku, “Tentu.”  ------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD