Pekerjaan yang ditinggalkan Ina selama masa cuti kini menumpuk di hadapannya. Meski sempat ia cicil secara daring saat masih berada di Jakarta, tetap saja masih banyak yang harus diselesaikan. Terlebih, perusahaan tempatnya bekerja tengah menjalankan proyek besar, dan Ina dipercaya memegang pekerjaan penting di dalamnya. Karena itu pula, awalnya ia menolak mengambil cuti dan hanya memanfaatkan hari libur di akhir pekan. Namun, kondisi ayahnya yang harus menjalani operasi serta saran dari sahabatnya, Cheni, membuat Ina akhirnya melunak. Ia mengajukan cuti mendadak, dan syukurnya disetujui oleh atasannya, ibu Melissa.
"Na, ke kantin yuk," ajak Jimmy, rekan satu timnya, saat jam makan siang tiba.
Ina masih terpaku di depan laptop, larut dalam lembaran spreadsheet dan berkas - berkas digital yang seolah tak ada habisnya. Waktu istirahat sudah lewat beberapa menit, tapi ia belum juga beranjak.
"Duh, males banget. Lagi tanggung nih," sahut Ina tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Kerjaan nggak bakal selesai kalau kamu tumbang. Makan dulu biar tetap hidup. Ayo, kantin yuk. Nggak kangen makan nasi kari dengan kuah yang berlimpah dan berkilat - kilat?" goda Jimmy, menyebut makanan favorit Ina.
Ina mendengus pelan. Kalau Jimmy sudah menyebut kari, memang susah menolak.
"Lima menit lagi," katanya akhirnya, setengah pasrah.
Baru satu menit berlalu, Cheni pun muncul dan langsung mengajak Ina untuk makan siang juga.
"Zel, makan yuk. Kamu belum makan, kan?" bujuknya.
Tanpa Ina tahu kalau kedua temannya ini sebenarnya sudah bekerja sama dan saling kontak, Jimmy malah bilang ke Cheni kalau Ina tidak mau pergi makan siang, padahal Ina hanya bilang tunggu sebentar.
Sekarang Ina sudah ditunggui oleh dua orang sahabatnya. Jimmy dan Cheni adalah dua orang terdekatnya di kantor. Mereka sudah berteman lebih dari dua tahun, tapi dengan Cheni lebih lama lagi, tepatnya sejak awal kuliah, dan hanya merekalah yang tahu betul sisi pribadi Ina. Tanpa banyak pilihan, Ina menekan tombol save, menutup laptop, dan berdiri.
"Eh, Chen, aku ada oleh - oleh buat kamu," ucap Ina lalu memberikan paper bag yang sama dengan Jimmy tadi kepada Cheni.
"Wow, thanks."
Lalu mereka berjalan bertiga keluar dari ruangan.
Kantin yang mereka tuju tidak jauh, hanya menyebrang ke gedung sebelah yang punya area makan outdoor. Suasananya jauh lebih santai dan segar dibanding kantin internal yang sumpek dan penuh AC. Tempat itu selalu ramai oleh karyawan dari berbagai perusahaan dalam kompleks perkantoran tersebut. Makanannya pun bervariasi, mulai dari masakan Melayu, India, Korea, hingga makanan Barat.
Ina langsung memesan nasi basmati yang harum dan pulen, lengkap dengan kuah kari daging yang kental dan menggoda. Aromanya membuat perut siapa pun yang mencium ikut lapar.
Ina memang dikenal punya selera makan bagus. Ia makan dalam porsi besar, tapi tubuhnya tetap ramping. Bukan karena metabolisme semata, tapi karena ia rutin berolahraga. Sepulang kerja, ia hampir selalu menyempatkan diri ke gym di apartemennya. Akhir pekan pun diisi dengan yoga atau berenang.
"Udah beberapa hari nggak makan ini," ucap Ina sambil menyendok nasi dan kari dengan lahap.
"Kemarin di Jakarta makan apa aja? Pasti mampir ke rumah makan Padang, ya?" tanya Jimmy sambil menyuapkan chicken rice ke mulutnya.
Ina menggeleng kecil, lalu menjawab setelah menelan makanannya, "Aku sama sekali nggak kemana - mana. Selama di sana, aku di rumah sakit terus. Makannya pun di kafetarianya. Tapi surprisingly, enak - enak lho, dan banyak pilihan."
"Kamu nggak mampir ke rumah?"
"Rumah siapa?" Ina balik bertanya sambil menatap Jimmy.
"Oh iya, ai lupa," sahut Jimmy pelan.
Memang hanya Jimmy dan Cheni yang tahu bahwa Ina sudah tidak punya 'rumah' lagi di Jakarta, dalam arti yang sebenarnya. Ia sudah lama hidup sendiri, sejak orang tuanya punya kisah hidup sendiri - sendiri, ia menyimpan rapat - rapat kisah keluarganya kecuali kepada dua sahabat ini.
"Sekarang penglihatan papa kamu udah membaik, Zel?"tanya Cheni sambil menyendok nasi campurnya.
Ina menelan dulu makanan sebelum menjawab, "Sekarang masih masa pemulihan, tapi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dokternya bilang kemungkinan besar bisa normal lagi."
"Ternyata tumornya bukan di mata, ya?" tanya Jimmy yang punya rasa ingin tahu yang tinggi soal hal - hal medis.
"Bukan, tumornya di kepala. Ada saraf yang terjepit, dan itu memengaruhi penglihatan. Katanya sih, kalau yang kejepit itu saraf lain, bisa pengaruh ke motorik, tangan atau kaki. Aku juga nggak paham detailnya."
Lalu, tiba - tiba Cheni berseru karena mengingat sesuatu, "Zel! Kamu kan cerita sempat kenalan sama cowok tampan tapi aneh. Gimana kelanjutannya?"
Ina diam sejenak. Ia mengunyah lebih lambat kali ini.
"Hm ... sebenarnya aku males cerita soal itu lagi. Dia ternyata cuma cowok b******k tukang selingkuh, sangat jauh dari ekspektasi, walaupun wajahnya tampan dan kelihatan bukan orang sembarangan."
Jimmy, yang meski tampak maskulin tapi punya orientasi seksual berbeda, langsung bereaksi.
"Kok bisa kamu bilang dia tukang selingkuh? Kalian sempat deket?"
Ina menoleh dengan tatapan jengah. "Apa yang kamu harapkan dari kenalan dua - tiga hari, langsung jadi pacar?"
Jimmy mengangkat bahu. "Yah, zaman sekarang banyak juga yang one night stand."
"Setelah sekian tahun kita kenal, kamu yakin aku orang kayak gitu?" suara Ina meninggi sedikit, matanya juga melotot tajam.
Jimmy salah tingkah. "Bukan nyalahin kamu. Maksudnya, cowok bisa aja maksa. Kadang cewek nggak berniat, tapi tergoda."
Ina masih memelototi Jimmy. "Pertanyaan kamu tuh ... nggak dipikir dulu. Mau aku kirim balik kamu ke PIK?" ancamnya yang tentu saja setengah bercanda.
Jimmy terkekeh. "Oke, oke ... ai salah tanya, ai minta maaf."
Cheni kembali penasaran. "Terus ceritanya gimana? Ceritakan dari awal, please."
Ina tertawa kecil, mengingat kejadian itu. "Kami kenalan di Changi. Aku waktu itu sangat terburu - buru, dan tidak sengaja nabrak dia. Dia kelihatan kesal. Eh, ternyata kami duduk bersebelahan di pesawat. Bisa kamu bayangkan nggak sih, duduk satu setengah jam bareng orang yang kesel sama kamu?"
Cheni dan Jimmy tertawa.
"Pasti tidak mau menoleh," tebak Cheni.
"Walau dia nggak mau noleh, pasti kamu gangguin dia, ya?" tuduh Jimmy sambil menyengir.
"Namanya juga Zellina," sambung Cheni, setengah menggoda.
Ina tertawa sebelum melanjutkan ceritanya. Setelah itu ia mulai menceritakan kejadian dari Changi hingga kejadian dia di kafetaria sesaat sebelum ke bandara. Bagaimana Dhannis yang dinilaainya sebagai pria introovert, galak, pendiam dan sialnya tampan, tapi ternyata pria itu menyimpan banyak kebohongan. Dalam waktu singkat, Ina sudah tahu bahwa pria itu ternyata sudah punya istri tapi tetap membawa wanita lain dengan mesranya, lebih gila lagi di tempat yang sama.
"Makanya aku bilang dia b******k," pungkas Ina.
Jimmy menggeleng. "That’s why sometimes I don’t like men."
Ina menoleh, menertawakannya, Jimmy nggak suka laki? Hmm
Semua tertawa. Obrolan makan siang mereka siang itu ditutup dengan canda dan sisa - sisa nasi di piring yang hampir licin. Meski pekerjaan masih menanti, tawa dan cerita membuat hari itu sedikit lebih ringan untuk mereka semua.
*
Langit sore Singapura mulai berubah jingga ketika Ina melangkah keluar dari gedung kantornya di kawasan Marina. Jam menunjukkan pukul lima teng, waktu pulang kerja yang paling sibuk, saat arus manusia dari berbagai penjuru tumpah ke stasiun MRT terdekat. Hari ini, Ina punya agenda lain, membawakan oleh - oleh dari Jakarta untuk mamanya yang tinggal di apartemen mewah kawasan River Valley. Ina membawakan rendang dari salah satu rumah makan padang kesukaan mamanya dan uncle Adam.
Langkahnya diiringi oleh Cheni, sahabat sekantornya yang kebetulan arah pulangnya sejalur. Mereka memilih berjalan santai menuju stasiun, tidak ikut berdesakan dengan kerumunan yang terburu-buru.
"Zel, jadi kamu akhirnya ketemu juga sama Tante Yasmin di rumah sakit?" tanya Cheni membuka percakapan sambil menuruni eskalator menuju peron MRT.
Ina menarik napas sebelum menjawab, "Iya, ketemu."
"Dan kamu ... sudah bisa menguasai perasaanmu?" tanya Cheni hati - hati.
"Aku baik - baik saja. Maksudku, aku sudah tidak meledak - ledak lagi seperti dulu," ucap Ina pelan. "Tapi tetap aja .. kalau aku ngobrol sama Papa, lalu tante Yasmin tiba - tiba ikut nimbrung, pikiranku langsung kemana - mana, kayak terbawa ke masa lalu mereka, tentang Mama dan aku dulu," jawab Ina.
Nada bicaranya tenang, tapi Cheni menangkap ada getir yang tertinggal di balik kata - katanya. Walau ia belum mengenal Ina saat tragedi itu terjadi, ia sudah cukup mendengar untuk bisa merasakan lukanya.
"Tadi kamu sempat cerita kalau kamu benar - benar nggak pulang ke rumah Papa kamu selama kamu berada di Jakarta?"
Ina mengangguk.
"Nggak. Aku tidur di ruangan papaku, dia kan dirawat di kamar VIP, jadi tempatnya enak. Mandi dan makan juga di sana, yang seperti aku bilang tadi, kafetarianya banyak pilihan makanan dan aku sering pesan di situ."
"Lho, terus baju ganti kamu? Pasti kamu tidak membawa baju banyak kan?"
"Aku kirim ke laundry Express. Sopir papa yang nganter dan ambilin."
Cheni berkerut heran. "Kenapa nggak dibawa ke rumah Papa kamu buat dicuci aja?"
"Aku berusaha untuk memperkecil interaksi," jawab Ina datar. "Aku nggak mau ada peluang berbicara dengan Tante Yasmin kalau nggak perlu."
Cheni mengangguk paham. "Tapi kamu masih ketemu sama adik kamu, siapa namanya? Adel, ya?"
"Ya, pasti aku ketemu dengan Adel, kan dia datang ke rumah sakit tiap hari habis pulang sekolah, bahkan saat di Changi aku sempatkan untuk membelikan Adel coklat. Dia nggak salah apa - apa, dan aku juga enggak ada salah, lalu kenapa harus aku membencinya?"
"Hebat kamu,” puji Cheni, tulus. "Masih bisa waras di tengah semua kekacauan itu."
Ina tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. "Itulah gunanya bayar layanan psikiater mahal."
Tawa Cheni pecah. "Dasar kamu."
Tak lama, kereta MRT pun datang. Meski ramai, mereka cukup beruntung mendapat ruang berdiri yang tidak terlalu sempit. Mereka masuk ke salah satu kabin, bersandar pada tiang pegangan logam sambil melanjutkan obrolan.
"Tapi aku masih takjub, loh," kata Cheni sambil merapatkan tubuhnya di tengah keramaian. "Kamu bisa ketemu cowok yang awalnya kamu kira montir pesawat, ternyata dokter beneran. Terus, bisa ganteng pula."
Ina mengangkat alis. "Awalnya aku pikir juga dia terlalu tampan untuk menjadi montir pesawat, dan tidak menyangka kalau dia sedang berbohong dan aslinya seorang dokter."
"Haha iya juga sih. Tapi serius, apa dia sekeren itu sampai banyak perempuan tergila - gila dan bisa jadikan mereka selingkuhan?"
"Dia memang ... tampan," aku Ina pelan. "Mungkin di atas rata - rata."
"Aku jadi penasaran. Siapa namanya?"
"Dhannis Azde Mahendra."
"Wah lengkap sekali, kok kamu bisa tahu? Tidak mungkin ia menyebutkan nama lengkapnya saat kenalan."
"Memang tidak mungkin. Kan aku konsul soal alergi kulitku, jadi tahu dari susternya. lagian aku cuman iseng tanya bukan buat stalking."
"Wait," ucap Cheni tiba - tiba seperti mendapat inspirasi.
Cheni buru - buru membuka ponselnya dan mengetik sesuatu. Wajahnya berubah tak percaya. "Oh my God."
Ina menoleh penasaran. "Kenapa?"
"Ini bukan orangnya?" tanya Cheni menunjuk layar ponselnya, memperlihatkan foto seorang pria dalam balutan jas dokter.
Ina hanya mengangguk. "Iya. Itu dia."
"Gila, Zel. Dia ini ternyata cicit dari pemilik rumah sakit. Rumah sakit itu adalah ... salah satu yang paling besar di Indonesia," ucap Cheni sambil membaca informasi yang ia lihat.
Ina melihat lagi ke arah foto Dhannis yang tampak tersenyum, sangat berbeda dengan penampilan yang pernah Ina temui. Dhannis difoto dengan latar belakang rumah sakit Royal tempat Papanya dirawat.
"Aku enggak tahu," jawab Ina tenang.
"Kamu yakin dia duduk di ekonomi waktu ketemu pertama kali di pesawat? Dia ini anak cucunya konglomerat loh."
"Aku yakin, kami duduk bersebelahan. Memangnya dari tadi siang aku cerita bohong?"
Cheni mengangkat alis. "Dengan latar belakang keluarganya seperti ini? Aneh juga, mungkin harusnya mereka pakai private jet atau minimal kelas bisnis."
Ina hanya mengangkat bahu. "Mungkin dia lagi mau hidup sederhana. Atau mungkin ... lagi kabur dari istri dan pacarnya?"
"Eits, di sini statusnya tertulis single lho, Zel. Menarik kan?" kata Cheni, sambil menggulir halaman artikel profil Dhannis di layar ponselnya.
"Itu berita kapan?"
"Dua tahun yang lalu sih," jawab Cheni jadi ragu sendiri.
"Belum di update lagi, bisa jadi udah berubah sekarang."
"Hmm, katanya dia tiga bersaudara: Dharren, Dhannis, dan Dhevina. Nama tengah dan belakang mereka semua sama: Azde Mahendra."
Ina mengangguk. "Kalau satu Ayah memang biasanya gitu. Aku dan Tommy beda, karena kami beda ayah. Walau sama - sama pakai nama belakang Erwindra, aku dan Adel beda ibu, jadi nama tengah kami beda, nggak mungkin Papa bikin yang sama juga."
Cheni mendesah. "Ternyata dia dokter konglomerat. Pantes aja ... tampan, punya duit, dan ... penuh rahasia."
Ina menatap jendela MRT yang mulai gelap karena menjelang malam. Bayangan gedung - gedung tinggi Singapura terlihat samar di antara lampu - lampu kota. Ia mendesis pelan.
"Sudah, Chen. Nggak usah cari tahu lagi soal dia. Sekarang aku makin ngerti, kenapa dia bisa semena - mena sama perempuan. Wajah oke, uang juga punya. Kombo maut!"
Cheni akhirnya menutup ponselnya dan menguncinya. "Oke, fine. Demi kesehatan mental sahabatku tercinta, aku berhenti sekarang."
Mereka tertawa kecil. Kereta mulai mendekati stasiun Somerset, dari sana, Ina akan naik taksi sebentar ke apartemen ibunya di River Valley. Malam pun menanti, tapi obrolan mereka meninggalkan jejak rasa penasaran yang belum tentu akan benar - benar padam.