Selasa (11.23), 16 Juni 2020
----------------------
“Kenapa kamu takut naik motor?”
Itu pertanyaan pertama yang diajukan Al sejak kami meninggalkan rumahnya. Kali ini Al memilih jalan pintas yang didominasi tanaman kelapa dan palm. Aku sangat menghargai kepeduliannya.
“Waktu kecil aku pernah kecelakaan. Saat itu aku dibonceng seorang Paman.” Aku makin erat mencengkeram pinggiran sadel motor ketika bayangan samar-samar kejadian hari itu menyeruak benakku. Kali ini sebisa mungkin aku tidak menyentuh Al.
“Hmmm, tampaknya sekarang kamu tidak takut lagi.”
“Sejak kecelakaan itu aku tidak pernah naik motor lagi.” Sebelum hari ini, aku selalu menganggap motor adalah monster yang menyeramkan. “Aku juga tidak menyangka bisa naik motor lagi. Mungkin aku hanya takut jika di jalan raya yang penuh kendaraan lain.”
“Jadi kalau di jalan sepi kamu tidak takut lagi.” Al menghembuskan nafas dengan gaya dramatis. “Seharusnya tadi aku lewat jalan raya supaya kamu memeluk pinggangku lagi. Rasanya menyenangkan!”
“Dasar lelaki c***l!” ingin sekali aku memukul kepalanya tapi aku tidak berani mengangkat tanganku. “Kalaupun kita lewat di jalan raya jangan harap aku mau menyentuhmu walau seujung.....” aku menjerit keras dan refleks merangkul pinggang Al dengan erat ketika Al secara tiba-tiba menarik gas dan menambah kecepatan. Wajahku menempel di pundak Al. Debar jantungku meningkat tajam.
Perlahan, motor kembali ke kecepatan semula. Aku sudah bisa menguasai diri ketika kurasakan tubuh Al bergetar menahan tawa. Dengan marah aku mencubit pinggangnya dan menggigit bahunya. Aku tersenyum puas ketika kurasakan Al mengerang kesakitan.
“Kalau kamu tidak berhenti melakukannya, dua menit lagi kecelakaan masa kecilmu itu pasti terulang lagi.” Aku langsung berhenti melakukannya tapi tidak menjauhkan diri.
Sungguh, aku tidak bisa berpura-pura tidak menyukai ini. Bahkan aku sangat menikmati bisa memeluk dan bersandar pada seseorang yang jauh lebih kuat dariku. Aku sudah tujuh belas tahun tapi baru merasakan memeluk seorang pria. Kalau Al tahu, dia pasti akan mengejekku habis-habisan.
Aku juga ingin sekali merasakan ciuman itu sekali lagi. Kalau bisa ciumannya yang lebih halus. Kerongkonganku terasa kering memikirkan hal itu. Aku tidak menyangka bisa berpikir seliar itu tentang pria yang baru dua hari ku kukenal. Pasti selama ini aku tidak mengenal sifat asliku.
Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumahku dengan kecepatan ini. Apalagi kami menggunakan jalan pintas yang lebih berliku. Mungkin hanya butuh dua puluh menit jika Al berkendara sendiri dengan jalur utama. Aku sendiri tidak menyangka Al tahu jalur ini, padahal aku yang seumur hidup tinggal di sini tidak mengetahuinya. Berkali-kali Al menggodaku dengan mengatakan bahwa aku hanya ingin berlama-lama memeluknya. Aku mencubit pinggangnya tiap kali dia berkata seperti itu.
Aku sendiri nyaris tidak percaya kami baru kenal selama dua hari. Kami seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Yang membuatku kaget aku tidak keberatan jika kami benar-benar sepasang kekasih.
Al menurunkanku di depan pagar rumahku. Melihat rumah itu kenyataan lain menghantamku. Aku sudah punya tunangan. Bagaimanapun buruknya hubungan kami sekarang, dia tetaplah tunanganku dan aku harus menjaga perasaan keluarganya maupun keluargaku.
Aku menoleh menatap Al, “Terima kasih karena sudah mengurangi rasa traumaku. Dan terima kasih juga karena sudah membantu kami.” Aku tersenyum mengingat bahwa Al yang sebagian besar mengerjakan tugas kami. “Kalau bukan karena bantuanmu, pasti kami masih butuh waktu berhari-hari untuk mengerjakannya.”
“Kenapa berterima kasih! Aku kan ketua kelompoknya. Kalau tugas kita belum selesai, aku juga yang jadi repot.” Sejenak Al menatap rumahku. Aku ingin mengajaknya mampir tapi kata selingkuh melintas di benakku. Jadi aku tidak menawarkan itu. “Tapi karena aku sudah membantumu mengatasi rasa takut, maukah kamu membalasnya dengan menemaniku datang ke pameran desa nanti malam? Katanya ada pasar malamnya juga, aku penasaran ingin datang.”
Aku bersedia menjaga hatinya dan mencintainya tanpa syarat.
Kalimat itu memenuhi benakku membuat dadaku dicengkeram perasaan nyeri. “Aku tidak bisa. Aku punya kegiatan lain.”
“Karena itu?” Al mengedikkan kepalanya ke tanganku yang saling menggenggam. Tanpa melihat, aku mengerti yang dia maksud adalah cincin pertunanganku.
Dengan tegas aku menatap matanya lalu mengangguk mantap. “Ya. Jadi mulai sekarang, kita harus membatasi hubungan kita. Aku tidak mau ada kesalahpahaman lagi.”
“Baiklah,” aku kecewa karena Al langsung setuju. Dia mulai menyalakan mesin motor, tapi tetap diam di tempat. Dia menoleh ke arahku lalu perlahan bibirnya terangkat membentuk senyuman. “Aku tunggu jam delapan malam di jalan masuk lapangan. Jangan telat!”
Aku ternganga kaget mendengar ucapannya. Bukankah sudah jelas aku bilang tidak bisa datang. Sepertinya Al tipe pria yang tidak mau mendengar kata tidak. Oh, baiklah. Tunggu saja aku semalaman, aku tidak akan datang.
***
Aku duduk gelisah sambil memandangi TV.
Sore tadi Mbak Ria mengajakku ke pameran desa itu. Aku menolak dengan alasan ada kegiatan lain. Padahal aku tidak ingin bertemu Al. Sekarang sudah hampir jam sebelas dan hujan turun makin deras. Bayangan Al sedang menantiku di bawah guyuran hujan membuatku tidak bisa tidur
Aku tahu itu pikiran konyol. Al pasti sudah pulang begitu sadar aku tidak akan datang. Tapi aku tidak bisa menahan diri berpikir Al menungguku semalaman.
Aku menyeringai masam karena pikiran itu. Memangnya aku siapanya? Mana mungkin dia rela menungguku. Pasti dia sudah pergi dengan wanita pertama yang dilihatnya di pameran itu. Apalagi dia begitu mudahnya memeluk dan mencium wanita yang baru dikenalnya. Pasti mudah baginya melakukan hal itu lagi pada wanita lain.
Tapi bayangan Al sedang berboncengan dengan mesra bersama wanita lain membuat dadaku panas. Akibatnya malam itu aku tidur dengan pikiran berkecamuk. Dan lucunya, bukan karena tunanganku yang jelas-jelas sedang selingkuh, tapi karena lelaki yang baru kukenal dan sudah merampas ciuman pertamaku.
Keesokan paginya aku bangun dengan suasana hati murung. Suasana hatiku makin buruk karena harus berdesakan di colt. Angkot yang kutumpangi ini hanya melewati jalan raya. Jadi aku masih harus berjalan sekitar 300 meter untuk ke SMK 1. Sebenarnya ada banyak becak yang bisa kutumpangi, tapi sekarang aku ingin jalan kaki.
Aku baru berjalan beberapa meter ketika sebuah motor berhenti di sampingku. Aku berdebar membayangkan akan berboncengan dengan Al lagi. Tapi lalu ingat apa yang harus kuucapkan kepada Al karena sudah tidak datang.
“Kok tumben, jalan kaki. Biasanya kan di antar.” Aku diliputi perasaan kecewa mendengar suara itu. Bukan Al. Aku menoleh dan mendapati Rio sedang tersenyum lebar.
“Pengen ganti suasana.” Jawabku asal-asalan.
“Ayo, naik ke motorku.” Tentu saja aku tidak mau memeluk Rio dan mengumumkan ketakutanku.
Aku berhenti lalu berbalik menatap Rio. “Rio, aku senang jika kita bisa berteman. Tapi kamu lihat sekeliling,” di jalan yang kami lalui banyak murid lain yang juga melintas. Bahkan beberapa menatap kami dengan penasaran. “Kita hanya mengobrol, tapi mereka menatap kita dengan sorot aneh. Apalagi kalau aku berboncengan denganmu!” Aku menatap Rio dengan sorot memohon, “Sungguh Rio, aku berusaha menghindari gosip.”
Aku melihat setitik kekecewaan melintas di sorot matanya, tapi lalu dia mengangguk mengerti, “Oke! Tapi izinkan aku mentraktirmu makan istirahat nanti.” Rio sudah cukup pengertian karena tidak memaksa mengantarku sampai sekolah dengan motornya. Jadi aku mengiakan ajakannya sebagai ucapan terima kasih.
Aku kecewa ketika sampai di kelas dan mengetahui Al tidak masuk karena sakit. Sempat terpikir mungkinkah Al benar-benar menungguku semalaman dan diguyur hujan hingga jatuh sakit. Aku menepis pikiran itu karena tidak mungkin Al senekat itu demi gadis yang baru dikenalnya.
Hari ini aku sangat mengharapkan kehadiran Al padahal baru kemarin aku sangat marah padanya. Aku bahkan hanya setengah hati memenuhi ajakan makan siang Rio. Sisa hari itu aku habiskan dengan memikirkan apa yang sedang dilakukan Al, apalagi dalam keadaan sakit dan hidup seorang diri.
***
“Mungkin itu sebabnya Al pindah ke sini. Dia pasti mengidap penyakit parah hingga harus pindah ke desa yang udaranya lebih bersih daripada di kota.”
Cukup sudah!
Aku berdiri lalu berjalan cepat ke kamar mandi. Sudah tiga hari Al tidak masuk sekolah. Selama itu sudah banyak beredar spekulasi tentang penyakitnya. Aku tidak bisa membayangkan Al mengidap penyakit apapun. Tapi sering kali aku berpikir yang terburuk seperti Al sekarat di rumahnya dan tidak ada yang bisa menolongnya.
Aku menggosok pelipis dengan keras berharap itu bisa menghapus pikiran konyolku. Aku terhenti ketika sebuah suara memanggilku.
“Kamu mau ikut menjenguk Al?” aku sedikit kaget mendengar pertanyaan Ahmad. Tiga tahun aku sekolah di sini, tidak ada yang pernah menawariku untuk ikut kegiatan kelas. Sepertinya Ahmad mengerti keherananku. “Melihat kamu bisa bercanda dengan bebas bersama Al, aku pikir kamu juga mengkhawatirkannya.”
Aku mengangguk, “Iya, aku khawatir.” Aku mendesah menyadari aku tidak bisa pergi bersama mereka. “Tapi aku tidak bisa pergi bersama kalian tanpa membuat suasana jadi canggung. Lebih baik aku pergi sendiri tanpa kalian.”
Aku senang melihat Ahmad langsung mengangguk tanpa tanya. Dia pasti juga tidak suka dengan suasana canggung yang mungkin timbul karena kehadiranku. Bagaimanapun aku sadar, walaupun sejauh ini teman pria bisa menerimaku, aku tetap tidak yakin bisa diterima dengan baik oleh para wanita.
“Oh iya, aku lupa jalan ke rumah Al. Kalau kamu masih ingat, bisa tolong jelaskan rutenya?” aku sedikit berbohong karena tidak mungkin aku menjelaskan selama perjalanan ke rumah Al, aku menghabiskan waktu dengan menempelkan wajah di pundaknya.
Ahmad tergelak dan berkomentar tentang si cantik yang pelupa. Tapi dia menjelaskan rutenya dengan jelas.
Setelah sekolah usai aku langsung menuju Toserba terdekat. Aku berniat langsung menjenguk Al karena teman-teman sekelas akan menjenguknya besok. Aku tidak mau berpapasan dengan mereka.
Aku membeli beberapa bahan untuk membuat bubur ayam. Tadinya aku ingin membelikan buah-buahan, tapi lalu ingat di rumah Al ada lebih banyak jenis buah dibanding di Toserba. Sempat terpikir juga ingin membeli bubur instan, tapi rasanya lebih enak buatan sendiri. Lagi pula salah satu kegemaran dan keahlianku adalah memasak. Awalnya aku ragu memasak di rumah Al. Tapi jika Al hanya berbaring di ranjang dan tidak menggangguku, aku tidak keberatan melakukannya.
Aku turun dari becak di depan rumah Al. Rumah itu sepi, membuatku ngeri ketika bayangan tentang Al yang sekarat melintas di benakku. Aku berjalan dengan mantap ke depan pintu lalu mengetuknya. Setelah beberapa menit aku tidak lagi mengetuk tapi menggedor pintu. Perutku terasa melilit karena cemas.
Aku berjalan ke samping rumah. Sesekali aku mengintip melalui jendela kaca yang tertutup gorden. Aku yakin Al ada di dalam karena ada suara-suara aneh yang keluar dari rumah itu. Aku makin panik dan mencoba menggedor kaca. Tapi tetap tidak ada jawaban.
Aku nyaris frustasi ketika melihat sebuah pintu lain yang sedikit tertutup kerimbunan pohon. Sekali lagi aku menggedor, tetap tidak ada respons. Aku menekan handle pintu dengan panik, tanpa diduga pintu perlahan terbuka.
Dari pintu samping itu, aku langsung berada di dapur bernuansa cokelat kayu yang tampak luar biasa bersih. Aku meletakkan bawaanku di konter dapur, lalu segera bergegas ke ruang tengah tempat suara itu berasal. Aku tidak bisa menduga ruang apa yang akan ku datangi karena aku tidak pernah masuk ke rumah ini, bahkan ketika pertama kali aku datang ke sini. Aku hanya sempat berada di halamannya saja.
Aku tertegun sejenak ketika melihat Al sedang duduk di kasur lantai sambil bermain video Games. Telinganya tertutup headphone. Perasaan cemasku berubah jadi amarah. Aku melepas tasku, lalu menggunakannya untuk memukul Al yang masih tidak menyadari kehadiranku.
“Ow, sakit! Dhea, apa-apaan sih!” aku tidak menghiraukan ucapannya.
Astaga, aku tidak bisa tenang karena mengkhawatirkannya, membayangkan dia sekarat karena aku. Ternyata dia cukup sehat hingga bisa bermain Games. Seumur hidup aku tidak pernah merasa semarah ini.
Tapi bagaimanapun Al bukan tandinganku. Beberapa detik sebelumnya aku masih menghajarnya tapi detik berikutnya Al berhasil mencekal tanganku dan menggunakan tubuhnya untuk menahanku di lantai.
Nafas kami memburu. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk, tapi tentu saja kemarahanlah yang paling mendominasi. Aku masih menunggu nafasku mereda untuk mengomelinya, tapi Al tidak memberiku kesempatan melakukannya. Dia langsung menunduk dan menempelkan bibirnya di atas bibirku.
Sejenak aku tertegun, rasanya jantungku berhenti berdetak. Tidak seperti ciuman pertama kami, kali ini Al menempelkan bibirnya dengan lembut. Hanya menempel saja, tapi rasanya seperti kisah dalam novel. Kepalaku terasa pening dan seperti ada kupu-kupu dalam perutku.
Aku memejamkan mata untuk menyerap perasaan seolah melayang ini. Entah berapa lama kami diam seperti ini, lalu kurasakan Al mengangkat kepalanya. Seperti balon yang tiba-tiba pecah, aku menghembuskan nafas dengan terengah seolah sejak tadi nafasku tertahan.
Perlahan aku membuka mata. Tatapanku langsung terpaku dengan mata cokelat Al. Tapi sekarang mata itu tampak berkilat hingga nyaris sewarna madu. Aku pernah melihat mata Al seperti ini. Ketika Al marah karena aku membolos di hari pertamanya masuk sekolah. Bayangan itu membuatku teringat tujuanku datang ke sini.
“Lepaskan aku!” desisku berusaha segalak mungkin.
“Tidak.” senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sebelum kamu jelaskan alasanmu masuk ke rumahku tanpa izin dan tanpa alasan memukuliku.”
“Berani sekali kamu bolos sekolah padahal UN tinggal sebentar lagi!” Al mengerti kalau aku meniru ucapannya.
Al tertawa keras lalu menundukkan wajahnya hingga aku bisa merasakan nafasnya yang panas membelai wajahku. “Hanya itukah alasannya? Atau karena kamu mencemaskanku?”
Dasar b******n sombong! Jangan harap aku mau mengakui itu.
Aku menggeliat dan mencoba mendorongnya dari atas tubuhku. Al tersenyum geli tapi mundur dan melepaskanku. Aku segera berdiri, lalu merapikan seragam dan rambutku yang kusut. Al kembali meraih stik gamenya lalu melanjutkan main. Aku menatapnya makin kesal karena dia mengabaikanku.
“Tadi kamu pakai headphone,” aku mencoba mencari bahan obrolan. “Tapi aku masih bisa mendengar suaranya bahkan dari luar rumah.”
“Tentu saja! Namanya juga barang canggih. Di sini pasti belum ada.” Al menjawab dengan acuh.
Baiklah. Aku memang tidak terlalu suka berada di sini. Tapi tetap saja ini kampung halamanku, tempat kelahiranku. Aku tidak suka jika ada yang menghinanya.
“Bukannya tidak ada.” Aku mengepalkan tangan agar tidak memukul Al lagi. Yah, walaupun akibat aku memukulnya tadi, tidak terlalu buruk. “Hanya saja aku belum mendengarnya.”
“Owh, jadi kau yang Gaptek.”
Aku meletakkan kedua tangan di pinggang lalu mendongak ke atas. Beberapa kali aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan. Biasanya cara itu ampuh untuk meredam segala amarahku.
Setelah beberapa saat aku kembali menatap Al yang masih asyik dengan gamenya. “Karena kamu baik-baik saja, aku mau langsung pulang.” Aku senang karena bisa bicara dengan normal walau rasanya dadaku masih mendidih karena marah dan perasaan lain.
Aku mengambil tasku yang tergeletak di samping Al dan segera berbalik. “Kenapa kamu tidak datang?” aku terdiam mendengar ucapan Al. “Aku memang sakit karena menunggumu semalaman dan kehujanan.”
Aku berbalik menatapnya. Dia sudah mematikan gamenya dan kini balas menatapku. “Jadi kamu menyalahkanku? Padahal aku sudah bilang tidak bisa datang.”
“Iya, aku yang salah. Tapi seharusnya kamu datang dan mengatakan tidak bisa menemaniku. Dengan begitu aku tidak perlu menunggu.”
Astaga, pria ini benar-benar bebal. “Baik, anggap saja aku yang salah. Jadi apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?”
“Temani aku seharian.”
Sungguh tawaran yang menggoda. Tapi aku tidak mau terjebak dengan pria kota yang sewaktu-waktu bisa menciumku tanpa rasa bersalah. “Aku tidak bisa menemanimu. Tapi aku akan menggantinya dengan memasakkan bubur untukmu. Bagaimana?”
Al berdiri sambil mengerutkan kening dengan ragu, “Kamu bisa masak?”
“Lihat saja nanti!” aku tersenyum sombong sambil berbalik dan menuju dapur.
Al mengikuti lalu duduk di kursi tinggi di dapur. Ada tembok pembatas dengan konter dapur berlapis keramik yang dijadikan meja di depan kursi itu. Dari situ Al bisa langsung mengamati kegiatan masakku.
“Tapi aku tidak punya bahan—“ Al langsung terdiam dengan senyum tipis tersungging di bibirnya melihatku mengeluarkan belanjaanku dari tas plastik. “Dilihat dari bawaanmu, apapun yang kamu katakan aku tahu kamu sangat mengkhawatirkanku.” Senyum tipisnya berubah jadi seringai sombong.
“Sssstt, aku tidak bisa konsentrasi memasak kalau kamu terus bersuara.”
“Ya, aku mengerti. Suara merduku pasti membuat pikiranmu terganggu hingga tidak bisa konsentrasi.” Aku menatap Al dengan kesal lalu meletakkan panci yang kupegang dengan keras. Kuraih tasku lalu beranjak ke pintu dapur, “Oke, oke! Aku akan duduk diam dan tidak bersuara.”
Aku mendengus kesal lalu berbalik. Sesaat aku tertegun dan kerongkonganku tercekat. Al duduk sambil melipat tangan di atas meja. Bibirnya tersenyum seperti bocah nakal. Rambut sebahunya berantakan membuat wajah tampannya tampak liar.
Hah, tampan! Sejak kapan aku berpikir bahwa Al tampan? Pasti ada yang salah dengan otakku.
Sekali lagi aku meletakkan tasku di meja lalu kembali menghadap peralatan masak dan mulai mengatur bahan. Aku berusaha menghapus pikiran tentang bibirnya yang lembut, tangannya yang besar dan kuat, tekstur wajahnya yang sempurna, dadanya yang ber—Argh!!
***
Aku tersenyum melihat Al makan dengan lahap. Bahkan dia sudah habis dua mangkuk. Di saat seperti ini, ketika pikiranku bisa bebas berkelana, aku sering berpikir betapa anehnya hubungan kami. Mungkin hanya perasaanku, tapi dari awal bertemu seolah Al langsung mengincarku. Aku bergerak-gerak dengan gelisah ketika pikiran itu muncul.
Kalau dipikir lagi, dari awal Al memang hanya mendekatiku. Tapi bukankah dia memang dekat dengan semua orang? Akal sehatku mencoba membantah.
Tapi dari awal bertemu Al tidak pernah ramah padaku. Dia selalu mengejekku. Dan keanehannya bermula setelah aku bolos pelajaran. Tiba-tiba dia marah lalu menciumku tanpa izin. Jadi, apa namanya kalau bukan aneh?
Perang ‘tapi’ di kepalaku membuatku meringis.
“Dhea, kamu tidak memberi racun di bubur ini kan?” aku tersentak kaget mendengar pertanyaan Al.
“Racun?” kenapa Al tiba-tiba menuduhku seperti itu?
“Kalau bukan racun mungkin bubuk pelet?”
Aku melongo menatap Al yang sedang mengawasiku dengan dahi berkerut. “Apa sih maksudmu? Untuk apa aku meracunimu, apa lagi memberi bubuk pelet? Bilang saja kalau kau tidak suka masakanku.”
“Bukannya aku tidak suka. Aku curiga karena kamu hanya mengaduk-aduk bubur di hadapanmu. Aku kira kamu sedang menunggu mulutku penuh busa.” Cengiran bandelnya mulai menghiasi wajahnya. Aku merengut kesal lalu mulai makan untuk menghentikan ocehannya. Tampaknya Al terbiasa mengkritik orang dengan candaan aneh.
“Aduh, sepertinya aku harus ke kamar mandi!” Al duduk bersandar di kursi sambil memegang perutnya.
“Tentu saja, kamu makan hampir tiga mangkuk.”
Al terkekeh geli, “Mungkin dalam tiga bulan aku sudah segemuk sumo kalau kau jadi istriku.”
Aku nyaris menyemburkan air yang kuminum. Al tidak memperhatikan karena sudah beranjak ke kamar mandi. Mungkin dia sadar telah membuatku luar biasa kaget karena aku bisa mendengar suara tawanya.
Aku mengernyit ketika mendengar suara ketukan di pintu. Bukankah Al masih baru di sini? Jadi siapa yang datang bertamu? Al tidak kunjung keluar sementara ketukan makin keras. Aku khawatir orang itu akan panik sepertiku tadi. Jadi aku berdiri lalu menuju pintu depan.
Aku terpaku di depan pintu yang terbuka. Mulutku bergerak tapi tidak ada suara yang bisa keluar. Aku mengumpat dalam hati. Rio bersama Sheril tampaknya juga tidak bisa bersuara. Mereka menatapku seolah tidak percaya aku keluar dari rumah Al.
Aku menelan ludah dengan gugup, “Ayo masuk, Al ada di dalam.” Aku meringis mendengar ucapanku sendiri. Kenapa aku berkata seperti itu seolah aku juga tinggal di sini.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Sekali lagi aku meringis mendengar nada kasar dalam suara Sheril. Itu membuatku ingat kalau gadis yang selalu jadi juara satu se-angkatan kami ini sedang mengincar Al.
Aku membuka mulut hendak menjelaskan tapi urung karena Al tiba-tiba berdiri di belakangku. Entah sengaja atau tidak, tubuh bagian depannya menempel di punggungku.
“Hai, guys! Kenapa hanya berdiri di situ, ayo masuk.” Al berbalik sambil menarik lenganku. Aku masih sempat melihat kilatan aneh dari mata Rio, dan tampaknya itu buruk. Walau tampak seperti pengecut, aku tetap berjalan cepat menuju dapur, membiarkan Al menemui tamunya.
Aku membereskan sisa makanan kami dengan cepat. Karena kebiasaan di rumah, aku langsung membuatkan minuman dan mencari camilan untuk tamu.
“Tampaknya kamu sudah sembuh,” aku bisa mendengar nada sinis dalam suara Rio.
“Yah, Dhea yang membuatku cepat sembuh.” Aku terbatuk mendengar ucapan Al. Untung aku bisa menahan diri hingga batukku tidak terlalu nyaring. “Tidak ada yang mengurusku di sini. Tapi Dhea datang dan memasakkan makanan untukku.” Al sengaja membuat ucapannya memiliki arti ganda. Seolah aku biasa memasakkan makanan untuknya selama dia sakit. Astaga, aku harus segera pulang.
Aku berhasil menata minuman di atas nampan dalam hitungan menit tapi tidak menemukan camilan. Aku benar-benar gugup menghadapi mereka. Setelah menarik nafas panjang aku berjalan tegap sambil membawa nampan ke ruang tamu.
Begitu masuk aku sudah mendapatkan tatapan merendahkan dari Sheril. Aku menghindari tatapannya. Bukan karena takut, tapi tidak ingin punya masalah. Kudengar Sheril orang yang pendendam terutama pada orang yang dianggapnya merebut miliknya.
Aku memfokuskan diri pada pekerjaanku mengatur minuman di meja. Aku makin gugup karena semua orang tampaknya tiba-tiba terdiam dan memperhatikanku. Memangnya apa salahnya menghidangkan minuman untuk tamu.
“Sebaiknya aku langsung pulang.” Aku sudah berencana pergi diam-diam, tapi kurasa itu tidak sopan.
“Biar kuantar!” semua langsung menoleh ke arah Rio. Sheril menatapnya setuju sedangkan Al menatap tidak suka.
“Dhea dijemput!” suara Al pelan tapi penuh ketegasan.
“Sudah beberapa hari Dhea naik angkutan umum.” Dari mana Rio tahu? Mungkin gosip bahwa Dhea si cantik dan kaya naik angkot sudah menyebar luas. Aku cemberut membayangkan hal itu.
Al menatap Rio dengan tajam, “Kalau begitu aku yang akan mengantarnya.”
“Al, kamu kan masih sakit.” Sheril menimpali lalu menambahkan dengan suara merayu. “Lagi pula tidak sopan meninggalkan tamu.”
“Sudah diputuskan. Aku yang mengantar Dhea pulang.” Tandas Rio sambil berdiri.
Al juga berdiri, tatapannya tidak beralih dari Rio. “Karena Dhea tamuku, jadi aku yang memutuskan.”
“Hello, yang kalian bicarakan ada di sini.” Aku sungguh jengkel karena mereka membicarakanku seolah aku tidak ada di sini. “Kenapa tidak ada yang menanyakan pendapatku?”
Al menoleh dan menatapku dengan garang, “Kau akan pulang bersamaku!” nadanya memperingatkan dan tidak mau dibantah.
Aku mengangkat dagu membalas tatapannya. “Aku pulang sendiri!” Aku berbalik.
Aku kembali ke dapur sambil menggerutu dalam hati. Kuraih tas dan pintu dapur sudah setengah kubuka ketika sebuah tangan mendorong pintu hingga tertutup lagi. Aku tidak sempat berucap karena Al langsung menarik lenganku. Aku terseok-seok mengikuti langkahnya. Aku memekik kaget ketika Al mendorongku ke dalam kamar.
“Tunggu sampai aku kembali!” Desisnya dengan nada mengancam lalu menutup pintu.
Aku tertegun sesaat karena keberanian Al. Memangnya dia siapa hingga berani mengurungku dalam kamar. Bahkan orang tuaku tidak pernah melakukannya.
Aku melangkah ke pintu dan mendapati pintu terkunci. Ingin sekali aku menggedor pintu itu dan berteriak memanggilnya, tapi kenyataan bahwa Rio dan Sheril masih ada di ruang tamu membuatku tidak berani melakukannya. Apalagi mengingat aura permusuhan antara Rio dan Al. Pasti akan buruk akibatnya jika Rio tahu aku dikurung seperti ini.
Aku menghembuskan nafas dengan frustasi. Aku sungguh tidak mengerti tentang Al dan apa yang diinginkannya.
Aku melemparkan tas ke atas ranjang lalu mengamati kamar. Aku yakin ini kamar Al. Secara keseluruhan, kamar ini didominasi warna cokelat gelap. Tampaknya Al menyukai warna cokelat. Suasananya benar-benar maskulin. Aku lumayan kaget karena tidak ada poster-poster yang biasa ditempel anak cowok dalam kamarnya. Hampir semua sepupuku melakukannya. Kamar ini lebih cocok untuk lelaki dewasa.
Di salah satu dinding tepat di samping ranjang terdapat jendela kaca yang menyentuh lantai hingga langit-langit kamar yang saat ini sedang tertutup gorden. Aku menyibakkan gorden jendela itu dan menghadirkan pemandangan halaman samping. Ternyata di luar sedang gerimis. Sejak kapan?
Aku terpukau menyaksikan indahnya tetesan hujan yang sedang mengguyur pepohonan. Halaman samping itu jadi tampak seperti hutan mistis. Aku membayangkan betapa segarnya jika air dari langit itu membasahi wajahku dan mengalir ke seluruh tubuhku.
“Tampaknya kamu harus bermalam di sini.”
Seketika aku memutar tubuh dan mendapati Al sedang bersandar di lemari. Entah sudah berapa lama dia di situ. Mungkin aku terlalu terhanyut dengan lamunanku hingga tidak menyadari kehadirannya. Dan apa yang tadi Al ucapkan?
“Apa katamu? Bermalam di sini?” Aku melotot ke arahnya.
“Memangnya kamu mau, pulang kehujanan?”
“Lebih baik aku basah kuyup daripada menginap dengan serigala.”
Beberapa detik setelah kalimat itu terucap aku langsung menyesalinya. Mata cokelat Al langsung berkilat. Secara insting aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku melirik pintu ketika Al mulai berjalan lambat ke arahku. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
Aku menarik nafas panjang dan berhitung hingga lima lalu mencoba berlari melewatinya. Tapi aku kalah cepat. Al berhasil mencengkeram lenganku lalu mendorong hingga punggungku menempel di jendela kaca. Tangan kananku dalam cengkeramannya sedangkan tangan kiriku terjepit di antara tubuh kami. Senyum di bibirnya makin lebar.
“Serigala katamu?” nadanya lambat dan mengancam.
“Aku tidak bermaksud—“ kalimatku terpotong karena kecupan Al di bibirku. Hanya sekilas, tapi tubuhku langsung menggelenyar.
“Apa?” Al kembali bertanya.
Aku tahu Al menggodaku. Aku membalas tatapannya sambil cemberut. Al terkekeh geli lalu kembali mengecup bibirku sekilas. Perlahan dia mundur lalu memberi jarak di antara kami.
“Jadi, mau pulang sekarang walau harus basah kuyup?” senyum menggoda masih melekat di bibirnya.
“Ya.” Ucapku mantap. “Tapi bagaimana dengan Rio dan Sheril?” aku merasa enggan harus lewat pintu depan dan bertemu mereka.
“Sudah diurus!”
Al membalikkan tubuh lalu berjalan keluar kamar. Aku meraih tas lalu mengikutinya ke pintu depan. Ruang tamu sudah kosong dan di luar tidak ada kendaraan lain selain milik Al.
“Kamu tidak berbicara yang aneh-aneh pada mereka kan?” aku ngeri membayangkan cara Al mengusir mereka. Apalagi tampaknya Al tipe orang yang tidak peduli pada komentar orang lain.
“Tidak perlu dipikirkan!” ucapnya singkat sambil menutup pintu. Aku menatap punggungnya sambil menyipitkan mata lalu tanpa sadar menjulurkan lidah dengan kesal.
Sejenak Al kembali masuk ke rumah lalu keluar lagi dengan membawa mantel lebar berwarna cokelat terang. Dia memakai mantel itu tapi membiarkan tudung mantelnya terbuka.
“Kamu suka warna cokelat?” tampaknya sebagian besar barang milik Al berwarna cokelat.
“Kenapa?”
“Kalau ada yang bertanya dijawab, bukannya malah balik tanya.” Sekali lagi aku cemberut. Kurasa sejak bertemu Al aku sering sekali cemberut.
“Ya, aku suka sekali. Apalagi cokelat madu.” Jelasnya dengan nada sombong sambil naik ke atas motor.
“Aku hanya penasaran.” Jawabku ketus. Aku yakin Al berpikir bahwa aku sedang berusaha mengenalnya.
“Ayo naik!” Aku bertumpu di pundak Al lalu naik di belakangnya. Aku bingung apakah harus memeluk pinggangnya seperti sebelumnya atau duduk menjaga jarak karena ada mantel lebar di antara kami. Sebenarnya aku sudah tidak terlalu takut naik motor. Ternyata naik motor tidak seseram bayanganku.
“Masuk ke balik mantel dan pegangan yang erat!”
Aku tertegun mendengar perintahnya. Itu terlalu intim walaupun Al memakai kemeja berlengan panjang di balik mantel hujan itu. Aku tidak menggubris ucapannya dan memilih mencengkeram mantelnya.
“Aku ingin mandi air hujan.” Itu bukan bohong. Aku memang suka sekali mandi air hujan. Tapi aku juga tidak menyangkal kalau ada alasan lain.
Al menghela nafas kesal, “Jangan berdebat denganku sekarang. Aku tidak mau kamu sakit. Cepat masuk ke balik mantel atau aku akan mengurungmu di kamarku lagi!” Al mengucapkan kalimat terakhirnya dengan suara membentak.
Apa sih masalahnya? Kalau aku sakit itu kan urusanku.
“Aku curiga sebenarnya kamu senang bisa mengambil keuntungan dalam kesempitan.”
“Memang!” ucapnya kesal.
Seandainya Al berusaha menyangkal, aku pasti masih sanggup membalas ucapannya. Tapi satu kata yang diucapkannya itu malah membuat pipiku terasa panas karena malu.
Dengan gugup, aku menyelinap di balik mantel lalu memeluk pinggangnya erat. Jantungku mulai berdetak tidak karuan. Indera penciumanku seolah dipenuhi aroma Al. Aromanya sangat nikmat. Aku makin gugup ketika pikiran itu memasuki benakku. Sejak kapan aku menjadi wanita nakal yang suka aroma pria.
Aku merasakan Al memakai helm dan mesin motor mulai terdengar. Tetesan hujan terasa menerpa punggungku ketika motor mulai melaju, tapi tentu saja tidak membuatku basah. Udara dingin mulai menggigit kulitku. Aku makin merapatkan tubuh dan mencengkeram pinggang Al dengan erat.
Saat itulah, ketika seluruh inderaku hanya terfokus pada kedekatan tubuhku dan tubuh Al, dengan sadar aku mengakui bahwa aku memiliki perasaan khusus padanya. Dan tentu saja aku merasa takut memikirkan bagaimana hubungan kami selanjutnya. Tapi untuk saat ini, aku membiarkan diriku menikmati perasaan asing ini.
---------------------
♥ Aya Emily ♥