Benar saja yang diduga Dharren. Tidak beberapa lama kemudian, Dhannis kembali lagi ke ruangannya dengan wajah yang sulit dijelaskan. Ada kekecewaan, rasa bersalah, dan sesuatu yang mirip dengan kebingungan. Wajahnya menunduk sedikit, bahunya tampak turun. Dharren, yang tadi setengah duduk di kursinya, kini langsung duduk tegak, mengamati saudaranya itu tanpa berkata-kata.
Sejak Dhannis keluar ruangan dan banyak bertanya soal wanita tadi,, Dharren sebenarnya sudah penasaran. Bukan hanya karena perempuan itu menatapnya seperti ingin meninju wajahnya, tapi juga karena ekspresi Dhannis tadi tegang, canggung, dan agak panik.
"Nggak ketemu?" tanya Dharren pelan tapi penuh tekanan.
Dhannis hanya menggeleng. Lalu menjatuhkan dirinya di kursi kerja seperti seseorang yang kalah dalam pertandingan.
"Siapa sih dia? Pacar lo?"
"Bukan."
"Temen lama? Mantan? Atau... orang yang pernah lo ghosting kayak Anya?" tanya Dharren lagi, kini matanya menyipit curiga. Nadanya seperti sedang menginterogasi, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit geli.
"Bukan ... bukan juga. Aku baru kenal beberapa hari lalu," jawab Dhannis tidak b*******h.
"Hah?" Dharren menegakkan badan, menatapnya lekat - lekat. "Lo serius? Baru kenal beberapa hari tapi dia ngelihatin gue kayak ... kayak gue ngambil sesuatu dari hidupnya? Gila itu tatapan, bro. Tajem banget, sampe gue mikir jangan - jangan gue mirip mantan terberatnya."
"Kayaknya aku bikin kesalahan deh, Mas..." bisik Dhannis akhirnya, pelan tapi jelas.
Dharren langsung menepuk jidatnya keras, seakan itu ritual wajib setiap kali Dhannis bikin masalah.
"Astaga, lo ini! Ini kisah Vira 2.0 atau Anya season baru?!"
"Nggak ... beda. Aku nggak ada hubungan apa-apa. Tapi ya, beneran baru kenal beberapa hari."
"Beberapa hari aja lo udah bikin masalah? Hebat. Ini prestasi baru."
Dhannis cuma menunduk, memainkan pulpen di tangannya. Diputar - putar, dijatuhkan, diambil lagi. Gestur kecil yang menandakan pikirannya sedang kacau.
Dharren, walau mulutnya masih mengomel, mulai melunak. Kakak mana sih yang nggak luluh lihat adiknya murung begitu?
"Parah nggak?"tanya Dharren seperti orangtua yang sedang bertanya pada anaknya.
"Mungkin separah tatapannya ke Mas Dharren tadi," jawab Dhannis mengira - ngira.
Dharren mendengus, lalu duduk lebih dekat.
"Dilihat dari tatapan ceweknya tadi sih ... parah banget. Dia ngelihat gue kayak pengganti lo yang harus dihukum. Untung gue lagi gandeng Disti, kalau enggak mungkin udah gue samperin tuh cewek, gue pengen nanya 'Mbak, saya salah apa, sampe gitu banget ngeliatnya?'."
"Sorry, Mas ... aku nggak mikirin efeknya bakal ke Mas juga."
"Iyalah, lo mana pernah mikir. Tapi gue langsung feeling nih, pasti lo bikin masalah dan sekarang gue jadi collateral damage."
Dharren mengusap wajahnya, “Padahal cantik loh. Lo apain dia, ngajak ke hotel terus ngilang?" tanya Dharren penuh selidik.
"Astaga Mas, jangan nuduh dong! Kenal aja baru!"
"Eh, sekarang tuh banyak yang cepat akrab, loh," kata Dharren tertawa sambil menggoda. "Siapa tahu lo udah upgrade ke mode fast love, fast mess."
"Enak aja!" bantah Dhannis, wajahnya mulai memerah karena jengkel sekaligus malu.
"Ya udah, ya udah. Tapi serius, ngapain lo sampe nyari dia ke lobby? Mau minta maaf?"
Dhannis mengangguk pelan. "Iya ... aku pengen klarifikasi. Kayaknya dia salah paham, tapi mungkin juga aku emang keterlaluan."
Dharren mengubah posisi duduknya. Tatapannya serius tapi masih ada senyum. "Lo apain sih dia? Sumpah penasaran, gue. Cerita dong. Kalau lo nggak cerita, gue bakal bebas nuduh sepuasnya, nih."
Dhannis diam. Lama. Hening di antara mereka terasa seperti tekanan udara yang pelan - pelan menghimpit.
"Hellooo.." panggil Dharren, kali ini lebih lembut.
Dhannis menatap kakaknya agak lama, seakan menimbang. Mungkin ini waktunya. Tapi bibirnya hanya terbuka sebentar, lalu tertutup lagi. Tangannya berhenti memutar pulpen dan malah menggenggamnya erat.
"Mas..." ucapnya akhirnya. Suaranya nyaris seperti bisikan. "Kalau aku cerita, Mas jangan ketawain ya?"
"Gue nggak janji," jawab Dharren sambil menahan senyum, tapi wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Tapi gue janji akan dengerin sampai habis."
Dhannis menarik napas dalam. Ia sempat menatap ke arah Dharren agak lama sebelum memutuskan mengaku apa yang sudah dia lakukan terhadap Ina beberapa hari yang lalu.
"Aku bilang sama dia kalau aku sudah punya istri," ucapnya pelan sebagai kalimat pembuka .
"Hah?" Dharren terlonjak kaget .
Tentu saja ia sangat kaget mendengar pengakuan Dhannis, tapi ia belum tahu alasan Dhannis mengatakan itu, makanya dia tidak mau menanggapi lebih.
"Waktu itu aku lagi sama Yuke," tambah Dhannis lagi.
Sekarang Dharren mulai paham sedikit, karena pasti Dhannis mengakui yuke sebagai istrinya, tentu saja wanita tadi salah paham ketika melihat ia bersama Disti, kira - kira begitu kesimpulan sementara yang diambil oleh Dharren di dalam pikirannya.
"Aku rasa dia tadi kaget lihat Mas Darren sama Disti, Mungkin dia pikir aku sama wanita lain lagi, kayak selingkuh gitu."
"Sudah pasti, gue juga mikirnya begitu. Bagus gue nggak digampar sama dia tadi," ucap Dharren berlebihan.
"Ya nggak gitu juga lah Mas, ngapain dia gampang mas Dharren? Dia bukan pacar aku kok."
"Bukan masalah lo pacar dia atau enggak, siapa tahu dia eneg kalau lihat laki sudah punya istri terus jalan sama perempuan lain, mesra lagi. Bisa aja kan atas nama solidaritas kepada sesama perempuan dia gamparin gue, duh bakal merah pipi mulus gue," ucap Dharren sambil mengusap pipinya. Memang agak berlebihan tapi berhasil membuat Dhannis melotot kesal.
"By the way, gimana ceritanya sih sampai - sampai lo ngakuin si Yuke yang nggak pernah lo lirik itu lo akui sebagai istri? Apa nggak terbang - terbang si Yuke?"
Dhannis belum menjawabnya, tapi Dharren sudah memberikan pertanyaan lain, mumpung masih ada waktu, Disti masih di atas bertemu dengan Om dan tantenya.
"Terus lo kenal di mana sama tuh cewek, eh namanya siapa?"
'Tok ..Tok'
Pintu ruangan Dhannis diketuk dari luar.
"Siapa, Disti?" tanya Dhannis ke Dharren.
"Bukan kayaknya, dia masih di atas, kalau udah selesai dia bakal telepon janjian di lobby."
"Masuk," perintah Dhannis.
Ternyata yang datang adalah suster Tia.
"Dok, sudah selesai ya. Saya mau ke atas dulu."
"Oh ya, saya sebentar lagi."
"Ya nggak apa-apa dok, jadwal selanjutnya kan masih satu jam lagi."
"Ya oke."
Lalu suster Tia beralih ke Dharren.
"Dokter Dharren kapan mulai praktek?"
"Kenapa sus, kangen sama saya? Masih lama, nanti hari Senin."
"Nggak ada oleh - oleh nih dari bulan madu?"
"Ada, nanti ya hari Senin aja, saya baru nyampe banget, belum pulang, belum bongkar koper.”
"Asik ... Makasih dok."
"Ya sama - sama."
"Saya pamit dulu ya."
"Ok."
Suster Tia pun keluar dan Pintu ditutup lagi.
"Sampai mana tadi?" tanya Dhannis.
"Siapa namanya, kenal di mana dan kenapa sampai Yuke lo aku - aku jadi bini?"
Dhannis menghela nafas lagi, lalu Ia mulai menceritakan bagaimana pertemuan dan perkenalannya dengan Ina, dan juga soal kedatangan Ina di ruangan praktek ini dengan segala keluhan dan kecerewetannya, lalu ceritanya ditutup dengan pertemuan ketiga di kafetaria, di saat ia mengakui kalau Yuke itu adalah istrinya dan berujung dengan perginya Ina meninggalkan makanan dan minumannya tanpa disentuh sama sekali.
"Waktu dia udah pergi, aku baru merasa bersalah banget , ngapain coba aku bercanda gitu? Aku kira bisa lucu kayak papa, nggak tahunya jauh banget efeknya," ucap Dhannis polos.
Dharren yang mendengarkan cerita itu sampai melongo, kaget, bingung, dan tidak habis pikir kenapa Dhannis bisa - bisanya bercanda dengan mengatakan Yuke sebagai istrinya? Apa lucunya?
“Wah parah banget lo, nggak heran sih kalau dia sinis banget sama gue. Kenapa sih lo? Kalau Adek tahu, habis lo."
"Jangan kasih tahu Adek ya, Mas, Ina itu berisik banget, Adek tuh lebih berisik lagi."
Dharren tertawa," Lo sadar nggak sih kita itu hidup di antara orang - orang berisik? Cuma Mama sama lo aja yang kalem, bahkan Disti itu kurang berisik apa? Jadi walaupun lo sama mama doang yang kalem, nggak berisik ... Tapi bisa aja hidup lo itu kayak Mama, udahlah bapaknya berisik terus nikah sama biang berisik kayak papa. Kelar kan?"
***
Setelah cuti mendadak selama tiga hari, akhirnya pagi ini Ina harus kembali lagi ke kantoraetelah cuti dadakan kemarin. Ada rasa berat yang menggelayut di pundaknya, tapi juga ada rasa lega setidaknya, Papa sudah lebih baik. Ia masih belum pulih total, tapi hasil terakhir dari dokter cukup melegakan.
Ina tiba tadi malam, mendarat di Bandara Changi sekitar pukul setengah satu dini hari, lelah dan sedikit linglung. Namun sebelum merebahkan diri di tempat tidur, ia menyempatkan diri menyiapkan outfit kerja dan merapikan tasnya. Ia tahu pagi ini tidak boleh tergesa - gesa.
Ada untungnya, sebelum berangkat ke Jakarta Sabtu lalu, apartemen mungilnya di sisi timur Singapura itu sudah ia bereskan. Tak ada cucian menumpuk, tak ada dapur berantakan, semuanya rapi seperti semula. Saat menarik koper kecilnya ke sisi pintu, Ina sempat berdiri diam sejenak. Otaknya mendadak memutar ulang satu nama "Dhannis".
Pertemuan singkat namun membekas. Sorot mata itu, caranya bicara, namun buru - buru Ina menggelengkan kepala, seperti menepis serpihan kenangan yang belum waktunya untuk ditelaah. Sudahlah. Itu hanya kebetulan, manis dan pahit yang datang bersamaan.
Ina turun menggunakan lift apartemennya yang berdesain minimalis modern. Udara pagi menyapa lembut ketika ia keluar. Seperti biasa, sebelum menuju stasiun MRT, ia mampir ke kios kopi favorit di depan gedung apartemen. Kali ini ia membeli segelas Americano, es kopi tanpa gula dan sepotong croissant almond untuk sarapan di kantor nanti.
Hidupnya kembali normal, atau setidaknya, ia mencoba membuatnya terasa normal seperti sebelum ia pulang ke Jakarta minggu lalu.
Hanya satu hal yang jelas berbeda sekarang, ia akan lebih sering menelpon Papanya untuk mengecek kabar dan memastikan tidak ada gejala aneh akibat efek samping operasi tumornya. Hari ini Papa dijadwalkan pulang dari rumah sakit. Ina sedikit menyesal tak bisa mendampingi lebih lama, tapi dia tahu tanggung jawabnya di sini tak kalah penting.
Dengan langkah mantap, Ina menapaki jalan menuju stasiun MRT. Kantornya hanya berjarak tiga stasiun, tidak jauh, dan pagi ini ia punya cukup waktu. Orang - orang bergegas melewatinya, wajah - wajah penuh urgensi. Tapi Ina berjalan tenang, menikmati jeda langka di antara ritme kota yang terburu - buru.
Dua puluh lima menit kemudian, Ina tiba di stasiun tujuannya. Langkahnya ringan, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kurang tidur. Dari stasiun, hanya butuh lima puluh meter untuk sampai ke gedung kantornya, sebuah bangunan kaca tiga puluh lantai yang sudah akrab dalam kesehariannya. Ina bekerja di lantai dua puluh.
"Good morning," sapa petugas keamanan di depan gedung, seorang pria tua berkumis tipis yang selalu tersenyum ramah.
"Morning," jawab Ina sambil men-tap kartunya.
"Sudah beberapa hari nggak kelihatan, ya."
Ina tersenyum kecil. "Pulang sebentar ke Jakarta, Pak. Papa saya dirawat."
"Ooh, semoga cepat sembuh ya. Selamat bekerja!"
"Terima kasih." Ina mengangguk lalu melangkah ke antrean lift yang sudah dipenuhi karyawan - karyawan lainnya.
*
Setibanya di kubikelnya, belum sempat ia membuka laptop, suara khas Jimmy langsung menyapa dari seberang partisi.
"Haiyyooo ... Ai kaget banget dengar Papa lo sakit, Na!" Suaranya lantang seperti biasa, tak pernah tahu arti volume rendah.
Ina tertawa kecil. "Emang lo doang yang kaget? Gue juga."
"Sakit apa sih, Na?"
"Tumor di kepala," jawab Ina tanpa dramatisasi, meski hatinya masih sedikit tercekat.
"Wah, Mami ai juga pernah ada tumor di keleknya,” jelas Jimmy sambil menunjuk ketiaknya. “Tapi jinak sih. Makanya ai sekarang super hati - hati, hidup sehat, minum jus pare tiap pagi!"
Ina mengangkat alis, geli. "Jus pare? Serius lo?"
Jimmy mengangguk khidmat. "Serius, Na. Pahitnya itu loh ... kayak ditolak waktu confess cinta."
Ina tergelak, kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya pada Jimmy. "Nih, oleh - oleh."
"Wah thank you! Apa ini?" Jimmy langsung membolak - balik bungkusnya.
"Katanya kentang, katanya rasanya pedes - pedes manis gitu. Lo pasti suka."
“Lo udah nyoba?”
Ina menggeleng.
"Yang penting bukan rasa pare, itu sudah buat ai happy!" jawab Jimmy sambil tertawa.
Ina ikut tertawa, tapi matanya melirik ke layar laptop. Ada notifikasi email baru dari HRD soal cutinya. Ponselnya hening tanpa notifikasi, lagi pula siapa yang mau mengiriminya pesan? Atau lebih tepatnya, memangnya ia sedang berharap dapat pesan dari siapa, pria selingkuh itu? Pikiran gila. Mereka saja tidak pernah bertukar nomor telepon, dan itu perlu Ina syukuri, ia tak mau berurusan dengan pria itu lagi.