Keluarga Bahagia

2117 Words
Ina menatap gedung tinggi berlapis kaca yang berdiri megah di Kota Singapura ini, tempat apartemen ibunya berada. Langit sore mulai bergradasi jingga, dan meskipun hawa kota tak pernah benar - benar sejuk kecuali turun hujan, suasana hati Ina justru terasa hangat. Di tangannya tergenggam sebuah paper bag berisi rendang favorit sang mama. Bukan hasil masakannya sendiri, tentu saja, Ina lebih memilih menyuruh sopir papanya membelikan dari rumah makan Minang langganan mama Citra kalau sedang pulang ke Jakarta. Tapi soal niat? Tak pernah main - main. Satu kartu akses ia tempelkan pada pemindai lift pribadi. Pintu bergeser halus dan ia melangkah masuk, melaju ke lantai tiga puluh satu, lantai khusus tempat unit mamanya berada. Ting. Begitu pintu terbuka, aroma yang familier langsung menyambutnya. Dan bahkan sebelum sempat mengetuk, pintu unit itu sudah lebih dulu terbuka lebar. Seolah sudah tahu, kedatangannya memang dinanti. "Akakkkkkk!" suara nyaring itu menggema dari seorang anak laki - laki yang langsung berlari dan memeluk Ina erat - erat. Ina terkekeh, membalas pelukan adik tirinya dengan pelukan hangat. "Rindunya akak dengan Tommy! Dah makin tinggi lah kamu!" ucap Ina yang memang lebih banyak menggunakan bahasa Melayu sebisanya kalau berbicara dengan Tommy maupun Uncle Adam, karena sehari - hari mereka memang mempergunakan bahasa tersebut, bahasa dari tempat Uncle Adam berasal. "Tommy pun rindu Akak. Lama dah tak datang. Akak busy sangat ke?" Ina angguk sambil senyum. "Ha'ah, kerja banyak. Tapi hari ni Akak curi masa sebab rindu nak jumpa Tommy." Dari belakang Tommy, muncul sosok yang selalu membuat hatinya teduh, Mama Citra. Di sampingnya, berdiri Uncle Adam, pria yang kini jadi suami mamanya, ayahnya Tommy. Ina langsung memeluk mamanya dengan erat, setelah itu menyodorkan paper bag yang ia bawa, "Aku bawain mama rendang, nih." "Wah, Makasih ya," mama Citra menerima paper bag itu dengan senyum cerah. Lalu Ina menyalami dan cium tangan ke uncle Adam. "Banyak banget, Na," ucap Mama Citra setelah melihat isi paper bag yang di bawah Ina tadi. Ina tertawa. "Cuma satu kilo, kok. Tapi aku minta dibungkus dua, biar kelihatan banyak" "Padahal Mama sama Uncle lagi ngurangin daging, loh. Mau makan lebih sehat sekarang," ucap Citra masih meneliti isi bungkusan itu. Ina pura - pura merajuk. "Wah, berarti Mama nggak suka dong sama oleh - olehku. Yaudah, aku ambil lagi deh …" "Eh, jangan! Kalau udah sampai di tangan Mama, nggak boleh ditarik lagi!" balas mamanya sambil tertawa renyah. Suasana pun mencair. Lalu Uncle Adam mendekat dan mengangguk sopan. "Ina, dah lama tak nampak kamu. Kerja makin sibuk, ya?" "Ina cuba bahagi masa, Uncle. Kadang tu rindu juga nak balik sini, bila balik, rasa macam tenang sikit." "Baguslah macam tu. Rumah ni memang sentiasa terbuka untuk Ina. Macam mana keluarga kat sana? Papa kamu dah sihat ke?" tanya Uncle Adam dengan nada tulus. Ina mengangguk perlahan, lalu duduk di salah satu sofa empuk di ruang tamu yang luas itu. "Dah makin okay. Sepatutnya hari ni dah boleh keluar hospital, tinggal kena datang untuk pemeriksaan je." Dia menambah, "Papa pun kirim salam pada Uncle dengan Mama. Katanya semoga sentiasa sihat dan bahagia." Kalimat itu mengalir lancar, walaupun sebenarnya tidak ada percakapan seperti itu. Hakikatnya, papanya cuma bertanya tentang keadaan mama Citra tanpa kirim salam, apalagi buat uncle Adam. Tapi demi menjaga suasana, Ina memilih untuk menyampaikannya dengan karangan bebas yang terdengar lebih manis. "InsyaAllah, semoga semua kat sana pun sihat selalu," balas Uncle Adam, seikhlas biasa. Pria itu memang memiliki aura yang tenang dan sabar. Sejak menikahi Mama Citra beberapa tahun lalu, ia nyaris tak pernah membuat masalah. Waktu itu, ia masih lajang, belum pernah menikah. Banyak yang bilang, Mama Citra beruntung mendapat 'brondong', istilah masa kini untuk pria yang lebih muda. Tapi bagi Ina, itu adalah balasan atas kesabaran sang mama yang pernah disakiti oleh ayah kandungnya dulu. Tuhan tahu, Mamanya layak bahagia. "Ayo, kita makan," ajak Mama Citra sambil membawa rendang ke meja makan. "Jom, Kami pun rindu nak makan sama - sama Ina." Dan benar saja, meja makan sudah tertata rapi, penuh hidangan lengkap yang tampak masih hangat. Seolah semuanya memang sudah disiapkan hanya untuk menunggu satu orang, yaitu, Ina. Mereka duduk bersama. makan sambil bercerita menikmati makan malam seperti sebuah keluarga yang lengkap dan penuh kasih sayang. Tommy yang dari tadi tak lepas dari sisi kakaknya, kembali menyela. "Akak, minggu ni kita boleh keluar sama tak? Nak tengok movie lah ... Akak janji hari tu, tapi tak jadi!" Ina tergelak. "Eh, janji tu masih sah lagi. Kita pergi hujung minggu ni, ya?" "Yesss! Tapi Akak jangan tipu,"balas Tommy, matanya berbinar penuh semangat. "Akak tipu sekali, kena belanja popcorn besar dua baldi," gurau Ina. Uncle Adam ikut tertawa kecil. "Tommy ni bijak betul kalau bab minta itu ini." "Hehe. Ayah, Tommy ada plan. bulan depan nanti kita pergi zoo nak? Lama tak pergi." "Hmm, boleh juga. Tapi kalau Kak Ina setuju lah. Dia big boss," usik Uncle Adam sambil memandang Ina dengan gaya bercanda. Ina hanya mengangkat bahu, senyum melebar. "Zoo pun boleh. Asal ada ais krim lepas tu, Kakak on aje." Tommy tampak puas. Tapi tiba - tiba, ekspresinya berubah ingin tahu. "Akak, masa Tommy baby dulu ... Akak duduk sini juga, ke?" Ina terdiam sejenak. Pertanyaan polos itu membuatnya menahan napas sesaat. Tapi ia tak mau berbohong. Ina angguk perlahan. "Ya, Kakak pernah duduk sini. Tapi masa tu Tommy masih kecil sangat." "Kenapa Akak pindah? Tak suka apartemen ni ke?" Ina pandang wajah Tommy, lalu tersenyum dan mengusap kepalanya perlahan. "Bukan tak suke. Tapi ... kadang - kadang orang dewasa kena belajar berdikari. Tapi hati Kakak masih kat sini. Sebab Tommy ada sini." Tommy senyum puas. "Janji tak tinggalkan Tommy?" "Akak takkan tinggalkan siapa - siapa. Lagipun, tempat paling best tu ... sebelah adik sendiri," jawab Ina lembut. Uncle Adam yang duduk tidak jauh hanya jadi pemerhati. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak bisa dijelaskan, campuran lega, haru, dan hormat. Ia tahu, anak tirinya ini punya luka lama yang tidak terlihat. Tapi malam ini, ia melihat dengan mata kepala sendiri, Ina sangat jauh berubah dibanding waktu pertama kali mereka bertemu dulu. "Oh ya, Na. Tahun baru nanti, Uncle mau ajak kita tahun baruan ke Bali, kamu bisa ikut kan?" "Bali? Hm ... menarik juga sih. tapi kan tahun baru masih lama banget, baru berapa waktu yang lalu kita tahun baruan ." "Tapi kan semua harus diatur dari jauh - jauh hari , supaya nggak kehabisan tiket pesawat sama hotel di sana." "Berangkatnya kapan?" "Ya, dua atau tiga hari sebelum tahun baru. Kurang lebih seminggu deh kita di sana." "Nanti aku lihat dulu deh jadwal kantor, tahun baru sih pasti libur cuman berapa hari sebelum dan sesudahnya aku belum tahu. Kalau aku ikut dan ternyata aku masuk kerja lebih cepat, boleh aku pulang duluan nggak?" Mama Citra menoleh ke arah suaminya dan di tanggapi dengan anggukan setuju. "Ya boleh, nanti kita atur. kamu cari tahu aja dulu jadwalnya, nanti kasih tahu mama." Oke." "Yey ... Tommy akan sambut tahun baru dengan kakak kat Bali!" ujar Tommy senang. *** "Om Dhannis, terima kasih ya oleh - oleh dari Singapura!" seru Maura dengan ceria sambil berlari kecil menghampiri Om-nya, diikuti oleh si kembarannya, Maira. Dhannis tersenyum melihat dua ponakan kesayangannya datang dengan ekspresi sumringah. Ia sedang duduk santai di bawah pohon di halaman belakang rumah besar keluarga mereka, mengenakan kaus putih dan celana pendek, suasana benar - benar santai dan penuh canda tawa di berbagai Spot, mulai dari meja panjang, kolam renang, di bawah pohon Kamboja, dan anak - anak yang berlarian bebas di atas rumput. "Kalian suka nggak?" tanyanya sambil mengusap kepala Maura. "Suka banget," jawab Maira cepat, lalu menoleh ke saudaranya sekilas sebelum menambahkan dengan polos, "... tapi kurang, Om." Dhannis menaikkan satu alis. "Kurang? Kurang apaan? Kurang banyak?" tanyanya heran. Padahal Ia merasa sudah seperti kurir logistik dari Singapura ke Jakarta, satu paper bag besar penuh dengan cokelat, biskuit, dan snack rasa - rasa aneh untuk bocah - bocah ini, bahkan sempat jatuh berhamburan ketika ditabrak oleh Ina. Ckk ... Dhannis jadi mengingat wanita itu lagi. Maura mengangguk dengan ekspresi serius, seakan ini urusan negara. "Iya, Om, soalnya selain harus bagi sama Devan, Ibu adek juga mau." Ucapan itu disampaikan dengan bisikan konspiratif, sambil menoleh kiri kanan memastikan tidak ada 'musuh' alias mamanya di sekitar. Dhannis nyengir. "Ibu kalian? Hadeuh ... itu sih bukan kekurangan logistik, tapi kelebihan permintaan," ucapnya sambil geleng - geleng kepala. Ia heran, ternyata bukan cuma bocah yang ngincer coklat, ibunya pun ikut rebutan. Kalau tahu begini, mending buka toko oleh - oleh sekalian. Mereka sedang berada di halaman belakang rumah besar keluarga, karena weekend ini mendadak Eyang Nino mengumumkan acara kumpul keluarga dadakan. Alasannya klise, 'mumpung lengkap', Mas Dharren dan Disti baru pulang dari bulan madu, Papa Azki dan Mama Dea juga datang dari Bandung. Mereka hendak menjenguk besan mereka, Papa Disti, yang baru pulih dari serangan jantung ringan beberapa hari yang lalu. "Nanti kalau Om ke Singapura lagi, Om beliin lebih banyak ya. Biar mama kalian juga kebagian jatah," kata Dhannis sambil menepuk pundak Maura. Kedua anak kembar itu mengangguk bersamaan, seperti duo cheerleader mini. Dhannis menatap mereka sambil tersenyum, ada rasa hangat yang menggelitik d**a. Mereka berdua mengingatkannya pada masa kecilnya dulu, ia, mas Dharren, dan Adek. Tiba - tiba, seorang bocah bule kecil berlari menghampiri mereka. Tristan, anak sulungnya Abang Shaka dengan rambut acak - acakan dan kaus Avengers yang kedodoran, berhenti di depan Dhannis sambil ngos - ngosan, pipi putihnya tampak merah dan keringat bercucuran. "Om ... dipanggil Papa sama Eyang Azki,” katanya dengan nada seperti agen rahasia membawa pesan penting. Dhannis mengangkat alis. "Papa manggil? Nggak ada orang dewasa lain ya yang bisa disuruh?" gumamnya pelan sambil berdiri. Dalam hati ia tahu, ini pasti ulah Papanya yang hobi nyuruh anak kecil buat ganggu ketenangan anak - anaknya. Biar lucu, katanya. Entah siapa yang sebenarnya childish di keluarga ini. Tristan langsung kabur setelah menyampaikan pesan, dan tanpa perlu dikomando, ia langsung bergabung dengan Maura dan Maira, lari - lari lagi, tertawa - tawa, menuju area di sisi kolam renang tempat adiknya, Devan dan si om - om kecil lainnya berkumpul. Pengasuh pun tampak kewalahan mengejar mereka. Dhannis berjalan santai menuju kursi teras belakang tempat Papa Azki duduk santai bersama Abang Shaka dan Om Demian juga ada. "Apa, Pa?" tanya Dhannis begitu duduk di samping Abang Shaka. "Nih," kata Papa Azki sambil menunjuk Shaka dan Demian, "Abang sama Om Demian ada proyek, katanya." Dhannis melirik ke arah Shaka curiga. "Proyek apaan, Bang?" Shaka menyeringai melihat tatapan Dhannis. " Udah punya pacar belum?" tanya Shaka to the point Dhannis langsung refleks mengernyitkan dahi. "Belum." Kini rasa curiganya semakin besar. "Mau dong dikenalin?" "Nggak," jawabnya santai. "Yaelah ... basa - basi dulu kek, main langsung nolak aja," protes Shaka sambil memukul pelan bahu adik sepupunya itu. Papa Azki sampai terbatuk menahan tawa. Dhannis ikut tersenyum kecut. Ia mulai tahu arah pembicaraan ini, kecurigaannya tadi ternyata benar adanya. "Abang serius, nih," lanjut Shaka dengan semangat menjadi comblang walaupun dulu sudah pernah gagal menjadi comblang. "Kolega abang, pemilik rumah sakit di Kalimantan tuh, punya anak cewek, cantik.. Dia baru pulang dari kuliah di Inggris. Anaknya pinter, cantik dan putih glowing kayak iklan skincare. Papanya nanyain, ada nggak saudara cowok Abang yang masih jomblo. Nah, abang langsung inget kamu.” Dhannis hanya mengangguk lemas. Ia merasa kayak lagi di-showcase di pameran perjodohan. Shaka lanjut tanpa ampun. "Anak tunggal lho. Abang lihat fotonya, fix cakep, Om Demian juga sudah lihat, ya kan?" tanya Shaka minta persetujuan Demian. " Iya Mas, cakep kok anaknya, kayaknya cocok deh. Keluarganya juga baik, waktu nikahan Mas Dharren juga datang." "Om Azki juga kenal," sambung Shaka sambil nyengir lebar. "Dua sahabat itu benar - benar menjelma jadi marketing yang handal di depan Dhannis. "Aku nggak mau." Singkat padat dan jelas apa maksud ucapannya. "Ya ampun ..." ucap Shaka sambil menepuk dahinya. Demian dan Papa Azki sampai tertawa bersamaan. "Kenalan aja dulu, masalah suka atau nggak sukanya nanti. Kan dikenalin bukan berarti harus menikah. Sekali aja ketemu, kita temenin deh kalau nggak mau sendirian," bujuk Shaka yang masih penasaran dengan adik sepupunya ini. "Kayaknya nggak deh." Tawa Papa Azki meledak. Sebelum Dhannis dipanggil tadi, ia sudah bilang ke Shaka dan Demian kalau Dhannis mungkin tidak akan setuju dengan maksud mereka ini. Tapi Shaka penasaran dan yakin ia bisa membujuk Dhannis, setidaknya untuk berkenalan saja dulu. Ternyata gagal. "Emangnya kamu nggak mau nikah?" tanya abang Shaka lagi. "Mau, tapi kalau belum bertemu jodohnya gimana? Abang aja nikahnya udah tiga puluh tahunan, aku masih beberapa tahun lagi untuk sampai ke sana. Santai aja bang." Malah Dhannis yang menghibur Shaka. "Ini memang salah abang, gara - gara abang nikah umur tiga puluhan sekarang jadi patokan mereka untuk santai - santai aja soal pernikahan," sahut Papa Azki. "Yaelah, masa gue yang salah sih, Om?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD